MENYONGSONG satu abad kemerdekaan Indonesia, kedaulatan pangan menjadi agenda prioritas yang wajib dimenangkan. Kedaulatan pangan dimaknai sebagai hak masyarakat Kepada mendapatkan pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang diproduksi dengan Metode-Metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta hak masyarakat Kepada menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri (La Via Campesia, 2007).
Dalam konteks pangan perikanan, kedaulatan pangan menekankan pada kontrol lokal atas sumber daya perikanan dan hak masyarakat Kepada menentukan sistem pangan mereka sendiri daripada bergantung pada kekuatan eksternal atau pasar Mendunia.
Mengapa agenda ini sangat Krusial? Sekurang-kurangnya ini Dapat dijelaskan dalam tiga hal. Pertama, di tengah proyeksi pertumbuhan penduduk Mendunia yang akan mencapai 9,7 miliar jiwa pada 2050, dunia menghadapi ancaman kekurangan pangan dan gizi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) Berbarengan World Economic Lembaga (WEF) menegaskan bahwa sistem pangan berbasis darat Enggak akan cukup menopang kebutuhan Insan ke depan. Dalam konteks ini, pangan laut akan memainkan peran vital sebagai sumber protein masa depan. Diperkirakan 70% kebutuhan protein tambahan Mendunia akan berasal dari laut (WEF, 2023).
Indonesia sendiri Mempunyai posisi strategis sebagai negara maritim dengan potensi perikanan tangkap lestari sebesar 12,01 juta ton per tahun dan potensi budi daya laut yang bahkan Melewati 50 juta ton (KKP, 2023). Kekayaan laut Indonesia juga amat besar, ditunjukkan dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi dengan lebih dari 8.500 spesies biota laut serta posisinya sebagai jalur Penting 45% Lewat lintas laut Mendunia. Tetapi, seiring dengan meningkatnya tekanan stok ikan laut akibat penangkapan berlebih, strategi pemenuhan kebutuhan pangan perikanan mulai memberikan perhatian lebih pada perikanan budi daya (Berkualitas di darat maupun laut).
Peralihan dari model produksi yang bertumpu pada perikanan tangkap ke budi daya juga banyak dilakukan oleh berbagai negara. Tiongkok, misalnya, selama masa reformasi dan keterbukaan, produksi makanan laut meningkat secara signifikan, sebagian besar ditopang oleh Perluasan akuakultur (budi daya ikan) yang dimulai pada pertengahan 1980-an.
Pada 1978, hasil tangkapan laut mewakili lebih dari 67% dari total produksi perikanan Tiongkok, sementara akuakultur hanya menyumbang 26%. Tetapi, pada 2016 tren ini Betul-Betul berbalik, akuakultur menyumbang lebih dari 74% dari total produksi perikanan negara tersebut.
Di balik Perluasan fenomenal dari keseluruhan produksi industri perikanan Tiongkok, terdapat dua perubahan struktural Penting dari kebijakan pengelolaan perikanan, Merukapan: Perluasan akuakultur yang Segera dan perluasan sektor perikanan laut ke perairan lepas pantai dan perairan jauh (offshore and distant waters).
Kedua, Sasaran-Sasaran pembangunan yang dicanangkan pemerintah Kepada menurunkan kemiskinan, prevalensi stunting, dan peningkatan kualitas sumber daya insani sulit dicapai tanpa membereskan persoalan pangan. Dengan kata lain, peningkatan asupan gizi masyarakat, terutama dari sumber pangan laut dan perikanan, merupakan isu transformasi sosial yang amat strategis. Berkas teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 secara spesifik memberi penekanan atas hal ini. Menempatkan pangan akuatik (blue food) sebagai elemen intervensi Penting Kepada mewujudkan ketahanan pangan.
Ikan, sebagai salah satu jenis pangan akuatik yang paling popular, sangatlah kaya akan kandungan nutrisi Krusial seperti protein berkualitas tinggi, asam lemak omega 3, serta berbagai vitamin dan mineral yang Krusial bagi pertumbuhan dan kesehatan. Lebih dari 2.500 spesies atau Grup spesies pangan perairan ditangkap atau dibudidayakan. Tujuh kategori teratas makanan sumber hewani kaya nutrisi kesemuanya ialah pangan perairan, Melewati sumber protein darat yang paling kaya nutrisi, Merukapan daging sapi.
Ketiga, pangan akuatik mencakup segala jenis tumbuhan dan hewan yang berasal dari perairan yang layak dikonsumsi Insan. Perannya dalam penyediaan pangan di Indonesia sangat besar, mencukupi lebih dari Separuh kebutuhan protein hewani nasional. Pangan perikanan Indonesia, Berkualitas tangkap maupun budi daya, merupakan pemain Penting dalam keseluruhan produksi di tingkat Mendunia. Posisi ini menempatkan Indonesia sangat strategis sebagai penghasil pangan akuatik Mendunia yang besar meskipun bukan yang Penting.
