Memotret Kegagalan Perusahaan Rintisan

Memotret Kegagalan Perusahaan Rintisan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

GELOMBANG teknologi digital yang sudah berlangsung selama satu dekade terakhir telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi setiap orang untuk melakukan inovasi. Hasil karya yang berbasis teknologi digital tersebut melahirkan banyak pemain baru di berbagai sektor kehidupan dan industri. Kita bisa menyaksikan, hampir setiap saat lahir perusahaan rintisan baru di berbagai sektor yang menggunakan platform teknologi digital.

Perusahaan rintisan itu biasanya disebut dengan istilah startup, dan saat ini jumlahnya diperkirakan sudah mencapai ribuan, yang beroperasi di berbagai negara. Mereka disebut sebagai startup atau perusahaan rintisan karena memang belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk beroperasi sebagai sebuah perusahaan normal, melainkan masih baru dalam tahap merintis.

Perusahaan rintisan ini memulai kegiatan usaha berdasarkan suatu model bisnis tertentu yang berbasis teknologi digital, di mana model bisnis tersebut masih perlu terus diuji dan dikembangkan dengan berjalannya waktu. Dalam perjalanannya, perusahaan rintisan ini akan mencari bentuk dan model bisnis yang tepat dari sisi operasional maupun teknologinya.

Di awal pengoperasiannya, perusahaan rintisan juga membutuhkan modal yang cukup besar dan belum banyak memberikan keuntungan. Di sinilah yang menjadi tantangan terbesar bagi perusahaan rintisan tersebut. Unsur modal menjadi unsur yang sangat penting untuk memastikan apakah startup itu masih bisa terus maju atau berhenti.

Sering kita jumpai banyak sekali perusahaan rintisan yang mendapat bantuan modal dari angel investors atau perusahaan modal ventura. Mereka mau menanamkan modal dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar di kemudian hari setelah perusahaan rintisan tersebut menjelma menjadi perusahaan biasa yang memberikan keuntungan besar.

Dalam praktik, kita bisa melihat bagaimana dulunya Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Ruangguru, dan lain-lain, yang di awal operasionalnya merupakan sebuah startup, kemudian mampu menjelma menjadi unicorn dengan nilai valuasi perusahaan di atas US$1 miliar (atau setara Rp14.500 triliun).

 

Era emas perusahaan rintisan

Cerita sukses yang dialami oleh perusahaan rintisan yang sudah naik kelas tersebut tentunya mengilhami anak-anak muda yang memiliki talenta digital yang tinggi untuk mencoba membuat sebuah startup. Bukanlah mengherankan apabila dunia startup sangat identik sekali dengan generasi milenial yang sangat haus dengan inovasi dan ide-ide baru berbasis teknologi digital. Mereka berlomba-lomba membuat perusahaan rintisan di berbagai sektor kehidupan manusia, dengan tujuan untuk membuka peluang dan kesempatan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Cek Artikel:  Menjadikan Politik Bermakna

Apabila sukses, mereka bukan hanya mendapatkan keuntungan finansial yang sangat besar, melainkan juga pengakuan yang luar biasa atas keberhasilan mewujudkan inovasi tersebut. Di Amerika Perkumpulan sendiri, jumlah startup diperkirakan telah mencapai sekitar 71.153 (Stagnanta, 2022). Terdapatpun di Indonesia, jumlahnya sekitar 2.319 (Katadata, 2022).

Salah satu karakteristik dari perusahaan rintisan tersebut ialah mereka terus melakukan inovasi dan menargetkan angka pertumbuhan yang sangat tinggi. Bukanlah mengherankan apabila hanya dalam waktu sekejap mereka sudah mampu menjelma menjadi sebuah raksasa bisnis yang sangat disegani oleh para kompetitor yang sudah ada di pasar tersebut. Di balik kesuksesan itu, juga terdapat beberapa kegagalan dari perusahaan rintisan tersebut sehingga terpaksa harus menghentikan perjalanan mereka.

Studi terbaru yang dilakukan oleh Kotashev (2022) memperlihatkan angka yang mencengangkan karena 9 dari setiap 10 startup yang berdiri akan mengalami kegagalan dalam melanjutkan usahanya. Lebih lanjut studi tersebut menunjukkan bahwa 70% dari mereka mengalami kegagalan dalam kurun waktu 10 tahun setelah berdiri. Kepada periode waktu 5 tahun, angka kegagalannya mencapai 50% dan untuk tahun kedua sebesar 30%.

 

Unsur pemicu kegagalan

Munculnya kabar mengenai gagalnya perusahaan rintisan di berbagai negara tidak lagi menjadi berita yang mengejutkan. Tetapi, banyaknya startup yang gulung tikar dalam kurun waktu yang singkat, justru lebih menarik untuk dipelajari. Fenomena tersebut akan membuka wawasan kita sekaligus untuk memahami lebih jauh apa yang menjadi biang keladi dan juga solusinya.

Pertama, menurut Kotashev (2022), faktor utama penyebab kegagalan mereka ialah produk ataupun layanan jasa yang dijual ternyata tidak mampu diterima oleh pasar. Di saat awal, pasar menerima kedatangan produk dan layanan jasa tersebut sebagai sesuatu yang baru dan sangat menarik. Tetapi, dengan berjalannya waktu, ternyata produk tersebut tidak lagi menarik, kalah bersaing dengan produk ataupun layanan jasa sejenis yang ditawarkan oleh perusahaan rintisan lainnya, ataupun startup baru yang masuk ke pasar itu. Mekanisme pasar inilah yang menjadi arena pertarungan yang sesungguhnya. Dengan demikian, sukses tidaknya startup tersebut memang sangat bergantung pada pengakuan dan penerimaan oleh konsumen.

