Memaknai Resesi

Memaknai Resesi
(Dok. Pribadi)

RAMAI gawai saya berdenting selama sepekan ini. Yang pertama, karena adanya diskusi mengenai neoliberalisme di salah satu grup Whatssapp saya, dengan teman saya yang cerdas, seorang kandidat doktor dari Melbourne Law School. Satu lagi ialah banyaknya permintaan wawancara wartawan pelbagai media mengenai resesi.

Katanya, Indonesia resmi resesi, entah siapa yang meresmikan. Yang jelas, saya melihat satu pertautan yang penting, antara debat saya mengenai neoliberalisme dan juga kegelisahan mengenai resesi. Duaduanya sering disalahartikan.

Resesi kini telah mengalami inflasi arti, bahkan cenderung bersifat peyoratif. Ramainya orang berbicara mengenai resesi sehingga terkadang khalayak lupa apa penyebabnya dan bagaimana memaknainya. Pemberitaan media yang terlalu berlebihan juga menyumbang istilah yang sekarang sudah menjadi pembicaraan di warung kopi ini.

Sebagaimana yang pernah saya sampaikan di kolom ini beberapa waktu lalu bahwa sebagaimana hasil konsensus, sebuah negara terkena resesi jika pertumbuhan ekonominya dalam dua kuartal berturut-turut negatif.

Negara-negara yang sah dicap sebagai negara yang terkena resesi karena memang pertumbuhan ekonominya sudah mengerut semenjak kuartal sebelumnya. Inilah sebabnya Indonesia bak gunting pita, sudah diresmikan menjadi salah satu negara yang terkena resesi. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi negatif sering diasosiasikan dengan krisis yang juga pernah kita alami pada 1998. Yang jelas, tidak selamanya resesi berujung pada depresi apalagi krisis.

Sengkarut yang kita alami pada 1998 terjadi karena adanya bangunan makroprudensial yang ringkih serta minimnya pengawasan terhadap perbankan dan sektor keuangan. Tengok saja Bank Indonesia, yang masih satu atap dengan pemerintah di dalam subordinasi dewan moneter di mana menteri keuangan menjadi ketuanya.

Ditambah lagi buah dari paket Oktober 1988 (pakto 88) yang masyhur itu, yakni persyaratan mendirikan bank menjadi sangat mudah, dengan konsekuensinya banyak konglomerasi yang mendirikan bank untuk memperlebar ekspansi usaha di bidang lain.

Betul memang perekonomian sempat menjulang tinggi sejak awal 1990-an, tetapi berada pada topangan yang rapuh. Ibarat mobil, kita kehilangan satu elemen penting; rem! Ketika terjadi krisis ekonomi di Thailand yang kemudian menjalar hampir ke seantero Asia, Indonesia pun menjadi negara yang terdampak paling buruk karena fondasi perekonomian kita yang memang jauh dari memadai pada saat itu. Tak tanggung-tanggung, perekonomian terkontraksi hingga minus 13%, terburuk di Asia pada saat itu.

Belajar

Tetapi, akhirnya kita belajar, pembenahan di berbagai sektor pun kita lakukan dengan prioritas di sektor keuangan dan moneter. Bank Indonesia dibuat menjadi independen, target inflasi dan pertumbuhan ekonomi dijaga supaya tidak bertubrukan satu dengan yang lain.

Pengelolaan sektor fiskal juga dibuat lebih kuat dengan menjaga defisit dan utang pemerintah di level yang aman sesuai dengan UU 17 Pahamn 2003. Hasilnya? Indonesia bisa melewati krisis keuangan global pada 2008, di saat mayoritas negara besar sangat menderita di tahun tersebut.

Cek Artikel:  Ilusi Trump dan Implikasinya

Bagaimana dengan 2020? Ini adalah kali pertama Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sejak 1998. Setelah sempat terkontraksi pada kuartal II hingga minus 5,32%, mesti harus lanjut minus 3,49%, bahkan kontraksi pada kuartal ketiga ini lebih buruk dari proyeksi pemerintah yang maksimal minus 3%.

Terdapat beberapa hal yang perlu kita lihat untuk memaknai angka-angka ini. Yang pertama, penyebab kontraksi, tentu jauh berbeda dengan kontraksi yang kita alami tahun 1998. Kalau pada 1998 itu adalah kontraksi yang kita alami karena kesalahan kita sendiri dalam tata kelola sektor keuangan, kontraksi pada 2020 ini berasal dari pandemi covid-19, yang sifat rusaknya homogen untuk negara-negara yang terdampak.

