ADEGAN mengharukan selama Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia, 3-6 September 2024, terjadi saat pertemuan antara Nasaruddin Umar dan tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal, Jakarta. Penuh ketulusan dan tak berjarak. Seakan pertemuan dengan anggota keluarga yang telah lama terpisah jarak dan waktu.
Tanpa sungkan, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mencium kening Sri Paus Fransiskus. Sebaliknya, pemimpin tertinggi Gereja Katolik asal Buenos Aires, Argentina, itu membalas dengan mencium tangan Nasaruddin Umar. Tepuk tangan menggemuruh melihat kedua pemimpin besar agama ini begitu akrab dan seakan enggan terpisah.
Kedekatan ini tumbuh karena ada perasaan saling percaya. Sri Paus meyakini Indonesia sebagai negara religius dan menempatkan persaudaraan sebagai hal utama.
Baca juga : 1.000 Umat Katolik Denpasar ke Jakarta Ikut Misa Serempak Paus Fransiskus
Jauh dari perasaan curiga, khawatir, apalagi takut, Sri Paus menyusuri jalan-jalan Jakarta tanpa pengawalan ketat. Pemimpin tertinggi umat Katolik itu menyapa, menyalami, dan memberkati semua orang yang antusias menyambutnya. Ibarat mudik, Sri Paus kembali ke kampung halaman, menjumpai keluarga dan kerabat dalam suasana penuh keceriaan.
Begitu audiensi dengan para uskup, imam, biarawan/wati, dan pelayan gereja di Gereja Katedral, 4 September 2024, Sri Paus menyatakan kekagumannya atas Indonesia. “Saya tersentuh dan berpikir tentang visi indah dalam negara kepulauan Indonesia yang luas yang terdiri dari ribuan jembatan hati yang menyatukan semua orang. Mengingat Indonesia adalah mengingat persaudaraan,” kata Paus.
Perbedaan sebagai anugerah
Kuatnya kesan Sri Paus tentang persaudaraan tersebut merupakan kebanggaan buat kita. Rupanya, itu pula alasan yang membuat Sri Paus memenuhi undangan pemerintah Indonesia. Sudah sepatutnya kita rawat dan pertahankan sekuatnya.
Baca juga : Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Tingkatkan Toleransi Berbagai macama
Kehadiran sosok yang teduh dan penuh senyum itu juga menjadi berkah tersendiri bagi kita sebagai bangsa. Sengitnya kontestasi politik yang sarat kepentingan sempit berjangka pendek untuk beberapa saat terlupakan. Liputan media didominasi oleh isu tentang pentingnya persaudaraan sekaligus menggelorakan harapan. Sri Paus menghadirkan oase untuk menyemai kembali mimpi Indonesia yang lebih guyub, maju, dan berkeadilan.
Persis seperti inilah yang disampaikan Presiden Jokowi saat menyambut Sri Paus di Istana Negara. Menurut Jokowi, perbedaan ialah anugerah yang memungkinkan semua orang hidup berdampingan. Hal itu dipupuk oleh budaya toleransi sehingga memperteguh persatuan dan perdamaian. Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan teramat berharga dari para pendiri bangsa.
Krusialnya perbedaan bagi kemajuan negeri sudah lama diingatkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tokoh pluralis ini memandang perbedaan, terutama agama, sebagai keniscayaan. Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu bagi umat beragama. Karena itu agama harus bisa menjadi roh dalam perjuangan moral, bukan difungsikan sebagai bendera dan label (Zainuri, 2021). Singkatnya, agama harus dijauhkan dari tendensi yang merusak dan merugikan kemanusiaan.
Baca juga : Iran Puji Kunjungan Paus Fransiskus ke Irak
Romo Mangun Wijaya, sahabat Gus Dur, memiliki visi yang sama tentang perbedaan. Menurutnya, perbedaan agama merupakan kekuatan untuk memperkokoh kemanusiaan. Religi merupakan fondasi religiusitas. Sementara religiusitas dimaknai sebagai kesadaran tentang eksistensi Ilahi dan aspek kesucian dalam bertindak (Rahman dan Theofany, 2017).