Cek Artikel:  Arus Balik, Urbanisasi, dan Nasib Penduduk Perdesaan

Kedua, masalah klasik yang sering dihadapi oleh pelaku usaha baru, termasuk perusahaan rintisan, ialah faktor cekaknya modal yang dimiliki. Di satu sisi, kemampuan berinovasi dan menemukan sesuatu yang baru akan menjadi daya pikat yang luar biasa. Tetapi, di sisi lainnya, tanpa didukung modal uang yang cukup maka relatif sulit untuk terus maju dan berkembang.

Oleh sebab itu, para angel investor berlomba-lomba untuk menyuntikkan dana segar ke perusahaan rintisan tersebut. Masuknya angel investor dengan menyuntikkan dana segar itu tentunya dengan hitungan bisnis untuk memperoleh imbal hasil yang besar. Kegagalan untuk memberikan imbal hasil yang ditargetkan akan berimbas dengan keluarnya para angel investor tersebut dari perusahaan rintisan.

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh CBInsights (19 April 2022) menunjukkan adanya 224 startup kategori besar yang bangkrut, walaupun pada awalnya disuntik modal besar oleh para angel investor. Kegagalan itu membuktikan bahwa valuasi terhadap nilai perusahaan rintisan tersebut sudah terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi riilnya atau perusahaan konvensional lainnya.

Ketiga, ketidakmampuan memasarkan produk dan layanan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan rintisan tersebut menjadi salah satu penyebab produk dan layanan jasa yang mereka tawarkan tidak terserap oleh pasar. Para inovator yang mendirikan perusahaan rintisan itu sebagian adalah para teknokrat yang sangat ahli di bidang teknologi digital. Tetapi, mereka tidak memiliki keahlian yang memadai di bidang pemasaran sehingga apa yang mereka tawarkan tidak diterima oleh publik, ataupun publik tidak mengetahui adanya produk dan layanan jasa tersebut. Di sini memang perlu adanya riset lapangan sebelum sebuah produk diluncurkan guna mengetahui apakah produk itu memang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Keempat, adanya perpecahan di dalam tim manajemen, yang berimbas pada keluarnya beberapa pakar yang sebelumnya menjadi perintis berdirinya perusahaan rintisan itu. Perpecahan di dalam internal manajemen berakibat pada hilangnya kemampuan mereka untuk mengoperasikan dan mengembangkan perusahaan tersebut.

Kelima, operasional dari kegiatan usaha mereka menjadi kurang efisien sehingga rasio antara harga penjualan dan ongkos produksi menjadi tidak seimbang. Definisinya, biaya produksi untuk per satu unit barang menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga barang per unitnya. Di samping itu, ketidakmampuan mereka melakukan proses produksi yang berbasis economies of scale juga mengakibatkan harga barang ataupun jasa menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Cek Artikel:  Demokrasi, Diskursus, dan Pemilu Damai

Keenam, terlalu sering melakukan strategi bakar duit yang dilakukan oleh perusahaan rintisan, dengan harapan untuk memperkuat penjualan dan pendapatan. Sekali atau dua kali, mungkin strategi tersebut masih masuk akal. Tetapi, jika dilakukan berkali-kali, dampaknya sangat membahayakan kondisi keuangan perusahaan. Apabila kedua kondisi di atas terus dibiarkan berlanjut, arus kas (cash flow) dari perusahaan rintisan akan berdarah-darah, dan sulit terhindarkan dari kebangkrutan.

 

Strategi untuk bertahan

Perlu dicarikan terobosan dan jalan keluar untuk menghindari kejatuhan perusahaan rintisan tersebut. Sudah banyak sekali pelajaran berharga maupun pengalaman yang bisa ditarik dari kegagalan-kegagalan startup sebelumnya. Upaya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh beberapa startup baru-baru ini mungkin perlu dilakukan untuk mencegah kejatuhan mereka. Demikian halnya dengan mencari mitra investor baru, juga perlu dilakukan untuk menjaga arus kas dan kondisi keuangan tetap stabil.

Krusial untuk digarisbawahi bahwasanya perusahaan startup merupakan tulang punggung dari ekonomi digital. Merekalah yang mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru tanpa melibatkan pemerintah sehingga dapat memperkecil angka pengangguran di masyarakat. Selain itu, kemampuan untuk menjelma menjadi raksasa bisnis dengan omzet triliunan rupiah menjadikan mereka sebagai motor baru penggerak perekonomian.

Kepada itulah, pemerintah perlu memberikan pembinaan dan pelatihan bagi startup kecil, khususnya di bidang manajemen keuangan dan pemasaran. Pemerintah pun perlu memberikan insentif pajak dan dukungan dana dengan bunga rendah, khususnya bagi startup yang bersifat strategis dan memiliki dampak ekonomi besar.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

 

tiser :

Pemerintah perlu memberikan pembinaan dan pelatihan untuk startup kecil, khususnya di bidang manajemen keuangan dan pemasaran. Pemerintah pun perlu memberikan insentif pajak dan dukungan dana dengan bunga rendah, khususnya bagi startup yang bersifat strategis dan memiliki dampak ekonomi besar.

Mungkin Anda Menyukai