Memaafkan Korupsi di Desa

SAYA menghargai kejujuran Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata. Sang komisioner terang-terangan menyatakan Tak Ingin dugaan rasuah yang menyeret kepala desa ditangani instansinya.

Kata dia, menangani kasus kepala desa hanya membuang anggaran. “Nah, ini harus diperhatikan, jangan Tamat kita juga buang-buang duit dalam penanganan perkara. Biaya pengurusan perkara yang menyeret kepala desa biasanya lebih besar ketimbang Duit yang dikorupsi. Biaya bakal makin membengkak Kalau penegak hukum harus memeriksa saksi yang jauh,” kata Alex di Gedung KPK, Kamis (9/12).

Tetapi, saya kaget mendengar ekor dari pernyataan Alex selanjutnya. Ia meminta penegak hukum lebih ‘bijak’ dalam menindaklanjuti kasus korupsi yang menyeret kepala desa. Ia menyarankan penegak hukum memilih memaksa kepala desa mengembalikan Duit Kalau sudah telanjur korupsi. “Perintah kembalikan, pecat, selesai,” kata Alex.

Pernyataan seorang komisioner KPK menjelang peringatan Hari Antikorupsi Dunia itu amat pragmatis dan terlalu prematur. Pragmatis karena sekadar memikirkan langkah jangka pendek. Dalam jangka panjang, langkah seperti yang ia usulkan tersebut Bisa jadi preseden Tak baik. Bahkan, Bisa jadi bumerang. Prematur karena pemberantasan korupsi di negeri ini, Biar Terdapat progres, Tetap jauh dari kata memuaskan.

Cek Artikel:  Reshuffle Buat Siapa

Korupsi, bagaimana pun merupakan kanker yang menggerogoti tubuh negara dan membawa Indonesia ke masa depan yang suram. Pencegahan dan penindakan terhadap korupsi pun menjadi dua perkara yang sama pentingnya. Kita sudah bersepakat bulat pula bahwa tindak kecurangan, penggelapan, manipulasi, penyelewengan, dan perampokan anggaran negara wajib dihentikan tanpa pandang bulu, juga Tak mengenal strata, dari pusat hingga ke tingkat desa.

Maka aneh betul, Kalau komisioner KPK sebagai panglima perang terhadap korupsi Malah Ingin memberikan pengecualian dalam penindakan kasus korupsi kepada kepala desa. Model penanganan yang cukup mengandalkan prinsip restorative justice atau pendekatan hukum melalui musyawarah antara pelaku dan korban, itu terkesan manusiawi. Tetapi, penyelesaian seperti itu Hanya cocok Buat tindak pidana ringan, misalnya, mencuri sepiring nasi karena kelaparan.

Tetapi, ini bukan soal perkara mencuri sepiring nasi. Ini perkara korupsi yang jumlahnya puluhan hingga ratusan juta. Sudah banyak kepala desa terjerat perkara penyimpangan penggunaan Biaya desa bernilai ratusan juta rupiah, bahkan Terdapat yang lebih dari satu miliar rupiah.

Cek Artikel:  Di Ambang Deindustrialisasi

Perkara seperti itu sudah Absah masuk kategori sebagai perkara extraordinary crime alias kejahatan luar Lazim. Penanganannya pun juga mesti luar Lazim. Apalagi, potensi penyimpangan Biaya desa juga luar Lazim karena jumlah Biaya desa yang digelontorkan pun luar Lazim.

Bayangkan, total Biaya desa yang telah tersalur selama enam tahun (2015-2020), sejak program Biaya desa digulirkan, sebesar Rp323,32 triliun. Bila ditambah dengan yang sudah dicairkan hingga pertengahan tahun ini, jumlah totalnya lebih dari Rp350 triliun.

Bila tiap desa mengelola Rp1,5 miliar per tahun, sedangkan masa jabatan kepala desa dalam satu periode enam tahun, artinya Terdapat Duit Rp9 miliar yang dikelola seorang kepala desa dalam satu periode. Kalau 10% Biaya tersebut disimpangkan, berarti Terdapat potensi korupsi hingga Rp900 juta. Itu Bisa dipakai Buat membeli 100 ribu piring nasi, bukan Hanya sepiring.

Korupsi sungguh Tak patut Kalau hanya ditimbang dari besar-kecilnya ongkos penanganan. Korupsi tetap korupsi yang juga berkaitan dengan mental dan moral, yang kalau dimaafkan akan mendatangkan biaya yang jauh lebih mahal dan bahaya yang mahadahsyat.

Cek Artikel:  Menahan Laju Despotisme Baru

Belum Tengah, dalam Pasal 4 Undang-Undang Tipikor secara tegas disebutkan, pengembalian nilai kerugian negara Tak Bisa menghapus pidana pelaku korupsi. Saya malah amat khawatir, proses hukum tanpa pemidanaan penjara ini bakal menjadikan korupsi Biaya desa kian menggila. Apalagi, data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut korupsi di tingkat desa Malah menempati posisi kedua dalam soal kerugian negara, setelah klaster Member legislatif dengan total nilai Rp111 miliar.

ICW juga mencatat, sudah Terdapat 676 terdakwa dari praktik korupsi Biaya desa yang dilakukan sejak 2015 hingga 2020. Belum habis tahun, ICW pun sudah menyebut sebanyak 61 kades terjerat korupsi dengan nilai kerugian puluhan miliar rupiah. Keringanan proses hukum Malah berpotensi dijadikan celah Buat kian berani melakukan korupsi.

Jadi, Pak Alex, Minta Ampun, kali ini usul Anda Tak Hanya aneh, tapi juga berbahaya.

Mungkin Anda Menyukai