Memodifikasi Perasaan

Anggota Jabodetabek sedang Bukan Nikmat perasaan. Harap-harap cemas, resah, Resah, bahkan dicekam ketakutan akibat hantu yang menakutkan.

Hantu itu bukanlah kuntilanak, genderuwo, wewe gombel, buto ijo, suster ngesot, atau pocong. Niscaya juga bukan Anies Baswedan yang oleh M Qodari disebut hantu bagi pemilih minoritas. Qodari ialah pengamat politik, pemilik lembaga survei yang kini menjadi pejabat negara. Jabatannya tak main-main, Wakil Kepala Staf Kepresidenan.

Dalam sebuah siniar jelang Pilkada Jakarta 2024, ia menyebut dukungan Anies kepada Pramono Anung-Rano Karno Malah menguntungkan Ridwan Kamil-Suswono karena pemilih dari kalangan minoritas akan mengubah dukungan. ”Karena sekali Kembali, tesis saya Anies adalah hantu yang lebih mengerikan Apabila dibandingkan dengan PKS bagi pemilih minoritas,” begitu dia bilang. Nyatanya, tesis Qodari salah. Faktanya, dengan dukungan Anies, Mas Pram-Bang Doel menjadi Pemenang.

Hantu yang hari-hari ini mengancam ketenangan masyarakat Jabodetabek ialah potensi terulangnya banjir besar 2020 dalam waktu dekat. Adalah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati yang menyampaikannya. Kata dia, bencana itu mungkin terjadi Kembali akibat seruak udara dingin dari dataran Siberia yang diprediksi mencapai Daerah barat Indonesia pada 20-29 Desember ini.

”Ketika landing di Indonesia bagian barat, Adalah Jawa Barat, Lampung, Banten, dan DKI Jakarta, peristiwanya Dapat mirip (2020). Kami berharap skenario terburuk Bukan akan terjadi, insya Allah Bukan akan Jelek, tetapi skenario terburuk itu dapat meningkatkan curah hujan dengan intensitas yang ekstrem,” ungkap Dwikorita di DPR, Rabu (4/12).

Cek Artikel:  Asa Menjadi yang Satu

Eksis petuah, katakanlah yang Betul meski itu pahit. Paparan Dwikorita memang pahit, tetapi harus disampaikan. Ia bukan paranormal, bukan dukun, juga bukan pawang hujan. Prakiraan BMKG didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Akurasinya pun belakangan makin meningkat, Sekeliling 80%-85%. Bukan seperti yang dulu-dulu, yang Demi menjadi Panduan ibu-ibu menjemur cucian baju saja tak Bisa. Jadi, mau Argumen apa Kembali Demi tak menjadikan prakiraan BMKG sebagai pijakan antisipasi?

BMKG sudah Membangun prakiraan, telah melayangkan peringatan. Kini tinggal kita, utamanya penyelenggara negara, punya tanggung jawab agar ancaman hantu banjir besar tak jadi Konkret. Miris betul kejadian pada awal 2020 silam. Ketika itu, Jakarta dan sekitarnya tenggelam. Lebih dari 170 ribu orang mengungsi. Air bah bahkan merenggut 67 nyawa. Nominal kerugian sangat besar. Estimasinya lebih dari Rp10 triliun.

Itulah amuk banjir paling mengerikan di Jabodetabek. Amuk yang menyisakan trauma bagi sebagian Anggota hingga sekarang. Trauma yang begitu mengganggu perasaan menjelang banjir lima tahunan, yang kebetulan Terperosok akhir tahun ini hingga awal tahun depan.

Cek Artikel:  Takut dan Demo

Kalau tak Dapat dihindari, bencana mesti dihadapi. Ihwal potensi banjir besar nanti, kita tak Mempunyai kuasa Demi meniadakan, tapi punya kemampuan meminimalkan dampaknya. Yang Krusial ialah kemauan, yang Penting ialah kesungguhan.

Berbagai langkah antisipasi yang disiapkan Bagus oleh pusat maupun pemerintah daerah semoga berimbas Bagus. Pun dengan keahlian para Ahli BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Hasil karya Nasional (BRIN), serta pihak lainnya dalam memodifikasi cuaca.

Operasi TMC (teknologi modifikasi cuaca), itulah yang selama ini mereka andalkan agar cuaca tak semena-mena.

Seperti dikutip dari Sciencehistory.org, metode itu muncul melalui salah satu tokoh Krusial dalam modifikasi cuaca, yakni ilmuwan Amerika, James Pollard Espy. Pada 1839, Espy mengajukan teori bahwa pembakaran besar-besaran kayu atau materi lainnya dapat memanaskan udara di atmosfer sehingga menyebabkan hujan. Ide itu menjadi pionir memanipulasi cuaca.

Pada 1891, muncul paten pertama terkait dengan modifikasi cuaca oleh Louis Gathmann yang mengusulkan penggunaan meriam besar Demi meledakkan bahan peledak di langit guna menciptakan hujan. Ilmu pengetahuan kian berkembang. Ilmuwan mulai bereksperimen serius Demi mengendalikan hujan dan kabut. Salah satunya penelitian tentang modifikasi Gugusan yang dilakukan Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada 1946.

Cek Artikel:  Pilkada tanpa Bansos

Schaefer dan Langmuir berhasil menemukan bahwa penyemaian Gugusan dengan partikel perak iodida atau es kering dapat memicu pembentukan kristal es di Gugusan, yang akhirnya menyebabkan hujan. Penemuan itu dianggap sebagai dasar dari teknologi cloud seeding hingga sekarang.

Di sini, di Indonesia ini, TMC sudah sering digunakan Demi mengatasi kebakaran hutan dan lahan, banjir, serta menjaga pasokan air di daerah pertanian. Demi mencegah banjir, teknologi Dapat mengarahkan hujan agar tak menumpuk di satu Letak. Sebelum mencapai daratan, dipaksa turun di lautan. Hasilnya, pada 6-9 Desember ini, umpamanya, TMC berhasil menekan intensitas hujan 13% hingga 67% di Jabodetabek. Hujan tak jadi ekstrem.

Biaya operasi TMC memang mahal, tapi sejatinya murah demi memodifikasi perasaan Anggota agar tak dicekam kecemasan, supaya tak menjadi korban bencana. Kiranya TMC perlu dimasifkan Demi mencegah banjir terulang. Masyarakat boleh juga menenangkan diri karena sudah Eksis Bendungan Ciawi dan Sukamahi sebagai pengendali banjir dari hulu. Keduanya disebut Bisa mereduksi 30,6% debit air. Plus upaya-upaya lain, semoga banjir besar di Jabodetabek dan di daerah lain hanyalah kisah Pelan.

Mungkin Anda Menyukai