Melenyapkan Palestina

Melenyapkan Palestina
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SERANGAN besar-besaran Israel ke kota-kota di Tepi Barat utara–terbesar sejak Intifada kedua (2000-2004)–bukan merupakan perluasan perang Gaza, melainkan upaya melenyapkan Palestina sebagai bangsa. Kaum Palestina di Jenin, Tulkarem, dan Tubas diminta mengungsi ‘sementara’ untuk membiarkan militer Israel (IDF) menghancurkan kelompok bersenjata Palestina yang disebut teroris proksi Iran guna mendapat dukungan sekutu Barat. Pola itu sama dengan yang dilakukan di Gaza dengan motif mengusir orang Palestina dari sana. Sayangnya, AS, sekutu utama Israel, tidak cukup bersuara terhadap tindakan jahat Israel itu.

Terang desakan Israel agar warga Palestina di Tepi Barat meninggalkan kota mereka bertujuan menganeksasi wilayah Palestina guna menciptakan realitas baru di lapangan yang mana two-state solution menjadi gagasan yang tidak relevan ketika tak ada lagi teritori bagi negara Palestina. Mengusir warga Palestina dari permukiman mereka telah lama dilakukan Israel, tapi upaya itu menemukan momentum sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober dan pada Juli lalu Mahkamah Global (ICJ) memutuskan bahwa pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur ialah ilegal dan harus segera dihentikan.   

Sejak awal, Zionisme–gerakan  humanisme rasialis–dicetuskan pada akhir abad ke-19. Para tokoh Zionis memandang Palestina sebagai wilayah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa wilayah. Ketika Inggris menundukkan Palestina setelah mengalahkan Khilafah Usmani dalam Perang Dunia I, kekuatan kolonial itu menjanjikan tanah air bagi orang Yahudi melalui Balfaour Declaration pada 1917. Sejak itu, orang-orang Yahudi dari Eropa membanjiri Palestina yang berpuncak pada Perang Dunia II ketika Nazi Jerman Adolf Hitler melakukan holocaust terhadap orang Yahudi. Nazisme bisa dikata sama dengan Zionisme.

Baca juga : Dinamika Baru Timur Tengah

Pada 1947, Aliansi Bangsa-Bangsa meluncurkan apa yang disebut sebagai Partition Plan melalui Resolusi 181 yang membagi Palestina menjadi dua wilayah. Kendati lebih kecil jumlahnya, warga Yahudi diberikan sebesar 56% tanah Palestina, sementara Palestina mendapat 44% wilayah yang mencakup Tepi Barat, Yerusalem Timur, Gaza, dan beberapa kantong yang kini telah menjadi bagian dari Israel.

Konflik bersenjata antara warga Yahudi dan Palestina pun berlangsung sengit. Demi Inggris meninggalkan Palestina, disusul proklamasi kemerdekaan Israel pada 1948, organisasi-organisasi Zionis, seperti Irgun dan Haganah, menghancurkan sebanyak 500-an desa Palestina. Tak kurang dari 750 ribu orang Palestina mengungsi ke Gaza dan Tepi Barat. Peristiwa itu dikenal sebagai Nakba atau Malapetaka, yang diperingati Palestina setiap tahun.

Cek Artikel:  Wantimpres jadi DPA Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan

Pada 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel menduduki Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, selain Sinai (Mesir), Dataran Tinggi Golan (Suriah), dan Tanah Pertanian Sheba (Libanon). DK PBB pun mengeluarkan Resolusi 242, 338, dan 194 yang memerintahkan Israel mundur dari wilayah pendudukan dan membuka pintu bagi kembalinya pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka. Bukannya patuh pada resolusi-resolusi itu, Israel justru menganeksasi Yerusalem Timur dan membangun permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat dan Gaza. Tak tahan dengan Intifada pertama Hamas sejak 1987 sampai 1990-an, Israel menarik diri dari Gaza pada 2005.

Baca juga : Konflik Palestina-Israel: Menanti Keajaiban selain Hukum Global

Kini, tak kurang dari 700 ribu warga Yahudi tinggal di daerah pendudukan Yerusalem Timur dan Tepi Barat dengan fasilitas dan layanan sosial yang nyaman di tengah sekitar 3 juta warga Palestina yang hidup serbakekurangan, mobilitas yang terbatas, perlakuan diskriminatif, dan penindasan Israel mirip dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari gangguan yang terus-menerus, memata-matai, deprivasi nafkah kehidupan, degradasi standar hidup, kekerasan fisik, dan pembunuhan Israel ialah membuat warga Palestina di Tepi Barat mengungsi, persis seperti tujuan utama Israel di Gaza.

Upaya pelenyapan total populasi Palestina dari tanah historis Palestina tak akan berhenti sekalipun pemerintahan PM Benjamin Netanyahu kolaps. Ketiadaan aksi internasional untuk menghentikan genosida di Gaza dan Tepi Barat telah membuat Palestina syok, tapi tidak membuat mereka menyerah. Malah kekerasan serangan Israel di Tepi Barat ialah sinyal bahwa orang Palestina telah memilih perlawanan sekalipun menghadapi kekuatan genosidal luar biasa.

Israel berharap populasi Palestina di Gaza mengungsi ke Sinai, Mesir. Di Tepi Barat, Israel berharap mereka mengungsi ke Yordania. Yahudinisasi Tepi Barat dan Yersualem Timur memang merupakan proyek Zionisme. Daerah itu disebut dengan nama biblikal Yudea dan Samaria. Dus, ketika ICJ memerintahkan Israel mundur dari wilayah pendudukan, Netanyahu meradang. Ia berpendapat Israel hanya mengambil tanah mereka sendiri. Dalam konteks itulah pada Juli lalu, dalam pemungutan suara di Knesset (parlemen Israel), mayoritas anggota menolak two-state solution.