Pada titik ini, agama menjadi kekuatan yang membuat manusia selalu merendah, tidak berlebihan, dan menempatkan sesama secara setara. Insan yang religius juga sadar bahwa semua orang berhak atas hidup bermartabat, terhindar dari diskriminasi dan represi sosial serta politik.
Persoalannya, berbagai kearifan tersebut belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Tindakan intoleransi berbasis prasangka keagamaan masih kerap terjadi. Perbedaan agama masih terus menyimpan bara yang setiap saat bisa mengoyakkan wajah kemanusiaan.
Baca juga : Satu Pohon Mangrove yang Diberkati Paus Fransiskus Ditanam di Bali
Data Setara Institute 2023 mencatat bahwa pada 2022 terjadi 175 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Nomor ini naik dari tahun sebelumnya yakni 171 kasus. Pelanggaran KBB dimaksud terjadi dalam tiga bentuk yakni gangguan tempat ibadah, penggunaan delik penodaan agama, dan penolakan ceramah.
Gangguan terhadap tempat ibadah pada 2022 cukup tinggi yakni 50 kasus. Rinciannya, gereja 21 kasus (18 Gereja Protestan dan 3 Gereja Katolik), masjid 16 kasus, wihara 6 kasus, musala 4 kasus, pura 2 kasus, dan tempat ibadah penghayat kepercayaan 1 kasus.
Data tersebut menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama masih jauh dari menggembirakan. Hingga kini, lima kota yang dinilai paling tidak toleran ialah Cilegon, Depok, Padang, Sabang, dan Mataram. Tiadanya sikap toleransi tersebut menyulitkan umat beragama mendirikan rumah ibadah.
Gambaran paling suram soal ini ialah Kota Cilegon. Data BPS Kota Cilegon 2022 menunjukkan ada 488 masjid dan 458 musala di Cilegon tetapi tidak ada satu pun gereja, pura, maupun vihara. Padahal jumlah warga nonmuslim di Kota Cilegon tercatat 7.003 warga Kristen, 1.823 warga Katolik, 244 warga Hindu, 1.676 warga Budha, dan 10 warga Konghucu. (Katadata.co.id).
Belajar dari Ende, Flores
Ende, Flores, memiliki andil besar bagi lahirnya nilai-nilai luhur Pancasila. Begitu diasingkan di Ende, 1934-38, Soekarno menjumpai masyarakat yang beragam: suku, agama, adat istiadat, dan budaya, serta ekonomi. Soekarno bertemu dan bergaul dengan rakyat miskin dan buta huruf.
Ende yang terisolasi dan sepi menjadi momen bagi Soekarno berkontemplasi di bawah pohon sukun, dekat rumahnya. Soekarno sering melamun dan serius memikirkan cara mempersatukan Indonesia jika kelak mencapai kemerdekaan. Soekarno juga sering berdiskusi dengan para pastor tentang politik dan perjuangan kemerdekaan.
Hasil perenungan itu kini tertulis di prasasti yang terletak di pohon sukun tersebut. Bunyinya, “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.” (Dhakidae, 2015).
Wajar jika kota Ende kini dikenal sebagai tempat lahirnya Pancasila. Kagak berhenti di situ. Praktik hidup umat beragama di kota ini dan NTT umumnya menggembirakan. Hal ini terkonfirmasi lagi bahwa Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT, merupakan salah satu kota paling toleran di Indonesia.
Kejadian terkini ialah saat pentabisan Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, Uskup Mulia Ende, 22 Agustus 2024. Begitu makan siang, umat muslim diberi kepercayaan untuk memimpin doa. Padahal acara ini dihadiri puluhan uskup, ratusan imam dan suster, serta ribuan umat Katolik dari lima keuskupan di Flores.
Inilah teladan hidup. Toleransi tidak sekadar dibicarakan tetapi dipraktikkan dijadikan laku hidup. Itulah kearifan dari Ende yang perlu terus dijalani demi membangun persaudaraan sekaligus wujud konkret membela perbedaan.