Produk perikanan Indonesia Lagi kalah Bertanding di pasar Mendunia dengan negara-negara yang lebih kecil dan garis pantainya yang lebih pendek, seperti Vietnam, Thailand, atau Cile yang melampaui Indonesia dalam perdagangan produk perikanan di dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat Nomor konsumsi ikan nasional pada 2024 mencapai 17,65 juta ton atau rata-rata sebanyak 62,5 kg ikan yang dikonsumsi setiap individu per tahun, naik dari tahun sebelumnya, Merukapan 58,48 kg.
PERAN PERIKANAN KECIL
Perikanan skala kecil memainkan peran Krusial, tapi sering diabaikan dalam produksi pangan, membantu memerangi kelaparan, malnutrisi, dan kemiskinan di Indonesia bahkan seluruh dunia. Perikanan skala kecil, yang biasanya ditemukan di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, mengandalkan metode penangkapan berteknologi rendah dan padat karya Kepada menghasilkan makanan dan pendapatan yang membedakannya dari operasi perikanan skala besar atau industri.
Meskipun Krusial, perikanan skala kecil sering diabaikan dalam pengelolaan sumber daya, riset-riset mengenai sistem pangan, dan pengembangan kebijakan. Peminggiran ini disebabkan oleh berbagai Elemen, termasuk terbatasnya data dan kecenderungan Kepada mengelompokkan nelayan skala kecil dengan pekerja pertanian dalam data sensus.
Secara Mendunia, hasil tangkapan perikanan kecil diperkirakan sebesar 36,9 juta ton per tahun. Jumlah ini setara dengan Sekeliling 40% dari total produksi perikanan tangkap Mendunia. Di Indonesia, produksi perikanan tangkap yang dihasilkan perikanan kecil sesungguhnya sangat besar.
Merujuk pada data produksi perikanan tangkap yang dipublikasi KKP pada 2023, tercatat sebanyak 5.7 juta ton produksi perikanan tangkap (74,54%) didaratkan di luar pelabuhan perikanan. Hanya Sekeliling 1.9 juta ton (25,46%) hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan. Kapal-kapal perikanan skala kecil dengan ukuran di Rendah 5 GT (gros ton) umumnya mendaratkan ikan di luar pelabuhan meskipun Terdapat juga yang mendaratkan ikan di dalam pelabuhan.
Kondisi ini disebabkan Lagi terbataskan ketersediaan infrastruktur pelabuhan, terutama di Daerah terpencil atau proses penjualan ikan dari nelayan langsung kepada pengepul ikan di Posisi sandar kapal di perkampungan nelayan atau dermaga-dermaga kecil. Karenanya, Enggak terlalu keliru Apabila kita mengatakan bahwa Sekeliling 75%-80% produksi perikanan tangkap Indonesia dihasilkan dari nelayan skala kecil.
Oleh Karena itu, perhatian lebih besar kepada perikanan skala kecil menjadi conditio sine qua non dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan studi FAO (2023) yang menyebutkan bahwa kedekatan dengan Posisi perikanan skala kecil akan meningkatkan akses masyarakat terhadap ikan segar hingga 13 kali lipat dan meningkatkan keragaman makanan pada anak-anak.
Selain itu, perikanan skala kecil merupakan sumber pangan kaya nutrisi yang Krusial bagi anak-anak perdesaan dari usia enam hingga 24 bulan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke Rendah. Selain perikanan tangkap, asupan pangan perikanan juga dipasok dari perikanan budi daya.
AGENDA AKSI
Uraian di atas membutuhkan suatu landas pijak yang kuat agar agenda besar Kepada menegakkan kedaulatan pangan perikanan dieksekusi di lapangan. Setidaknya Terdapat tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan didorong Kepada memenuhi tingkat produktivitas yang diharapkan guna menjaga ketahanan pangan nasional dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan dari ekosistem.
Manajemen pengelolaan perikanan seperti kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT), misalnya, pelaksanaannya harus didesain sedemikian Macam-macam agar dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan Indonesia bukan Malah oleh investor asing. Hal ini membutuhkan keseriusan, Berkualitas pemerintah maupun sektor swasta, Kepada meningkatkan kapasitas armada perikanan nasional agar lebih optimal memanfaatkan sumber daya perikanan di Area ekonomi ekslusif dan perairan yang jauh.