Cek Artikel:  Calon Presiden Keren

Baca juga : Pesan dari Negeri Rostam di Ubun-Ubun Netanyahu

Kagak sampai di situ. Pemerintahan kanan Israel juga berusaha melenyapkan Otoritas Palestina (OP) yang dihasilkan dari Kesepakatan Oslo pada 1993. Kesepakatan yang ditandatangani di Gedung Putih oleh pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel dari Partai Buruh, Yitzhak Rabin. Perjanjian itu memproyeksikan Palestina akan memperoleh wilayah pendudukan dalam lima tahun ke depan (1998) melalui jalan perundingan. Dalam implementasi perjanjian tahap awal, PLO diberikan Kota Jericho dan Ramallah di Tepi Barat. Bagaimanapun, pemimpin partai garis keras Likud, Benjamin Netanyahu, menentang keras Kesepakatan Oslo. Pada 1995, Rabin dibunuh seorang Yahudi fanatik.

Hamas pun menolak Kesepakatan Oslo. Maka itu, untuk menggagalkannya, Hamas melakukan serangan bom bunuh diri terhadap warga sipil Yahudi di Israel sepanjang 1990-an. Perjuangan bersenjata Hamas ditolak oleh Presiden OP Mahmoud Abbas, pengganti Arafat yang meninggal pada 2004. Abbas, pemimpin Fatah (faksi terbesar dalam PLO), ialah arsitek Kesepakatan Oslo. Kendati dalam tesis doktoralnya di Universitas Moskow ia menyamakan Zionisme dengan Nazisme, Abbas melihat perjuangan diplomatik merupakan satu-satunya jalan bagi Palestina untuk memperoleh kemerdekaan karena AS dan Uni Eropa mendukung jalan tersebut.

Sayang, setelah berakhirnya kekuasaan Partai Buruh pada awal 2000-an, pemerintahan kanan Israel terus berusaha mendelegitimasi OP dengan  menggencarkan pembangunan permukiman ilegal dan menghentikan secara total perundingan perdamaian berbasis Kesepakatan Oslo sejak 2014.

Baca juga : Palestina dan Titik Buta-Tuli Dunia

Netanyahu menuntut Abbas mengakui Israel sebagai negara Yahudi sebagai syarat berlanjutnya perundingan. Tentu saja Abbas menolak karena memenuhi tuntutan Netanyahu sama artinya dengan menguburkan cita-cita Palestina memiliki negara. Kalau menjadi negara Yahudi, secara otomatis Israel ‘berhak’ atas seluruh tanah historis Palestina. Orang Palestina boleh tetap tinggal di Israel, tetapi sebagai warga kelas dua.

Cek Artikel:  Pemilu, Perlawanan Demokrasi Rakyat

Kantong-kantong Palestina di Tepi Barat yang kini disekat-sekat oleh infrastruktur dan permukiman Yahudi dijadikan Bantustan. Bantustan merujuk pada permukiman warga kulit hitam di Afrika Selatan di bawah Rezim Apartheid. OP–didominasi Fatah–yang korup semakin kehilangan legitimasi karena dilihat sebagai boneka Israel, terutama disebabkan keharusannya mengendalikan warga Palestina yang frustrasi di bawah kekuasaan terbatasnya di 18% wilayah Tepi Barat sesuai Kesepakatan Oslo. Di saat bersamaan, sejak 2007 Fatah terusir dari Gaza menyusul kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006 yang tidak diakui Fatah.

Perpecahan internal Palestina itu memberi pretensi kepada Israel untuk tidak melanjutkan Kesepakatan Oslo. Kendati demikian, AS dan sekutu Barat mengakui legalitas OP. Menyadari perjuangan bersenjata tidak efektif tanpa legitimasi politik, sejak 2014 Hamas mengakui Kesepakatan Oslo. Artinya, ia meninggalkan sikap awalnya yang tidak mengakui eksistensi Israel dengan menerima wilayah Palestina sesuai dengan batas-batas pra-Perang 1967. Pada  Juli lalu, dalam perundingan di Beijing, Hamas dan Fatah–bersama 12 faksi Palestina lainnya–berhasil membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional Sementara guna menghadapi Israel.

Tetapi, perang Gaza yang sulit dimenangi Israel dan Keputusan ICJ yang mengharuskan Israel mengosongkan wilayah pendudukan dilihat Israel sebagai ancaman terhadap eksistensi mereka. Maka itu, selain melanjutkan perang di Gaza hingga Hamas dikalahkan secara total, Israel juga hendak menganeksasi Tepi Barat.

Pemilu di AS pada November mendatang dilihat Israel sebagai peluang untuk mewujudkan skenario itu. Toh, Presiden AS Joe Biden tidak dapat berbuat banyak karena ia butuh dukungan konstituen probIsrael dan lobi Yahudi yang strategis untuk memenangkan capres Kamala Harris menghadapi Donald Trump dari Partai Republik.

Dus, genosida di Gaza dan kekerasan di Tepi Barat masih akan berlanjut tanpa kita ketahui kapan akan berakhir. Yang pasti, harapan Israel melenyapkan Palestina sebagai bangsa tidak akan berhasil.

Mungkin Anda Menyukai