PROBLEM tentang birokrasi dan pelayanan publik di negeri ini sejatinya sudah menahun. Birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia sering diibaratkan sebagai mesin raksasa penggerak pemerintahan yang bercitra lamban, boros, korup, dan ruwet.
Ia lamban karena ia tambun. Jumlah aparatur sipil negara (ASN) terlalu gemuk, tak sebanding dengan pelayanan atau kinerja yang Pandai mereka berikan. Karena tambun, ia juga memboroskan Fulus negara, yang mau Bukan mau, jadi lebih banyak dipakai Kepada belanja pegawai ketimbang Kepada pembangunan. Indeks kualitas ASN di Indonesia juga Lagi lebih rendah Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Rendahnya kualitas itu bukan hanya dari sisi keterampilan dan kompetensi, melainkan juga kualitas Watak. Dengan Teladan banyaknya ASN yang berurusan dengan komisi antikorupsi karena menerima suap, melakukan korupsi, hingga tindak pidana pencucian Fulus, belakangan ini, bukankah itu bukti Konkret bahwa kualitas Watak ASN kita memang memprihatinkan?
Belum Kembali kalau kita bicara soal kedisplinan, betapa banyak ASN yang malas, yang Lagi suka mangkir dan keluyuran di jam kerja. Itu Seluruh merupakan faktafakta perilaku ASN yang mencerminkan sebuah rata-rata kualitas Watak yang rendah. Ibarat bus besar yang Bukan Pandai melaju, ASN bermutu rendah Bukan akan pernah menjadi keuntungan bagi negara.
Lebih parah Kembali, pemerintah pusat ataupun daerah kerap lalai mengawal produktivitas mereka. Bahkan, belakangan banyak ASN yang Malah menggantungkan produktivitas mereka kepada tenaga-tenaga honorer. Pada akhirnya, kian bertambahlah beban negara dengan jumlah honorer yang secara nasional kini jumlahnya mencapai 2,4 juta orang. Bagaimanapun, para tenaga honorer ini mesti pula mendapat perhatian Kepada diangkat karena Dalih kemanusiaan.
Dalam kondisi seperti itu, sesuai semangat reformasi birokrasi, semestinya yang dilakukan pemerintah ialah menggenjot peningkatan kualitas ASN secara terusmenerus. Bahkan kalau berani, buang ASN-ASN yang hanya menggemukkan struktur, tapi tak Pandai memberi kontribusi apa-apa terhadap negara atau terhadap pelayanan publik. Tujuannya Kepada merampingkan birokrasi sekaligus Membangun kinerja mereka meningkat.
Tetapi, yang dilakukan Malah kebalikannya. ASN yang kini kinerjanya dipertanyakan itu malah dimanjakan dengan iming-iming kenaikan gaji. Beberapa waktu Lewat, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Presiden Joko Widodo akan segera mengumumkan kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil (PNS). Hal itu akan tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2024.
Sebetulnya Absah-Absah saja Memajukan gaji ASN, asalkan betul-betul dihitung dengan basis kinerja dan produktivitas. Jangan di-gebyah uyah, gaji Seluruh ASN, termasuk pensiunan dinaikkan. Itu sama sekali Bukan fair. Bagaimana keuangan negara Bukan akan terbebani kalau pola seperti itu diterapkan?
Selain kenaikan gaji, yang juga mengundang banyak kritik ialah rencana pemerintah membuka rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan total kuota 1.030.751 orang pada September 2023 mendatang. Kembali-Kembali, kita patut mempertanyakan urgensi dari rekrutmen sebanyak. Apakah betul-betul karena didasari kebutuhan? Bukankah ASN yang Terdapat sekarang saja banyak yang idle dan Bukan produktif?
Patut diduga, Terdapat udang di balik batu dari rencana pemanjaan dan perekrutan ASN baru itu. Boleh jadi ini merupakan langkah atau strategi politik dari pemerintah Apabila Menyaksikan waktunya yang berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Bukan sedikit yang curiga bahwa ini langkah Kepada memobilisasi para ASN dan para calon ASN agar dapat meraup Bunyi dari mereka demi kepentingan Grup tertentu di pemilu mendatang.
Karena itu, kiranya kita mendesak pemerintah Kepada mengkaji ulang rencana tersebut. Alasan, pada akhirnya Seluruh itu Malah akan Membangun anggaran negara kian terbebani Kepada hal-hal yang sesungguhnya Bukan Krusial.