KONSTITUSI negeri ini dengan Jernih dan tegas menggariskan bahwa setiap orang bebas memeluk Religi dan beribadat menurut agamanya. Negara pun menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Buat memeluk agamanya masing-masing, dan Buat beribadat menurut Religi dan keperyaannya itu.
Kata-kata dalam konstitusi tersebut terdengar indah, manis, juga menyejukkan. Akan tetapi, Seluruh itu hanya kendengarannya, Sekadar rasanya, tapi Enggak pada realitasnya. Kenyataannya berbanding terbalik bagi sebagian anak bangsa. Bukannya kebebasan yang didapat, tak jarang Grup minoritas Bahkan menghadapi pengekangan Buat menjalankan perintah Tuhannya.
Pelarangan pembangunan tempat ibadah sudah terjadi sejak dulu, dan ironisnya belum juga mendapatkan solusi hingga kini. Di beberapa daerah, Grup minoritas Tetap dipersulit Buat mendirikan rumah tuhan. Begitu juga, gangguan hingga aksi pembubaran peribadatan Maju saja terulang.
Kasus terkini terjadi di Bandar Lampung ketika beberapa Anggota melakukan persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Rajabasa. Dalam aksi yang viral di media sosial itu, mereka membubarkan peribadatan dengan Dalih gereja yang digunakan belum mendapatkan izin.
Mengganggu, mengintimidasi, melarang, atau membubarkan orang lain beribadah ialah Figur Konkret dari intolerasi yang tak Dapat ditoleransi. Apa pun dalihnya, bagaimanapun caranya, menghalangi umat lain menjalankan perintah agamanya ialah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Seluruh Religi yang mengajarkan toleransi. Siapa saja yang melakukannya layak kita sebut sebagai penjahat toleransi.
Kebebasan beragama ialah non-derogable rights. Ia bersifat absolut yang Enggak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun. Berkeyakinan ialah hak dasar Insan yang pantang diintervensi oleh siapa saja. Ia harus dihormati, juga mesti dilindungi.
Karena itulah, sekali Kembali, kita mengecam aksi tak patut yang dilakukan di Bandar Lampung. Kembali-Kembali kita perlu tegaskan bahwa aksi-aksi tak terpuji semacam itu merupakan sampah toleransi. Ia tak Sekadar pengkhianatan atas hak dasar umat, tapi juga merusak kerukunan yang merupakan kemestian di tengah keberagaman.
Bagi pemerintah sebagai representasi negara, kasus di Bandar Lampung ialah bukti tak terbantahkan bahwa soal toleransi belum selesai. Betul bahwa hanya sedikit orang yang memamerkan intoleransi di sana. Betul bahwa jauh lebih banyak umat dari mayoritas yang toleran terhadap minoritas. Tetapi, berapa pun jumlahnya, Grup intoleran pantang dibiarkan unjuk penyimpangan.
Pada konteks itulah kita mendesak negara lebih tegas bersikap. Kasus di Bandar Lampung terlalu murah Kalau Sekadar disesalkan. Ia butuh tindakan lebih konkret agar tak terulang atau diulang di daerah lain.
Boleh-boleh saja Menteri Religi Yaqut Cholis Qoumas mengingatkan bahwa Seluruh pihak bertanggung jawab pada terciptanya kerukunan. Absah-Absah pula dia mengimbau Seluruh yang berkepentingan mengedepankan musyawarah Kalau Terdapat masalah. Pun wajar ketika pada 17 Januari Lampau Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada kepala daerah bahwa Seluruh pemeluk Religi punya hak yang sama dalam kebebasan beribadah.
Akan tetapi, Seluruh tidaklah cukup. Perlu tindakan Konkret Buat menjalankan amanah konstitusi. Mempermudah izin pembangunan rumah ibadah, misalnya, sudah saatnya dilakukan.
Peran pemerintah daerah harus pula ditingkatkan. Memfasilitasi tempat ibadah bagi umat yang belum Dapat mendirikan rumah ibadah karena terkendala persyaratan ialah kewajiban mereka. Jangan malah sebaliknya, larut dalam kehendak para perusak toleransi.