
DALAM beberapa waktu terakhir, topik mengenai pendidikan dokter dan layanan kesehatan menjadi sorotan tajam di berbagai media, dari televisi nasional hingga podcast dan unggahan media sosial. Masyarakat Lazim, khususnya yang Kagak berasal dari latar belakang medis, tiba-tiba diperhadapkan pada istilah-istilah asing seperti ‘kolegium’ yang belum banyak dipahami. Padahal, peran dan posisi molegium dalam sistem pendidikan kedokteran sangat krusial dan menyangkut langsung mutu pelayanan kesehatan masyarakat.
KOLEGIUM PENJAGA MUTU KEILMUAN DAN PENDIDIKAN
Secara mendasar, kolegium merupakan sebuah badan ilmiah yang dibentuk oleh setiap perhimpunan dokter spesialis. Kolegium terdiri atas individu-individu yang Mempunyai kompetensi tertinggi dalam suatu bidang ilmu kedokteran, seperti para guru besar dan pengelola program pendidikan dokter spesialis di universitas. Ketua kolegium Kagak dipilih oleh Personil organisasi profesi, tapi oleh para pengelola dan kepala program studi spesialis di institusi pendidikan. Artinya, kolegium merupakan perwujudan dari otoritas keilmuan, bukan organisasi massa atau politik.
Setiap bidang kedokteran Mempunyai kolegium masing-masing, seperti Kolegium Ilmu Bedah, Kolegium Ilmu Penyakit Dalam, Kolegium Ilmu Mata, Kolegium Obstetri dan Ginekologi, dan sebagainya. Fungsi Penting dari kolegium ialah menetapkan serta menjaga standar pendidikan dan standar kompetensi di bidang ilmu tersebut.
Standar pendidikan mencakup kualifikasi pengajar, kurikulum yang harus diajarkan, metode pembelajaran, fasilitas rumah sakit pendidikan, jumlah dan jenis kasus yang harus ditangani, hingga lamanya masa studi. Berbarengan universitas, kolegium menyelenggarakan ujian yang menjadi tolok ukur kelulusan seorang dokter spesialis.
Sementara itu, standar kompetensi berkaitan dengan batas minimal pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional yang harus dimiliki oleh dokter spesialis Demi memberikan layanan medis kepada pasien.
Kompetensi Kagak boleh diartikan sekadar sebagai kemampuan teknis atau keterampilan mekanik. Misalnya, seseorang yang rutin menyaksikan dan membantu operasi caesar Bisa saja menjadi terampil secara teknis, tapi tanpa pemahaman mendalam mengenai indikasi operasi, risiko, dan penanganan komplikasi, ia Kagak Bisa disebut kompeten. Kompetensi sejati harus dilandasi pengetahuan teoretis, kemampuan klinis yang holistik, serta etika profesi yang kokoh.
Seluruh proses pendidikan dan praktik kedokteran harus berlandaskan pada prinsip etik dan keselamatan pasien. Seorang residen bedah memang harus belajar dari pasien Konkret, tetapi Kagak boleh mengorbankan keselamatan pasien hanya karena statusnya sebagai pelajar. Pendidikan kedokteran bukanlah praktik bongkar pasang mesin mobil, melainkan menyangkut nyawa dan Harkat Mahluk.
Dalam konteks kelembagaan, kolegium ialah entitas akademik yang bersifat independen dan Kagak berada di Rendah organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau perhimpunan dokter spesialis. Kolegium dan organisasi profesi Mempunyai peran yang saling melengkapi, tetapi berbeda. Kolegium berfungsi sebagai penjaga mutu keilmuan dan pendidikan, sedangkan organisasi profesi berfungsi sebagai wadah pembinaan etik dan advokasi profesi dokter.
Sejak akhir 1970-an hingga pertengahan 1990-an, Nyaris Seluruh bidang ilmu kedokteran telah Mempunyai kolegium masing-masing. Demi ini, terdapat 38 kolegium bidang ilmu yang aktif dan mereka Lalu melakukan benchmarking dengan institusi pendidikan spesialis Dunia Buat menjaga mutu lulusan mereka.
Dalam Muktamar IDI di Malang pada 2000, disepakati pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sebagai wadah koordinasi nasional antarkolegium. MKKI berperan menyelesaikan tumpang tindih kompetensi antara disiplin ilmu yang berbeda dan memfasilitasi penyusunan standar nasional pendidikan kedokteran spesialis.
Meskipun inisiasi pembentukan kolegium berasal dari organisasi profesi, keanggotaannya didasarkan pada kapasitas akademik dan institusional. Artinya, kolegium Kagak dikendalikan oleh organisasi profesi dan Kagak pula tunduk pada arahan kementerian.
Kolegium tunduk hanya pada kebenaran ilmiah dan standar akademik yang telah diakui secara Dunia. Lebih dari lima Sepuluh tahun, kolegium telah menghasilkan lebih dari 50 ribu dokter spesialis yang tersebar di seluruh Indonesia. Data dari situs Formal pemerintah menunjukkan bahwa 24 fakultas kedokteran yang telah terakreditasi unggul menyelenggarakan 257 program studi spesialis dan meluluskan lebih dari 2.700 spesialis baru setiap tahunnya.
