PIKIRAN saya tiba-tiba tertambat pada diskusi informal saya dengan Profesor Lam Peng Er dari National University of Singapore (NUS) pada pertemuan North East Asia Think Tank (NEAT) Working Group pada 2018. Musim panas Beijing memang sangat menyengat ketika itu, tapi bukan itu yang membuat bulir keringat keluar deras. Di tengah diskusi beliau menyentak saya dengan sebuah sentilan tajam, “Hei, Bung, ASEAN dan bahkan Asia Timur berharap banyak dari Indonesia!” Sebuah pernyataan singkat, tetapi sarat makna, apalagi keluar dari mulut salah satu ilmuwan politik yang kesohor di Asia.
Awalnya, dahi saya agak berkerut, Indonesia? Pikir saya, kami terlalu disibukkan dengan agenda domestik yang melenakan. Tetapi, kemudian beliau menyadarkan saya bahwa negara-negara lain di ASEAN, bahkan Asia Timur, jauh lebih terpenjara dengan agenda domestik mereka. Menurut Professor Lam, setajam-tajamnya konflik di Indonesia, semua diselesaikan di kotak suara. Indonesia bahkan telah membuktikan bisa menjadi penyintas dari balkanisasi pascakrisis ekonomi dan politik pada 1998, sebuah hal yang bahkan memutarbalikkan ramalan para ilmuwan politik. Empat tahun berselang dari diskusi tersebut, Indonesia kini memegang posisi keketuaan pada forum G-20. Setelah dunia sempat goyah dihajar pandemi, bagaimana lakon Indonesia di posisi sentral ini?
Mengertin 2022 ini bisa jadi menjadi titik infleksi yang menentukan. Apakah perekonomian dunia yang tengah meranggas akibat tandus hanya efek sementara, atau jangan-jangan ketandusan ini ialah hal yang abysmal alias tanpa ujung. Momen keketuaan Indonesia di forum G-20 ini sangat bisa digunakan untuk memecah kegundahan itu.
Penentu arah dunia
Negara-negara anggota G-20 ini bisa dibilang ialah penentu arah dunia. Betapa tidak? Negara-negara ini menguasai 80% perekonomian dunia, 79% perdagangan dunia, dan mewakili 60% penduduk dunia sehingga forum ini dipandang signifikan dan sistemis. Keberhasilan forum ini diharapkan dapat memberikan dampak bagi negara dan entitas di luar anggota mereka. Pembentukan G-20 pada awalnya fokus pada upaya reformasi sistem keuangan global untuk menjawab krisis keuangan. Seiring dengan perkembangannya, G-20 kini bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan berimbang.
Multilateralisasi sendiri membuat dunia semakin terintegrasi dan mempersempit jarak dan waktu. Apabila kita melihat Indonesia, tantangan pembangunan kini telah melampaui batas-batas Nusantara dan berdampak di tingkat regional dan multilateral. Dengan demikian, Indonesia dalam kancah global kini memiliki peran yang sangat sentral, apalagi dengan posisi keketuaan G-20 di tahun ini.
Konteks hubungan yang tidak seimbang, dengan pola kebijakan terdahulu seakan memiliki patron tunggal dalam bentuk northern-led, sekarang menjadi lebih egaliter dan dinamis, yang mewujud pada hubungan multipolar. Dengan demikian, untuk membangun fondasi ekonomi global ke depan, negara-negara berkembang dapat memberikan aspirasi kebijakan yang lebih signifikan. Indonesia memang bukan kali ini saja terlibat dalam beberapa forum besar multilateral dan regional. Tetapi, peran Indonesia di dalam forum-forum tersebut terhitung marginal.
ASEAN ialah intan berkilauan yang selama ini tersimpan dalam di halaman belakang rumah. Apabila Indonesia membawa ASEAN, tentu posisi tawar kawasan akan jauh lebih kuat. Terkait dengan proses penguatan kawasan Asia Timur, adagium klasiknya ialah mengenai peran sentral ASEAN (ASEAN centrality) yang sejauh ini belum mewujud.
Meminjam istilah Profesor Lam, ASEAN tampak seperti laut tanpa ikan (ocean without fish). Indonesia sudah sangat pantas membawa aspirasi ASEAN dan negara berkembang lainnya dalam forum G-20 ini. Sebagai pemimpin de facto dari ASEAN, dan secara historis berlaku sebagai pivot pada negara-negara selatan, peningkatan peran Indonesia dalam forum ini semakin dibutuhkan.
Keterlibatan ini diharapkan juga mampu membawa pesan-pesan positif bagi pembangunan kawasan dan mampu diberdayakan Indonesia untuk menyuarakan kepentingan regional di ranah global. Dalam menjalin kerja sama internasional, penting memperhatikan isu-isu strategis yang diusung guna menyelaraskan agenda kerja sama dengan arah kepentingan negara.
Apa saja kepentingan tersebut? Apabila menengok hasil telaah Analytical Hierarchy Process (AHP) yang kami siapkan dalam tim ahli UI untuk G-20 beberapa waktu yang lalu, setidaknya ada empat isu strategis yang harus menjadi perhatian dalam forum G-20. Isu-isu strategis tersebut ialah infrastruktur, regulasi keuangan, perubahan iklim, serta isu ketimpangan dan kemiskinan. Keempat isu itu merupakan isu sentral yang dapat selalu disuarakan mengingat derajat kepentingan isu itu dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
Isu ketimpangan dan konflik Rusia-Ukraina
Di antara serenceng isu tersebut, setidaknya ada satu isu yang harus dicarikan solusinya segera, yaitu isu ketimpangan pascapandemi global dan konflik Rusia dan Ukraina. Potensi ketimpangan itu muncul lebih banyak dari efek terkereknya harga-harga komoditas global yang tentunya dapat memicu periode supersiklus.
