
BEBERAPA waktu belakangan, pikiran dan hati saya terusik. Seperti yang telah saya tulis di Calak Edu , Senin (24/7), masalah kekerasan di sekolah belum ditangani dengan Bagus. Tetap banyak kekerasan terjadi di sekolah. Entah itu dilakukan siswa, guru, atau orangtua. Bahkan juga dilakukan calon guru, yang terjadi di salah satu sekolah di Palembang, Sumatra Selatan, beberapa waktu Lewat.
Berbagai usaha telah dilakukan berbagai pihak. Terakhir, Kemendikbud-Ristek mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan di Tingkat Satuan Pendidikan. Pertanyaannya kemudian, apakah peraturan itu akan efektif menurunkan, bahkan menghilangkan kekerasan di sekolah? Kalau kiranya Tak efektif, apa yang Sepatutnya menjadi perhatian dan Krusial Demi dilakukan?
Kritik Permen 46/2023
Permen No 46 Tahun 2023, ketika diluncurkan melalui kanal Youtube (16/8), dipenuhi dengan optimisme yang tinggi akan Pandai mencegah dan menangani masalah kekerasan di sekolah. Beberapa poin positif Eksis dalam Permen ini. Pemaknaan bentuk kekerasan diperluas hingga mencakup bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan.
Tindakan kekerasan yang ditangani juga bukan hanya kekerasan secara fisik dan verbal, melainkan juga kekerasan nonverbal melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Hal lain yang patut diapresiasi ialah penanganan tindak kekerasan yang dijabarkan secara rinci dalam pasal-pasal Permen ini. Akan tetapi, Permen ini bukan tanpa kritik.
Hal yang menjadi perhatian Krusial dalam Permen ini ialah penekanan yang sangat besar dalam hal penanganan kekerasan dan minimnya pembahasan mengenai pencegahan kekerasan. Dalam hal penanganan kekerasan, Permen ini sepertinya dipenuhi Dugaan bahwa Anggota sekolah, terutama guru, telah menghidupi nilai-nilai nirkekerasan dalam keseharian mereka.
Padahal, dalam kenyataannya Tetap banyak guru yang abai dan melakukan tindak kekerasan, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan struktural dengan mengeluarkan peraturan-peraturan sekolah yang diskriminatif. Selanjutnya, pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tiap satuan pendidikan yang dikehendaki dalam Permen ini, dengan Realita banyaknya guru yang belum menghidupi nilai damai dan nirkekerasan, sepertinya Tak akan berjalan efektif. Dalam pelaksanaannya nanti dikhawatirkan hanya akan menjadi pemenuhan syarat administratif semata.
Pesimisme yang terlalu besar ini bukan tanpa Dalih. Ketika mengikuti acara peluncuran Permen No 46 Tahun 2023 melalui kanal Youtube, kolom komentar menjadi tempat yang menarik Demi diperhatikan. Guru dari berbagai penjuru Indonesia menghadiri acara tersebut, tetapi sayangnya mereka hanya Acuh pada masalah kehadiran.
Mayoritas guru hanya menuliskan kehadirannya dalam kolom komentar. Lebih miris ketika sebagian guru kemudian Pusat perhatian menanyakan di mana tautan daftar hadir. Tak Eksis komentar guru yang membahas dan mendiskusikan isi Permen ini. Misalnya miris lain yang menambah pesimisme terjadi dalam grup Whatsapp yang dibuat Demi mewadahi Percakapan lebih lanjut peserta Percakapan Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) yang diadakan Yayasan Sukma, Juli Lewat.
Ketika peserta non-guru menginisiasi perbincangan mengenai kejadian-kejadian kekerasan di sekolah dan mengajak peserta guru Demi ikut berkomentar, Tak satu pun guru yang Eksis di dalam grup Whatsapp tersebut berkomentar, bahkan sekadar Demi menunjukkan rasa prihatinnya. Pertanyaan sedih yang harus diajukan, apakah guru sebenarnya Acuh pada topik kekerasan di sekolah?
Urgensi pendidikan damai dan nirkekerasan
Dalam Permen No 46 Tahun 2023, topik pencegahan dibahas sangat pendek dengan menyatakan perlunya penguatan tata kelola, edukasi, dan penyediaan sarana dan prasarana. Dalam hal edukasi, pernyataannya sangat normatif, dengan menyatakan bahwa kementerian, pemerintah daerah, dan sekolah melakukan sosialisasi tata tertib dan program pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah dan melaksanakan penguatan Watak melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan nirkekerasan kepada seluruh Anggota sekolah. Akan efektifkah itu?
Kalau kita Mau Membangun perubahan yang berkelanjutan, perubahan Orang ialah fondasinya. Strategi intervensi yang efektif dan berdampak jangka panjang harus dimulai dengan perubahan pada level individu, terutama pada individu kunci yang Mempunyai kuasa; kuasa Membangun kebijakan dan kuasa memengaruhi (CDA Collaborative Learning Projects, 2016).
Ketika individu, terutama individu kunci, Mempunyai Langkah berpikir yang sesuai, maka akan muncul usaha dan peraturan yang Bagus dengan implementasi yang Dapat dipastikan akan berjalan efektif. Begitu pula dengan pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, kita harus memastikan guru-guru, terutama yang berada dalam posisi manajemen sekolah, memahami dan menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan.
Jangan Tiba guru yang Mempunyai semangat Demi menangani kekerasan di sekolah, tetapi kemudian semangat itu Lamban laun sirna ketika kepala sekolah Tak Mempunyai semangat yang sama dan Tak Acuh pada kejadian-kejadian kekerasan di sekolahnya.
Demi mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, edukasi menjadi bagian urgen, yakni edukasi yang memastikan guru sebagai insan pengabdi nilai-nilai damai dan nirkekerasan. Sayangnya, usaha itu belum dilakukan dengan Bagus, bahkan sejak mereka di fakultas kependidikan.
Dua mahasiswa Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM yang berasal dari fakultas kependidikan di dua universitas berbeda menyatakan bahwa mereka Tak pernah mendapatkan materi perdamaian maupun nirkekerasan ketika kuliah di tingkat sarjana. Guru di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) juga menyampaikan hal yang sama.
Mereka baru terpapar dengan materi perdamaian dan nirkekerasan ketika bekerja di SSB, yang secara serius memastikan setiap guru yang mengajar harus menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan melalui pelatihan pendidikan perdamaian yang kontinu.
Proses pemahaman dan internalisasi ini Sepatutnya dimulai sejak guru mengikuti pendidikan di fakultas kependidikan. Calon guru harus terpapar secara Lanjut-menerus dengan topik perdamaian dan nirkekerasan sejak Awal.
Dengan begitu, ketika menjadi guru, mereka paham bahwa guru, apa pun mata pelajaran yang diampu, sudah Sepatutnya menjadi agen perdamaian dan nirkekerasan yang nantinya akan menanam dan menumbuhkan nilai-nilai damai dan nirkekerasan kepada siswa. Kekerasan di sekolah Dapat dihentikan dan dihilangkan. Kunci utamanya Eksis pada guru yang menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan.