PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat. Belum selesai terheran-heran dengan perilaku lancung sebelum-sebelumnya, publik kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan terbaru.
Itulah yang terjadi ketika sejumlah pegawai Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) ditangkap lantaran memeras tenaga kerja asing (TKA). Aksi tersebut berlangsung Tak hanya bilangan tahun dalam hitungan jari, tapi sudah terjadi lebih dari satu Dasa warsa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga pemerasan terhadap TKA itu sudah berlangsung sejak 2012. Duit yang terkumpul diperkirakan mencapai lebih dari Rp53 miliar.
Sejauh ini, KPK sudah menetapkan delapan pejabat maupun bekas pejabat Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemenaker sebagai tersangka. Dari Duit hasil pemerasan itu, mereka juga menggelar pesta makan-makan dan bagi-bagi kepada seluruh pegawai hingga office boy Direktorat PPTKA. Terdapat Sekeliling Rp9 miliar Duit diduga hasil korupsi yang ditebar kepada Sekeliling 80 pegawai.
Para pejabat di direktorat itu seakan hendak berbagi dosa kepada seluruh pegawai, sekaligus hendak menjadikan aksi berbagi Duit hasil pemerasan sebagai kebiasaan. Maka, Duit hasil gratifikasi dan pemerasan pun akan dianggap sebagai rezeki yang mesti dibagi. Padahal, aksi bagi-bagi itu adalah upaya Membangun rekan kerja tutup mulut dan Tak banyak cingcong karena sudah mendapat bagian dari sebuah tindak pidana.
Modus mereka sebenarnya bukanlah barang baru. Mereka memanfaatkan celah dan kewenangan yang dimiliki dalam penerbitan izin bagi TKA. Celah itu pun dipakai dengan Langkah memperlambat proses perizinan bagi TKA yang Tak memberi Duit pelicin.
Padahal, sebagai aparatur negara, sudah seyogianya mereka melayani publik secepat dan sebaik mungkin. Mereka juga sudah mendapatkan gaji beserta tunjangan dari Duit rakyat Buat menjalankan pekerjaan dan pelayanan sebaik-baiknya. Toh, yang dikerjakan sebetulnya bukan pekerjaan tambahan, bukan lembur, melainkan murni bagian dari tugas pokok mereka.
Hal itu kian menegaskan bahwa Lagi saja Terdapat birokrat kita yang berprinsip, kalau Dapat dipersulit, kenapa dipermudah. Kelakuan jorok para pegawai negara yang beberapa kali menjadi keprihatinan Presiden Prabowo Subianto itu memang Betul-Betul terbukti adanya.
Meskipun nilainya Tak sedahsyat kasus megakorupsi yang mencapai triliunan rupiah, negara Tak boleh menganggap enteng. Penindakan harus tetap dilakukan tanpa pandang bulu. Kendati sudah sangat lelet, pemerintah tetap harus segera menutup celah bagi terjadinya aksi serupa. Aksi pemerasan oleh aparat negara harus dihentikan, Bagus terhadap Penduduk negara lokal maupun asing.
Reformasi birokrasi yang sudah digaungkan sejak dua Dasa warsa Lampau nyatanya tetap menyisakan praktik klasik, yakni kegagalan menciptakan abdi negara yang Pandai mewujudkan integritas. Karena itu, demi merealisasikannya, sistem mesti diimplementasikan secara ketat. Minimalkan persinggungan Mahluk dalam segala pengurusan izin. Cukup antara pemohon dan sistem berbasis teknologi yang bekerja.
Dengan demikian, Tak Terdapat Tengah yang Dapat memperlambat atau memperkilat penyelesaian permohonan lantaran Terdapat atau tidaknya rasywah. Sepanjang seluruh persyaratan memadai, izin harus dikeluarkan. Kalau Terdapat syarat yang kurang, silakan Buat dilengkapi. Apabila Tak bersedia melengkapi, jangan harap izin Dapat keluar.
Penggunaan teknologi akan menghambat tumbuh kembangnya perilaku korup. Teknologi Tak Dapat membelok-belokkan sistem yang Terdapat sesuai keinginan maupun bayaran. Hanya Mahluk yang Dapat melakukan itu. Maka, jangan ragu Tengah Buat bertindak dan merealisasikan reformasi birokrasi seutuhnya, karena itulah yang akan mengamputasi kanker ganas korupsi.