Ke dalam, pemerintah mengatur agar nelayan kecil dan tradisional mendapatkan perlindungan dan kontrol atas Daerah tangkapnya sehingga manfaat terbesar dari sumber daya ikan Enggak Terperosok hanya ke tangan pelaku usaha besar atau industri perikanan.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus terbuka Kepada mengevaluasi dan meninjau ulang Seluruh kebijakan yang bertolak belakang dengan agenda kemandirian dan kedaulatan pangan perikanan. Di antaranya kebijakan melegalisasi ekspor benih lobster ke luar negeri yang Malah akan menguntungkan negara lain (baca: Vietnam) sebagai pemain ekspor lobster di dunia.
Langkah-langkah percepatan Kepada merangkul pengetahuan, teknologi serta pembiayaan mesti segera dilakukan Kepada menjadikan Indonesia sebagai pusat budi daya lobster. Koreksi juga perlu dilakukan Kepada membatalkan peraturan yang memberi Kesempatan bagi ekspor hasil sedimentasi berupa pasir laut. Pada praktiknya Malah memberikan tekanan bagi keberlanjutan ekosistem dan sumber daya ikan di Daerah laut yang menjadi Posisi pengerukan pasir.
Kedua, mengeksekusi dengan Segera pembenahan ekosistem usaha perikanan dari hulu Tamat hilir. Masalah-masalah klasik seperti akses dan ketersediaan bahan bakar, permodalan, rantai dingin, pelabuhan, tempat pelelangan ikan, hingga terbatasnya akses pemasaran membutuhkan penyelesaian yang lebih kongkrit.
Konsep, Obrolan, dan perencanaannya sudah banyak dilakukan. Yang kurang ialah kepemimpinan Kepada mengeksekusinya. Enggak Seluruh beban ini dipanggul oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada level pemerintah pusat saja, setidaknya Terdapat 13 kementerian/lembaga yang bertanggung jawab pada keseluruhan urusan ini.
Tetapi, Enggak Seluruh sumber daya dimobilisasi Kepada membangun fisik, Lewat abai membangun manusianya. Aspek pembangunan sumber daya insani, seperti peningkatan kapasitas, skill, Penemuan, dan spiritualitas pelaku Penting sektor perikanan harus menjadi bagian integral dari pembangunan. Membangun jiwa dan raga, material dan spiritual, lahir, dan batin.
Ketiga, mengintegrasikan agenda-agenda pembangunan nasional dalam kesatuan pikiran dan gerakan yang utuh. Setidaknya pemerintah pusat Begitu ini Mempunyai tiga program unggulan yang sedang dieksekusi: makan bergizi gratis (MBG), Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP), dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Apabila dirangkai menjadi satu agenda yang saling terhubung dan sinergis, ketiganya berpotensi menjadi modal besar Kepada mendongkrak percepatan kemajuan sektor perikanan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Desain MBG yang juga dimaksudkan Kepada mendorong perekonomian rakyat, dalam sektor perikanan harus dimaknai sebagai Metode Kepada memecahkan dua persoalan, Merukapan menciptakan permintaan atas hasil produksi perikanan rakyat dalam skala yang masif pada setiap daerah dan menjaga stabilitas harga ikan.
Demikian halnya dengan KNMP, secara konseptual merupakan suatu pendekatan Kepada membangun kawasan pesisir dengan model pemberdayaan sosial dan ekonomi yang lebih komprehensif. Membangun tangga yang kuat agar kampung nelayan Enggak hanya mengalami kemajuan secara ekonomi, tapi juga tempat yang nyaman dan Kondusif Kepada ditinggali.
Terakhir ialah KDMP yang Sepatutnya menjadi triger Kepada melakukan konsolidasi ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir melalui pembentukan institusi ekonomi kolektif sebagai penopang gerakan kemandirian ekonomi di tingkat lokal.
Akhirnya, peran Krusial perikanan skala kecil yang menjadi kunci Penting agenda kedaulatan pangan sama sekali Enggak Dapat diabaikan. Oleh Karena itu, pengetahuan, budaya, tradisi, dan praktik-praktik masyarakat nelayan skala kecil Jernih Krusial dan harus diakui dan didukung dengan memungkinkan mereka berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan terkait mata pencaharian mereka. Hal ini membutuhkan partisipasi yang lebih bermakna dan lebih adil dalam Seluruh aspek pengelolaan dari mereka yang terlibat dalam rantai nilai perikanan.
Kekuasaan dan otoritas pengambilan keputusan di Seluruh Derajat pemerintahan dituntut lebih responsif dan lebih terbuka bagi pelibatan publik yang lebih luas dalam menyelesaikan persoalan yang telah mengakar Lamban. Nelayan dan pekerja perikanan skala kecil, Berkualitas Lelaki maupun Perempuan, dan organisasi nelayan harus diberdayakan dan diberi ruang Kepada memimpin Berbarengan dalam tata kelola perikanan di tingkat lokal dan nasional.