Sebagaimana yang kita ketahui, pandemi covid-19 memberikan guncangan besar terhadap perekomian dunia, Indonesia tidak terkecuali. Meminjam ungkapan Jean Baptise Say yang kesohor, “Supply creates its own demand,” di mana stimulus dari sisi supply akan memberikan efek pengganda bagi perekonomian, maka tekanan pada sisi supply akibat pandemi ini juga bisa menghadirkan fenomena yang disebut keynesian supply shocks.

Fenomena ini cukup memberi masalah. Karena, tekanan berlebihan pada sisi supply ini kemudian memberikan tekanan lintas sektor sebagai akibat dari sisi demand yang juga ikut terdampak. Akibatnya, efek domino akan terjadi, semua sektor ekonomi tanpa terkecuali akan terdampak cukup signifikan. Kalau tekanan pandemi ini bersifat homogen, faktor yang bisa membuat variasi antarnegara ialah kebijakan domestiknya. Lantas kita ada di mana?

 

 

MI/Tiyok

Ilustrasi MI

 

Rangkaian kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah tampak cukup inline untuk tetap menjaga daya ungkit perekonomian di tengah pandemi. Meskipun sudah meningkat, menurut perhitungan kami idealnya stimulus tersebut bisa ditingkatkan hingga Rp1.000 triliun untuk memberikan daya dorong yang lebih kuat lagi.

Sebagai perbandingan dengan negara lain, pemerintah Australia dan Singapura menggelontorkan stimulus hingga 10,9% dari total PDB. Amerika Perkumpulan memberikan stimulus sebesar 10,5% dari total PDB, Malaysia merogoh anggarannya hingga sebesar 10% dari total PDB. Jepang bahkan memberikan paket stimulus hingga 20% dari PDB. Sebuah besaran yang disebut oleh Perdana Menteri Abe sebagai paket stimulus kelas dunia.

Meskipun demikian, yang paling penting ialah bagaimana stimulusnya bisa cepat cair karena stimulus yang baik adalah stimulus yang diserap ekonomi. Untungnya, setelah sempat mandek di awal, kucuran stimulus kini mulai cukup baik perkembangannya.

Cek Artikel:  Maksud Strategis Debat Capres

Setelah sempat disentil Presiden Jokowi beberapa kali di rapat kabinet, data per Oktober penyerapan total stimulus sudah mencapai 49,50% dari target. Dengan capaian tersebut, simulasi kami menunjukkan bahwa sumbangan dari paket stimulus ini memberikan daya dorong perekonomian hingga bisa tumbuh 2%. Maksudnya, perekonomian kuartal III bisa jadi lebih buruk tanpa adanya sokongan dari stimulus tersebut.

Ini juga dapat terlihat dari perkembangan pengeluaran pemerintah di kuartal III yang cukup dominan kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi. Kalau saja paket stimulus ini bisa 100% cair maka bisa menambah daya dorong output hingga 3,88%. Maksudnya, peluang kita untuk tumbuh positif di 2020 masih cukup terbuka meskipun sulit.

Selain daya beli (ability to spend) yang tertekan, masyarakat juga mengalami penurunan keinginan untuk belanja (willingness to spend) karena cenderung menghindari risiko (risk averse) penularan virus selama pandemi. Hal ini butuh diungkit segera dengan harapan momentum pertumbuhan ekonomi di jangka panjang akan tetap terjaga dan terhindar dari histerisis ekonomi. Demi itu, fokus perhatian di jangka pendek, selain perluasan jaring pengaman sosial, juga menyokong tumbuh UMKM.

Melewati

Unsur berikutnya yang harus kita perhatikan terkait dengan rilis pertumbuhan ekonomi terbaru ialah sepertinya kita sudah melewati periode yang terburuk. Meski harus terkontraksi lagi hingga 3,49%, secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) perekonomian kita justru tumbuh 5,05%.

Beberapa sektor yang jadi penghela pertumbuhan ekonomi di kuartal III ialah sektor informasi dan teknologi serta sektor jasa kesehatan. Salah satu yang juga bisa menopang ekonomi kita ke depan ialah kinerja ekspor dan impor. Betapa tidak, meski harus terkontraksi 10,82% secara tahunan, kontraksi ini lebih rendah daripada proyeksi Kementerian Perdagangan yang memperkirakan kontraksi berada di angka 13%-15%.

