Memaknai Kemerdekaan Kita

Memaknai Kemerdekaan Kita
(Dokpri)

INDONESIA adalah negara besar. Secara geografis, negara ini sangat luas, terbentuk dari gugusan kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Sehingga kalau diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak dari London hingga Teheran, yang secara geopolitik sangat strategis, membentang antara benua Asia dan Australia. 

Bentangan negara yang begitu luas ini juga dianugerahi oleh Tuhan dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sumber daya hayati yang beranekaragam, serta sumber daya mineral yang sangat kaya yang tersimpan di bawah bumi Republik ini.

Sementara secara demografi, Indonesia memiliki populasi penduduk yang cukup besar, bahkan menjadi negara ketiga di antara negara-negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Populasi penduduk yang sangat besar tersebut bukan penduduk yang homogen melainkan sangat majemuk, terdiri dari 656 suku bangsa, dengan keragaman bahasa, budaya, dan agama. 

Baca juga : Percayakan Investor, Jokowi Sebut Prabowo Setuju Anggaran Percepatan Pembangunan IKN

Oleh karena itu, Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dihiasi oleh aneka bunga, tumbuhan, dan berbagai mahluk hidup yang berada di dalamnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menjadi negara maju, sejahtera, makmur, berdaulat, dan bermartabat di antara negara- negara yang lain. Karena itu, problem kemiskinan, kesenjangan, ketimpangan Indonesia hari ini adalah sebuah paradoks di antara sekian potensi besar yang dimilikinya. 

Bentangan luas negara ini malah menyisakan persoalan dimana-mana, yang menunjukkan negara belum maksimal mengurusnya dengan baik. Sumber daya alam yang melimpah tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Dari sumber daya yang begitu melimpah itu seharusnya rakyat layak hidup dalam kemakmuran dan kesejahtraan, namun yang terjadi sebaliknya, rakyat hidup dalam kelaparan, kemiskinan, dan keterbelakangan dalam berbagai bidang. 

Cek Artikel:  Drama Pilot Tidur di Kokpit

Demikian halnya dengan jumlah populasi besar atau bonus demografi, yang cenderung menjadi beban daripada menjadi berkah atau sumber daya yang potensial. Pluralitas etnis, budaya, dan agama yang seharusya menjadi modal sosio-kultural sangat berharga, untuk kita kaji dan jadikan modal penguatan jati diri bangsa.

Baca juga : Disebut Gagal Era Jokowi, Hilirisasi Tambang Jadi Konsentrasi Prabowo

Meminjam istilah Benedict T Anderson, bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun, tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Tetapi di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.

Kesenjangan Pembangunan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur sampai dengan saat ini adalah kenyataan yang tak terpungkiri. Meskipun perubahan sistem politik seperti pemilu dan pilkada langsung, serta perubahan tata negara, seperti otonomi daerah dan untuk daerah tertentu ditetapkan otonomi khusus, ternyata tidak serta merta memberikan dampak yang menyenangkan. 

Realita tersebut, memaksa kita untuk mendiskusikan cara pandang baru tentang Indonesia. Yang saya maksud dengan cara pandang baru adalah cara pandang kita mengenai citra pembangunan yang tidak hanya mengedepankan pembagunan fisik. Tapi lebih dari itu bagaimana kita membangun jiwa dan pikiran masyarakat Indonesia, meskipun sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi sudah mulai mengarah kepada pemerataan pembangunan. Akan tetapi masih terdapat kekurangan yang harus disempurnakan. Karena bagaimanapun, hal ini terkait dengan semua anugerah atau potensi yang dimiliki bangsa ini, sekaligus paradoksalitas yang ditunjukkannya, membutuhkan sebuah komitmen keberpihakan kepada kepentingan nasional, dan cara pandang baru tentang cara kita membangun Indonesia.

Cek Artikel:  Paskah Terbangunkan Persatuan hingga Konsolidasikan Demokrasi

Baca juga : Rupiah Menguat saat Optimisme terhadap Pemerintah Prabowo

Memaksimalkan potensi Indonesia

Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD), memperkirakan bahwa pada tahun 2045 ekonomi Indonesia akan mencapai U$Rp8,89 triliun dan menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Prediksi tersebut dilatarbelakangi pada tahun 2030-2040, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia usia produktif akan mencapai 64% dari total penduduk sekitar 297 juta jiwa. Indonesia akan memiliki potensi antara lain salah satu pasar terbesar di dunia, kualitas Sumber Daya Orang yang menguasai teknologi, inovatif, dan produktif; serta kemampuan mentransformasikan ekonominya.

Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Satu sisi merupakan keuntungan jika Indonesia berhasil mengkapitalisasikannya. Sebaliknya akan menjadi “bencana” apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik, misalnya penduduk yang tidak berkualitas dan produktivitas rendah; serta rasio pekerja dan lapangan pekerjaan yang timpang. Buat dapat mencapai prediksi-prediksi tersebut, bonus demografi ini harus dikelola menggunakan pendidikan dan penguasaan teknologi-informasi.

Potensi dan peluang ini tentu harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas SDM, kondusifitas politik dan kesiapan mental Masyarakat Indonesia. Di samping itu, kita butuh komitmen dari presiden sebagai pemimpin nasional,pemerintah daerah, dunia usaha, lembaga pendidikan dan masyarakat harus bersinergi memajukan Indonesia kita.

Cek Artikel:  Ramadan dan Nyepi Dua Tradisi Satu Esensi

Baca juga : Agus Rahardjo: Darurat Korupsi di Indonesia Hasil Kerja Presiden

Pahamn ini adalah momentum yang tepat sebagai titik temu keberlanjutan visi Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, banyak persoalan yang mesti diselesaikan. Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbuka, tentu tidak kebal terhadap dinamika global, kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu. 

Sejumlah lembaga keuangan internasional memperkirakan ekonomi global akan melambat pada 2025, belum lagi persoalan-persoalan yang belum tuntas di era Presiden Joko Widodo seperti mega proyek Ibu Kota Negara Nusantara, penegakan hukum yang masih terkesan lemah, persoalan indeks demokrasi yang dinilai dunia internasional turun, hingga kebebasan pers yang turut terancam. Ini adalah sekelumit dari sekian banyak persoalan yang harus di selesaikan oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan mengucapkan sumpah/janji jabatan pada 20 Oktober 2024 mendatang.

Pada akhirnya memaknai kemerdekaan Indonesia kita ini menyisakan pertanyaan sekaligus harapan, apakah di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka Indonesia akan melaju dan menemukan formulasi mengantarkan era transformatif bagi Indonesia, atau justru sebaliknya, membawa Indonesia mundur dalam pencapaian visi menuju Indonesia maju 2045. 

Seluruh ini adalah harapan besar kita, bagaimana catatan-catatan persoalan tersebut bisa terselesaikan dengan baik. Janji kampanye bisa ditunaikan dengan maksimal, hingga semua potensi besar bangsa ini bisa dieksekusi dan dikonversi bagi sebesar-besar kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

 

Mungkin Anda Menyukai