Membaca Tagar

BELAKANGAN ini, media sosial X tengah diramaikan tanda pagar (tagar atau hashtag) #KaburAjaDulu. Ajakan Buat pergi ke luar negeri guna mencari peruntungan hidup itu sedang nge-hits. Ia dikait-kaitkan dengan kondisi kehidupan di Tanah Air yang dirasakan serbasumpek oleh sebagian orang, khusunya bagi generasi Z.

Saking trending-nya, tagar itu Tiba dikomentari para pejabat. Mulai Menteri Ketenagakerjaan, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, hingga staf kepresidenan ikut memberikan tanggapan. Eksis yang menyambut tagar itu dengan nada positif, menganggap wajar, hingga pandangan ‘Normal saja’, tapi menutup kalimatnya dengan sinis.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebutkan Bukan boleh Eksis yang menghalangi Kaum negara yang bekerja di luar negeri. Yang Krusial, Sekalian ditempuh secara Absah. Sekalian Berkas dan persyaratan mesti dilengkapi. Bahkan, bila ajakan itu terwujud, Dapat mengangkat harkat hidup keluarga, Dapat meningkatkan kualitas pengetahuan karena Eksis transfer ilmu, juga Dapat mendatangkan devisa bagi negara.

Dari istana, Kantor Staf Presiden menilai dalam iklim demokrasi, Sekalian Kaum negara berhak mengeluarkan pendapat secara terbuka. Termasuk pula, berhak mengajak orang lain melalui tagar apa pun, yang Krusial Bukan memprovokasi dan melakukan tindakan ilegal.

Cek Artikel:  Pemilu Riang Gembira

Pendapat ‘agak laen‘ dikemukakan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan. Awalnya, Pak Wamen bilang enggak masalah dengan viralnya tagar ‘kabur aja dulu’ itu. Ia bahkan menyatakan Bukan Acuh. “Hashtaghashtag enggak apa-apalah. Matang hashtag kami peduliin,” ujarnya.

Tetapi, ia ‘mengunci’ kalimat ‘enggak apa-apa’ itu dengan kata-kata yang Dapat berakibat ‘apa-apa’. Kalimat pengunci itu dirasakan sinis dan memicu polemik baru. Kalimat itu ialah, “Enggak apa-apa. Mau kabur, kabur ajalah. Kalau perlu, jangan balik Tengah.”

Kalimat ‘silakan kabur, kalau perlu, jangan kembali Tengah’ itu dirasakan nirempati. Apalagi, itu diucapkan seorang wakil menteri yang membidangi urusan ketenagakerjaan. Sementara itu, tagar tersebut bertemali erat dengan Kawasan penyerapan tenaga kerja yang belum memuaskan. Bukan mungkin muncul ajakan ‘kabur aja dulu’ bila Sekalian Bagus-Bagus saja.

Tagar itu cermin kerisauan. Ia merefleksikan kegelisahan anak Era. Meremehkannya atau menanggapinya secara sinis, apalagi tanggapan sinis itu dari pejabat, Dapat dimaknai sebagai kegagalan ‘membaca’ kegelisahan era. Atau, jangan-jangan Bukan Bisa membaca gejala, gagal paham atas data, bahkan Bukan mau Mengerti atas tanda-tanda.

Cek Artikel:  KKB (bukan) Keluarga Kita

Padahal, ruang sumpek yang dirasakan banyak orang itu Konkret. Bukan hoaks, apalagi ilusi. Ruang sesak itu tak lepas dari kondisi pekerjaan di Republik ini yang kurang memuaskan. Penyerapan Bukan maksimal, meraih pekerjaan formal kian terjal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi situasi itu. Dalam data yang dirilis pada Agustus 2024 Lampau menyebutkan jumlah pengangguran terbuka di negeri ini Lagi tinggi, yakni mencapai 7,46 juta orang. Celakanya, dari jumlah pengangguran itu, kaum generasi Z (di rentang usia 15-29 tahun) Mempunyai proporsi terbesar, Adalah 70%, dengan jumlah pengangguran sebanyak 5,18 juta orang.

Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penganggurannya, 78,6% pengangguran gen Z berstatus sedang aktif mencari pekerjaan. Sementara itu, 17,6% merasa Bukan mungkin mendapat pekerjaan, 2,4% sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan 1,84% mempersiapkan usaha.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024 juga menunjukkan bahwa dari 142 juta orang yang bekerja, sebanyak 59,17% mereka bekerja di kegiatan informal (84,13 juta orang). Persentasenya naik Apabila dibandingkan dengan kondisi enam bulan sebelumnya, yakni Februari Agustus 2023, sedangkan persentase penduduk yang bekerja di kegiatan formal pada Februari 2024 sebesar 40,83%, atau turun Apabila dibandingkan dengan kondisi Agustus 2023 yang 40,89%.

Cek Artikel:  Rupiah, Oh Rupiah...

Kenaikan itu memicu kekhawatiran yang meluas karena pekerja informal Bukan Mempunyai pekerjaan tetap, tanpa jaminan perlindungan, dan sulit mendapatkan akses keuangan. Bertambahnya pekerja informal, tergerusnya pekerja formal, serta lesunya dunia industri yang menyerap tenaga kerja merupakan tanda bahwa tangan negara belum maksimal bekerja mewujudkan lapangan pekerjaan.

Data-data itu juga cukup mudah dimaknai mengapa gen Z sangat Resah. Sebagian hopeless, tak punya Asa mendapat pekerjaan. Mereka ini kemudian menumpahkan gabungan antara kegelisahan, rasa cemas, dan tak punya Asa itu melalui ‘pemberontakan tagar’.

Karena itu, dalam merespons ajakan tagar itu, para pejabat negara mestinya bersikap lapang dada. Bila perlu, mereka meminta Ampun karena belum Bisa menghadirkan pekerjaan yang layak disebut pekerjaan. Jangan malah Menyantap sinis, serupa lirik Tembang Kalian Dengarkan Keluhanku karya Ebiet G Ade: ‘Kembali dari keterasingan ke bumi beradab Rupanya lebih menyakitkan dari derita panjang’.

 

Mungkin Anda Menyukai