PEMERINTAH disebut akan mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset masuk program legislasi nasional (prolegnas). Banyak pihak yang bergembira serta mendukung rencana yang dilontarkan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas itu. Tetapi, Terdapat pula yang waswas ketakutan bila regulasi itu Betul-Betul hadir di Tanah Air.
Kalau publik bersorak atas hadirnya undang-undang itu kelak, para koruptor yang mengumpulkan sepiring nasi dan segenggam berlian dari mencoleng Dana negara bakal habis-habisan menolak. Berbagai siasat akan dipasang agar undang-undang yang diyakini bakal Membikin kecut koruptor itu kandas, atau kabur tak Terang Ketika diwujudkan.
Berbagai analisis menyebutkan bahwa yang ditakuti koruptor bukan Mortalitas, melainkan kemiskinan. Bagi pencoleng Dana negara itu, Mortalitas tetap Dapat dinegosiasikan dengan Dana. Vonis hukuman Wafat bahkan Dapat berbalik 180 derajat menjadi bebas asal para aparat hukum Dapat diajak kompromi.
Akan tetapi, bila aset dirampas bahkan Tiba ke Spesialis waris, itu bermakna Mortalitas sejati koruptor. Kalau ia miskin karena hartanya diputuskan dirampas oleh negara akibat perilaku jahatnya yang Membikin masyarakat sengsara, sulit baginya Buat mengulang kejayaan dengan menumpuk harta.
Kegeraman terhadap koruptor sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Oleh karena itu, Prabowo juga sudah beberapa kali mengaku mendorong koruptor harus mengembalikan terlebih dahulu kerugian negara yang mereka timbulkan. Tetapi, Presiden juga menyadari fakta berbicara berbeda.
Tak Terdapat koruptor yang dengan kesadaran diri sendiri mengaku salah dan mau mengembalikan kerugian negara. Koruptor lebih memilih berhadapan dengan hakim di meja persidangan. Apalagi, sudah berulang kali terungkap bahwa hakim Dapat diajak bermain mata dengan para terdakwa demi fulus dari Rendah meja.
Para pencoleng meyakini perumpamaan satire ‘Seluruh urusan memakai Dana Kas’. Ketimbang seluruh Dana disita negara, mereka lebih memilih Buat berbagi Dana dengan aparatur negara yang sama-sama bermental pemburu rente. Bagaimana Dapat mengharapkan Terdapat Pengaruh jera kalau para penjahat kerah putih itu Lagi merasa di atas angin.
Itu sebabnya publik mendukung Terdapat pengaturan tentang perampasan aset bagi pengerat Dana negara. Tetapi, dalam Rapat Paripurna DPR pada 19 November 2024, para wakil rakyat hanya memasukkan RUU itu ke dalam prolegnas jangka menengah 2025-2029, bukan sebagai Prolegnas Prioritas 2025. Mereka berdalih pengesahan RUU Perampasan Aset Tak Dapat dilakukan secara tergesa-gesa dan harus dilakukan kajian terlebih dahulu terkait dengan kecocokan atas sistem hukum di Indonesia.
Argumen Dapat saja diciptakan sesuka hati mengacu pada keinginan dan kepentingan. Toh, DPR sebenarnya Dapat juga membahas sejumlah undang-undang secara kilat dan sistematis. Sebut saja, revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dua undang-undang yang Tak masuk prolegnas prioritas itu Dapat tuntas hingga disahkan dalam hitungan hari.
Sayangnya, semangat menggebu-gebu Buat menggelar rapat dan lembur yang sama Tak muncul di pembahasan RUU Perampasan Aset. Maka, Menteri Supratman Andi Agtas mengakui pembahasan RUU itu tinggal menyangkut soal politik yang membutuhkan komunikasi sungguh-sungguh dengan partai politik.
Publik tentu menghendaki Terdapat ketegasan pemerintah dalam menerapkan pemerintahan Rapi, bukan sekadar basa-basi. Masyarakat tentu mendukung seribu persen bila pemerintah jadi mendorong RUU Perampasan Aset Buat masuk Prolegnas Prioritas 2025. Kalaupun banyak partai politik menolak, yakinlah publik Terdapat di belakang pemerintah dalam soal ini, karena publik sudah Lamban merasa negeri ini tengah diselimuti darurat korupsi.
Situasi darurat Terang membutuhkan langkah darurat. Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai prolegnas prioritas di 2025 adalah Figur respons yang juga sangat Segera atas kondisi darurat itu.