PELEMAHAN KOLEGIUM
Independensi kolegium Demi ini sedang berada dalam ancaman serius akibat diterbitkannya PP No 28 Tahun 2024 dan Permenkes No 12 Tahun 2024. PP tersebut secara kontradiktif menyebut bahwa kolegium ialah entitas independen, tapi pada pasal-pasal selanjutnya memberikan kewenangan kepada menteri kesehatan Buat mengintervensi tugas, fungsi, dan wewenang kolegium bila dinilai Kagak sejalan dengan kebijakan kementerian. Itu ialah bentuk Konkret pelemahan terhadap kemandirian institusi akademik.
Permenkes No 12/2024 lebih jauh mengatur proses seleksi Personil dan ketua kolegium serta memberi kewenangan kepada menkes Buat mengatur tata kerja Kolegium Kesehatan Indonesia (KKI), lembaga baru yang diposisikan menggantikan MKKI.
Padahal, UU 17 Tahun 2023 Pasal 272 ayat 4 secara eksplisit menyatakan bahwa Personil kolegium harus berasal dari guru besar dan Spesialis bidang kesehatan. Tetapi, ketentuan itu diabaikan dalam regulasi turunan yang dibuat kementerian. Maka itu, logika sederhana pun Bisa menilai bahwa kolegium versi baru itu bukanlah lembaga ilmiah yang Benar, melainkan kolegium buatan yang sarat kepentingan politik dan birokrasi.
Yang lebih memprihatinkan, Menteri Kesehatan dalam sebuah unggahan Instagram menyatakan bahwa ketua kolegium dipilih secara demokratis oleh Personil organisasi profesi. Fakta di lapangan Berbicara sebaliknya. Banyak ketua kolegium baru ditunjuk tanpa proses pemilihan yang Absah, bahkan tanpa kualifikasi akademik yang memadai.
Proses voting pun dilakukan secara Kagak proporsional dan tanpa mekanisme Pengecekan yang akuntabel. Misalnya, dari ribuan Personil perhimpunan, hanya sebagian kecil yang memberikan Bunyi. Terdapat pula ketua kolegium yang berasal dari pejabat kementerian, seperti dirut dan dirmed RSCM, yang Jernih menimbulkan konflik kepentingan.
Kondisi itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebenaran ilmiah Bisa dikompromikan demi kepentingan kekuasaan? Kalau ya, kita sedang memasuki era kegelapan ilmu pengetahuan. Seperti disampaikan Prof Djohansjah Marzoeki, kolegium harus memenuhi empat syarat Penting: rasional, Betul secara ilmiah, independen, dan bebas dari konflik kepentingan.
Sejarah dunia mencatat tragedi kemanusiaan Demi ilmu pengetahuan dikendalikan oleh kekuasaan politik atau ekonomi seperti dalam eksperimen Nazi Jerman, studi Tuskegee di Amerika Perkumpulan, atau riset vaksin tanpa validasi etik di beberapa negara.
Indonesia juga Kagak luput dari skandal semacam itu. Kita pernah menyaksikan kasus kalung anticovid-19 yang digagas Kementerian Pertanian, uji coba obat covid-19 yang melibatkan BIN dan TNI, serta vaksin Nusantara yang fase uji kliniknya Kagak memenuhi standar etik. Ketika para akademisi mengkritik, mereka Bahkan dicap antinasionalis. Itu menunjukkan betapa rapuhnya posisi akademisi di Rendah tekanan kekuasaan.
Kini, kolegium dijadikan kambing hitam atas segala persoalan pendidikan kedokteran: mulai distribusi dokter spesialis yang timpang, biaya pendidikan yang mahal, hingga terbatasnya daya tampung program studi. Pemerintah mencoba mengambil alih pengelolaan kolegium dengan Dalih efisiensi dan pemerataan. Tetapi, fakta yang terjadi ialah pemutusan Interaksi kelembagaan, mutasi paksa, pemecatan dosen, dan penutupan program studi yang Bahkan merusak sistem yang sudah dibangun puluhan tahun.
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BUKAN ALAT POLITIK
Puncaknya ialah pernyataan keprihatinan yang disampaikan oleh 363 guru besar fakultas kedokteran dari berbagai perguruan tinggi negeri pada 20 Mei Lewat. Mereka menyuarakan kegelisahan dan ketidaksetujuan terhadap pelemahan institusi akademik oleh tangan kekuasaan.
Mereka mengingatkan bahwa pendidikan kedokteran 8alah amanah kemanusiaan, bukan alat politik atau proyek komersial. Ketika kolegium Kagak Tengah independen dan ketika ilmu pengetahuan dipaksa tunduk pada birokrasi, keselamatan publik menjadi taruhannya.
Protes para guru besar dan sivitas akademika itu bukan sekadar perlawanan simbolis. Itu merupakan bentuk pertahanan terakhir terhadap nilai-nilai luhur pendidikan, profesi, dan kebenaran ilmiah. Mereka menegaskan bahwa Kagak Terdapat argumen akademik yang Bisa membenarkan negara mengambil alih kewenangan lembaga akademik independen. Pendidikan kedokteran harus tetap berada di tangan komunitas ilmiah yang bertanggung jawab secara moral dan etik terhadap generasi dokter masa depan.
Independensi kolegium ialah benteng terakhir kualitas layanan kesehatan bangsa. Bila benteng itu roboh, kita hanya akan Mempunyai dokter-dokter yang diluluskan oleh sistem politik, bukan oleh standar ilmiah dan etika profesi. Maka itu, perjuangan mempertahankan independensi kolegium ialah perjuangan mempertahankan kemanusiaan itu sendiri.