Lebih lanjut, jika melihat kinerja kuartalan, ekspor Indonesia tercatat tumbuh 12,14% pada kuartal III, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kuartal II yang terkontraksi 12,83%. Di sisi lain, impor tetap menunjukkan pertumbuhan negatif meski tak sedalam pada kuartal II, yakni turun 0,08% di kuartal III.

Hal ini seharusnya menunjukkan tren yang berkesinambungan karena kinerja ekspor kita ini juga ditopang oleh kinerja industri yang moncer. Kinerja industri yang moncer ini adalah buah dari intervensi nonfiskal yang dilakukan Kementerian Perdagangan berupa relaksasi impor bahan baku dan barang modal sehingga bisa mendorong kinerja industri selama pandemi.

Selain itu, ada pull factor yang berperan untuk bisa mengangkat perekonomian kita. Dua hal, faktor Tiongkok dan faktor relokasi. Dengan Tiongkok yang berhasil menghindari resesi, permintaan dari ‘Negeri Panda’ terhadap barang baku dan kebutuhan industri dari ASEAN justru meningkat. Hal ini terjadi karena industri mereka masih suboptimal sehingga diperlukan barang baku dari ASEAN untuk menopang perekonomian mereka.

Cek Artikel:  Anak-Anak Penggenggam Masa Depan Gemilang

Yang berikutnya ialah faktor relokasi. Selama pandemi, negara- negara besar seperti Amerika Perkumpulan, Jepang, dan Eropa tampaknya sadar bahwa ketergantungan produksi yang berlebihan pada Tiongkok bisa jadi menyakitkan apabila terjadi gejolak di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka kini mencoba untuk memindahkan basis industrinya dari Tiongkok ke tempat-tempat alternatif. Bahkan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sudah terang-terangan memberikan sebagian dari stimulus pandeminya untuk memindahkan pabrik-pabrik Jepang yang masih ada di Tiongkok.

Tampaknya, ini akan menjadi semakin menarik menyimak langkah dari Yoshihide Suga yang mengunjungi Indonesia dan juga Vietnam setelah dilantik menjadi Perdana Menteri Jepang yang baru. Indonesia juga akan menjadi penting, siapa pun pemenang dari Pilpres Amerika Perkumpulan. Kunjungan Mike Pompeo tidak hanya diartikan sebagai langkah pemerintahannya Trump, tetapi juga punya potensi lanjut di era Biden.

Hal inilah yang sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi pada pidatonya tanggal 16 Agustus yang lalu, yaitu bagaimana membajak pandemi untuk kepentingan kita.

Kesempatan besar

Sejatinya kita sudah tertinggal dalam partisipasi jaringan produksi global, sebagaimana yang sudah saya tulis bersusah-susah pada buku terbitan Palgrave Mcmillan yang berjudul Menduniaization, Productivity and Production Networks in ASEAN: Enhancing Regional Trade and Investment. Akan tetapi, disrupsi pandemi ini memberikan sebuah peluang besar bagi Indonesia sebagaimana yang juga terpampang dalam ragam simulasi yang kami jalankan, di mana peluang tersebut semakin terbuka mulai 2021 hingga 2022. Jangan sampai lepas lagi.

Menyaksikan tahun 2021, proyeksi kami menunjukkan bahwa Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5%. Bahkan, IMF yang sudah memproyeksikan ekonomi kita akan negatif di tahun ini justru menembak angka 6% di 2021. Hal ini sebenarnya wajar karena faktor teknis yang disebut sebagai baseline effect atau efek kelebaman ekonomi.

Hal ini terjadi ketika ekonomi yang terkontraksi dalam tahun tertentu akan kembali merangsek ke tempat keseimbangan awalnya sehingga memunculkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di periode berikutnya. Apalagi jika secara fundamental perekonomian tidak terlalu bermasalah. Karena itu, resesi tidak selalu berujung krisis.

Yang jelas, resesi hampir berubah menjadi jargon yang mudah terucap dan gampang dipolitisasi karena pemahaman akan makna yang tidak lengkap. Sebagaimana perdebatan saya dengan kolega kandidat doktor hukum dari Melbourne itu mengenai neoliberalisme, yang dalam perspektif saya sudah menjadi jargon semata. Semoga dia tidak marah melihat kesimpulan saya ini.

Mungkin Anda Menyukai