Membaca Papua dalam Api dan Luka Akankah Asa Tetap Menyala

Membaca Papua dalam Api dan Luka:  Akankah Harapan Tetap Menyala?
(Dokpri)

DI ufuk timur Indonesia, di mana Sinar Surya pertama kali menyentuh bumi pertiwi, tanah Papua kembali basah oleh air mata dan darah. Tragedi yang menimpa para guru dan tenaga medis di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, bukan sekadar peristiwa Normal. Ia cermin buram dari luka yang tak kunjung sembuh. Kekerasan demi kekerasan Lanjut terjadi, seolah mengukuhkan narasi bahwa pendidikan dan kemanusiaan di Papua hanyalah impian yang berkali-kali direnggut oleh kebiadaban.

Ketika guru menjadi sasaran, ketika tenaga medis yang datang Demi menyembuhkan Malah menjadi korban, di mana letak nurani? Apakah Sinar Asa bagi Papua akan Lanjut dipadamkan oleh ancaman yang menakutkan?

Pendidikan dalam bayang-bayang teror

Kekerasan terhadap tenaga pendidik bukanlah hal baru di Papua. Laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam kajian tahun 2023, Papua’s Education Crisis: Between Conflict and Neglect, menegaskan bahwa serangan terhadap guru dan fasilitas pendidikan di Papua semakin meningkat dalam satu Dasa warsa terakhir. 

Cek Artikel:  Setor Nama Anies, DPD PDIP Jakarta Gencarkan Komunikasi Politik

Guru-guru yang Sepatutnya membawa secercah ilmu dan Asa bagi generasi muda Malah dipaksa memilih antara tetap mengabdi atau meninggalkan daerah konflik demi keselamatan diri.

Dalam kasus serangan di Yahukimo pada 23 Maret 2025, yang menewaskan seorang guru, Rosalina Rerek Sogen, asal Flores NTT, dan melukai beberapa lainnya, kita kembali dihadapkan pada realitas pahit: sekolah-sekolah di Papua bukan Tengah tempat menimba ilmu, melainkan arena yang dipenuhi ketakutan. Laporan dari UNICEF Indonesia (2024) bahkan menyebutkan, bahwa akses pendidikan di Kawasan konflik Papua mengalami penurunan drastis hingga 40% dalam lima tahun terakhir, terutama di daerah pedalaman.

Bagaimana kita Bisa berharap akan masa depan yang cerah Apabila para guru Lanjut diburu seperti buronan? Apabila sekolah-sekolah yang Sepatutnya menjadi rumah bagi ilmu malah menjadi sasaran teror?

Negara di persimpangan: antara janji dan realita

Pemerintah kerap menegaskan komitmennya terhadap pembangunan Papua, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan. Tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa janji tersebut Tetap sebatas retorika. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Jayapura pada 2023 menegaskan, “Pembangunan di Papua Enggak boleh Tersendat oleh konflik. Guru dan tenaga kesehatan harus mendapat perlindungan maksimal.” Sayangnya, perlindungan yang dijanjikan belum sepenuhnya Konkret. 

Cek Artikel:  Ulah Predator Seksual Anak

Berdasarkan data dari Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Nusantara (2024), Sekeliling 70% tenaga pendidik di Kawasan konflik Papua merasa Enggak Terjamin dalam menjalankan tugasnya. Sistem pengamanan bagi guru di daerah rawan pun dinilai Tetap minim dan Enggak efektif. 

Ketidakhadiran negara secara konkret dalam memberikan rasa Terjamin bagi pendidik di Papua seakan memperpanjang daftar kelalaian yang telah berlangsung bertahun-tahun. Bagaimana mungkin seorang guru yang tugasnya mencerdaskan bangsa harus menjadi martir dalam konflik yang tak kunjung usai?

Antara perlawanan dan Asa yang menyala

Di tengah gempuran ketakutan, Tetap Terdapat Asa yang berpendar. Para guru yang tetap bertahan di Papua adalah bukti bahwa Terdapat jiwa-jiwa besar yang menolak tunduk pada teror. Mereka adalah lentera di tengah kegelapan, menolak menyerah demi anak-anak Papua yang berhak atas pendidikan layak.

Cek Artikel:  Membangun Kemudahan Mengembangkan Media Pembelajaran

Tetapi, mereka Enggak Bisa berjuang sendiri. Negara harus hadir, bukan sekadar melalui operasi militer yang menambah ketegangan, melainkan melalui kebijakan yang Betul-Betul berpihak pada pendidikan dan keselamatan para pengabdi ilmu di Papua.

John Dewey, seorang filsuf dan pemikir pendidikan, dalam bukunya Democracy and Education (1916), menegaskan, “Masyarakat yang Enggak melindungi para pendidiknya sedang menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Pendidikan adalah alat Primer demokrasi, dan tanpa perlindungan bagi mereka yang mendidik, sebuah bangsa akan kehilangan fondasi moral dan intelektualnya.”

Papua Enggak boleh Lanjut-menerus menjadi tanah air yang menelan anak-anak terbaiknya. Tragedi di Yahukimo bukan sekadar Siaran yang berlalu begitu saja. Ia adalah panggilan bagi kita Segala Demi bertanya: Tamat Ketika pendidikan di Papua akan Lanjut menjadi korban? Tamat Ketika para pengabdi ilmu harus mempertaruhkan nyawa mereka?

Asa bagi Papua Enggak boleh padam. Tetapi, ia butuh lebih dari sekadar janji. Ia butuh tindakan Konkret sekarang juga.

Mungkin Anda Menyukai