Dengan melihat sejarah, tren supersiklus selalu diwarnai gejolak ekstrem yang menghantam, baik dari sisi supply maupun demand. Disrupsi signifikan dari era revolusi industri pertama dan kedua mengawali tren supersiklus pada 1899-1932. Sementara itu, tren yang berlanjut setelahnya dalam rentang 1933-1961, dipicu Perang Dunia dan depresi besar yang melanda dunia. Pada periode inilah, Keynes kesohor dengan pola intervensi jangka pendeknya untuk menyelamatkan perekonomian ketika itu.
Tren supersiklus yang berikutnya terjadi pada 1962-1995, yang dipantik perkembangan revolusi industri ketiga, dengan perkembangan komputer dan cip menjadi penghela efisiensi produksi, terutama di negara-negara seperti Jepang dan Eropa. Periode itu diwarnai aktivitas pelibatan negara-negara second tier dan third tier dalam menopang jaringan produksi global, merujuk pada model angsa terbang ala Akamatsu pada 1960-an.
Berkembangnya jaringan rantai produksi Jepang sejak 1960-an, yang ditopang negara-negara semisal Tiongkok dan Korea Selatan, ternyata memicu gelombang besar berikutnya. Tiongkok yang berhasil menggunakan limpahan manfaat yang signifikan dari keterlibatan mereka di jaringan rantai produksi Jepang, perlahan tapi pasti, memulai untuk memunculkan model jaringan rantai produksi baru.
Hal itu secara signifikan berhasil membuat era industrialisasi agresif di Tiongkok memasuki awal abad ke-21. Peristiwa itu kemudian mengawali tren supersiklus berikutnya dalam rentang 1996-2012. Periode itu turut diwarnai dua kejadian krisis finansial pada 1998 dan 2008, yang membuat tren supersiklus semakin menjadi. Lantas, apakah sekarang kita sudah memasuki periode supersiklus baru? Apabila dilihat dari faktor pemantik, pandemi besar dan konflik Rusia dan Ukraina, sepertinya bisa saja itu menjadi faktor ekstrem yang signifikan dalam menciptakan periode supersiklus berikutnya.
Sebenarnya, peristiwa melonjaknya harga-harga komoditas dunia bukan hal yang terlalu mengejutkan. Pada 2020, di awal Mei saya sempat mengirimkan notifikasi kepada Menteri Perdagangan mengenai ragam potensi risiko ekonomi yang akan mengemuka. Dalam memo tersebut, saya sampaikan kekhawatiran akan adanya decoupling, antara demand dan supply seiring dengan proses pemulihan di masa pandemi. Beberapa risiko yang mungkin muncul ialah naiknya harga pangan, energi, dan komoditas pada umumnya akibat berebut sumber daya yang langka.
Hal itu dimungkinkan akibat terjadinya pertumbuhan yang disproporsional antara demand dan supply. Demand terkerek dari rencana stimulus, terutama dari negara-negara besar. Sementara itu, supply lambat menyesuaikan karena karakteristik adaptasi untuk segera melaju tidak secepat daya adaptasi dari sisi demand. Butuh waktu untuk menjalankan industri, merekrut kembali pekerja, menjalankan logistik yang mandek, dan seterusnya.
Fenomena yang kita hadapi sekarang ialah tren harga komoditas yang tinggi mengangkasa serta negara-negara besar dunia yang sudah semakin sulit mencari energi. Untungnya untuk Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek ini, faktor pembentuk gejolak ekonomi yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan komoditas lainnya tidak sedominan covid-19, tetapi patut diwaspadai jika tren itu kemudian memicu imported inflation yang berlebihan.
Ujian diplomasi dan kemampuan dialektis
Permasalahannya ialah konflik yang tengah mengemuka antara Rusia dan Ukraina berpotensi membuat neraca dunia semakin timpang, yang akan berakibat buruk di jangka menengah panjang untuk Indonesia dan dunia. Dengan demikian, ada setidaknya dua hal yang bisa digagas Indonesia dalam pertemuan G-20 pada tahun ini. Yang pertama ialah menginisiasi penguatan ketahanan pangan global yang berbasis keunggulan regional.
Pengalaman negara-negara di ASEAN bersama dengan Tiongkok, Jepang, dan Korea pascakrisis keuangan regional 1998 bisa dijadikan preseden yang baik. Dalam pertemuan pascakrisis tersebut, muncul kemudian Chiang Mai Initiative sebagai bantalan likuiditas keuangan jangka pendek. Dengan merujuk pada potensi krisis komoditas, inisiatif serupa bisa dibuat dengan berfokus pada penguatan jaringan produksi komoditas regional dan global, yang dapat berfungsi sebagai solusi praktis di jangka pendek.
Di sisi yang lain, melalui forum G-20 ini Indonesia juga harus mampu menjalankan peran sebagai penengah konflik antara Rusia, Ukrainia, dan segenap anggota G-20 lainnya sehingga front konflik tidak melebar dan mengalami katastrofe.
Posisi keketuaan Indonesia di G-20 tahun ini merupakan ujian diplomasi dan kemampuan dialektis. Jangan sampai pertemuan elite hanya didominasi kongko-kongko. Ah, tetapi saya ingat pada malam setelah pertemuan NEAT di Beijing, Prof Lam dan kolega ASEAN mendaulat saya sebagai komentator dadakan pertandingan final Piala Dunia antara Prancis dan Kroasia. Obrolan substantial kadang kala juga bisa diselingi dengan pembicaraan yang membuat dekat karena sejatinya proksimitas ialah yang membuat langgeng hubungan antarnegara.