Memborgol Hukum

JUDUL di atas mengasumsikan bahwa politik amat determinan terhadap hukum. Politiklah yang mengatur hukum. Bukan sebaliknya, atau setidak-tidaknya politik tunduk pada aturan-aturan hukum. Politik bisa memborgol hukum dengan alasan apa pun. Pada saat itu, hukum harus tunduk pada kemauan politik.

Ketika hukum takluk dalam ketiak politik, pada saat itu pedang hukum akan amat tajam terhadap lawan politik. Sebaliknya, terhadap kawan yang seiring sejalan, yang seia sekata terhadap apa maunya penguasa politik, pedang hukum amat tumpul. Bahkan, sang pedang mudah bersalin rupa menjadi tameng pelindung bagi sekondan setia kekuasaan.

Praktik-praktik seperti itu pernah kita alami, dulu. Ya, dulu saat rezim Orde Baru berkuasa. Hukum dikeluhkan karena kerap menjadi alat kekuasaan. Hukum benar-benar dalam borgol politik kekuasaan. Hanya kroni yang berhak mendapatkan keadilan, sedangkan yang berani melawan siap-siap diperlakukan sewenang-wenang.

Di era itu, jangan sekali-kali berani berbeda dengan penguasa. Bila rezim bilang kuning itu warna paling indah, semua mesti sepakat. Kalau ada yang bicara bahwa warna terindah ialah hijau, pedang hukum langsung ‘menebasnya’.

Cek Artikel:  Ancaman Ngeri Deflasi

Bangsa ini telah mengalami situasi politik hukum tidak sehat. Ya, tidak sehat sebab kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan jika dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Kondusifat konstitusi tidak dihiraukan dengan cermat dan sehat, bahkan tidak sedikit melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat.

Enggak sedikit pula hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan politik sehingga merugikan rakyat. Ini menandakan bahwa politik kekuasaan Orde Baru memang memiliki power lebih kuat ketimbang hukum.

Karena itulah, rakyat sepakat mengoreksinya. Hari ini, seperempat abad yang lalu, kita mendeklarasikan era baru. Reformasi namanya. Salah satu yang hendak didudukkan pada posisi yang tepat ialah hukum harus menjadi payung dan alat keadilan.

Tekad mendudukkan Indonesia menjadi negara yang berdasarkan hukum (rechsstaath) digemakan di mana-mana. Banyak yang berseru bahwa segala tindakan dan kebijakan suatu negara haruslah berdasarkan hukum. Politik kekuasaan yang dijalankan negara dibatasi oleh hukum. Politik tidak boleh lagi memborgol hukum demi menegakkan keadilan.

Cek Artikel:  Tentang Rp271 Triliun

Kini, setelah 25 tahun berlalu, sudahkan semua tekad itu mewujud? Atau, masih baru secuilkah yang terlaksana? Atau, jangan-jangan sekadar bersalin pemegang kuasa, tapi substansinya masih sama saja? Sudah tidak adakah yang menjadikan hukum sebagai alat penekan untuk bargaining politik?

Dengan masih banyaknya pertanyaan yang menggelayuti sebagian anak bangsa ini, kiranya bisa saya simpulkan masih ada yang belum sepenuhnya beres dari ikhtiar mendudukkan hukum sebagai payung dan alat keadilan. Lebih-lebih, dalam praktik politik saat ini. Terdapat perasaan dan nuansa yang dirasakan sebagian anak bangsa ini bahwa hukum masih kerap ditekuk (dibuat bertekuk lutut) di hadapan kekuasaan politik.

Potongan sajak yang ditulis mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Orang Denny Indrayana berikut ini kiranya mewakili suara mereka yang merasakan kekalahan hukum oleh politik. Dalam sajak berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi itu Denny menulis:

Cek Artikel:  Budayawan Tunabudaya

Inilah kisah sensasi

Kala korupsi punya kawan bernama koalisi

Ketika korupsi punya lawan bernama oposisi

Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisi

Karena jika nekat di barisan oposisi, korupsi berarti bunuh diri.

 

Inilah kisah sensasi

Ketika Anda diborgol karena beda posisi

Sedang yang di Istana bebas ngobrol diskusi strategi kontestasi, sambil minum kopi.

 

Jadi, masalahnya bukan korupsi

Salahnya ketika membentuk barisan sendiri

Tiba-tiba meloncat ke oposisi

Mencelat keluar dari strategi

Jadilah konsekwensi

Tangan tak bergerak dikunci.

 

Itukah yang saat ini terjadi? Semoga tidak seperti itu. Bila begitu kenyataannya, reformasi sedang dikebiri. Kakinya terus diamputasi. Darah dan nyawa pahlawan reformasi dikhianati, lalu reformasi pun dihabisi dan mati.

Mungkin Anda Menyukai