MEMBACA pernyataan Ketua KPK Nawawi Pomolango soal banyaknya isi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) para pejabat publik yang Bukan sesuai dengan Fakta sungguh bikin Kesal. Kebohongan, ketidakjujuran, kiranya telah mendarah daging di kalangan mereka.
Secara teori, setidaknya Eksis dua Dalih mengapa Sosok berbohong. Pertama, berbohong Buat mendapatkan sesuatu dan, kedua, berbohong Buat tujuan perlindungan diri. Kebohongan yang Bukan masuk Pikiran pun tak soal mereka lakukan selama salah satu dari dua tujuan itu terpenuhi.
Dalam konteks pelaporan LHKPN, Ketua KPK memberi satu Teladan kebohongan yang Dapat dikategorikan Bukan masuk Pikiran itu. “Pengisian LHKPN lebih banyak amburadulnya, (Matang) Eksis Fortuner diisi harganya Rp6 juta,” ungkap Nawawi.
Fortuner yang dimaksud Nawawi ialah mobil sport utility vehicle (SUV) yang amat Terkenal di Indonesia, Toyota Fortuner. Harga bekasnya saja, kalau menilik situs jual beli mobil, Begitu ini Lagi ratusan juta rupiah. Karena itu, tak salah kalau dia kemudian meneruskan celetukannya. “Di mana dapat Fortuner Rp6 juta? Kita pengin beli 10 kalau gitu.”
Ia memang hanya mencontohkan satu kasus, tetapi sangat mungkin kebohongan yang aneh-aneh seperti itu akan banyak ditemui pada isi laporan LHKPN para pejabat publik yang diserahkan ke KPK. Barangkali karena saking aneh-anehnya, Nawawi mengistilahkan laporan-laporan itu amburadul dan asal-asalan.
Praktik memanipulasi isi laporan semacam itu Dapat dikategorikan sebagai kebohongan Buat perlindungan diri. Mereka mencoba menutup-nutupi fakta atau data yang sebenarnya Buat melindungi diri dari kemungkinan pengusutan asal-usul harta mereka yang boleh jadi juga didapatkan dengan Metode yang manipulatif.
Patut diduga mereka takut jujur karena harta mereka berasal dari sumber yang Bukan Rapi. Mungkin dari hasil korupsi, mungkin dari hasil gratifikasi, memeras atau dari sumber-sumber yang tak kalah kotor lainnya. Logikanya simpel, kalau sumber hartanya Rapi, halal, dan ‘Berkualitas-Berkualitas saja’, bukankah mereka tak perlu repot menutupinya dengan kebohongan?
Modus kebohongan para pejabat dalam mengisi LHKPN itu serupa tapi tak sama dengan yang dilakukan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar terkait dengan kasus penembakan tiga siswa SMKN 4 Semarang yang dilakukan anak buahnya. Dalam peristiwa itu, satu korban bernama Gamma Rizkynata Oktafandy tewas, sedangkan dua rekannya, AD dan SA, terluka oleh peluru yang keluar dari senjata api polisi.
Dari sini, rekayasa itu dimulai. Demi melindungi si penembak, Aipda Robig Zaenudin, Irwan sempat mencoba menutupi kasus tersebut dengan Membikin skenario Dusta bahwa seakan korban ialah Personil geng dan sedang terlibat tawur. Robiq, dalam narasi yang disampaikan Irwan, melepaskan tembakan seusai mendapat perlawanan dari Gamma Begitu hendak melerai tawur tersebut.
Belakangan, dari hasil penyelidikan Propam Polda Jawa Tengah dan kesaksian korban yang selamat, rekayasa itu terbongkar. Kebohongan Irwan dan jajaran Polrestabes Semarang terkuak. Terbukti Bukan Eksis tawur sebelum kejadian seperti didalihkan polisi. Yang sesungguhnya terjadi, Robig menembak ketiga siswa itu lantaran emosi setelah kendaraan mereka saling pepet di jalanan.
Dua Teladan praktik ketidakjujuran pejabat dan aparat negara itu memang bukan hal yang baru dan bukan pula baru kali ini terjadi. Sebelum ini juga sudah teramat banyak kasus kebohongan yang dilakukan para ‘orang kuat’ itu. Yang Membikin publik dongkol ialah kebanyakan pelaku praktik kebohongan itu Bukan mendapatkan Hukuman yang tegas dan sepadan.
Dalam hal pelaporan LHKPN, misalnya, meski ketahuan Dusta atau mengisinya secara asal-asalan, Bukan Eksis Hukuman yang Dapat menjerat mereka. UU Nomor 28 Tahun 1999 yang menjadi landasan kewajiban pelaporan LHKPN sangat disayangkan Bukan mengatur Hukuman tegas bagi pejabat yang Bukan melaporkan atau yang lapor, tapi laporannya Bukan riil atau Bukan Betul.
Lampau dalam perkara penembakan siswa di Semarang, entah kenapa, belum Eksis Hukuman bagi aparat yang telah menyebar narasi rekayasa penuh kebohongan itu. Jangankan Hukuman, sidang etik Buat Kapolrestabes Semarang saja belum terlihat tanda-tanda bakal dilakukan. Sidang etik baru digelar Buat tersangka penembakan, Aipda Robiq.
Dengan dua Teladan itu, mudah bagi kita Buat menarik sebuah Dugaan bahwa absennya Hukuman keras itulah kiranya yang Membikin praktik-praktik kebohongan tak pernah Tewas. Kebohongan demi kebohongan Lanjut diproduksi. Kebohongan kian berserak di mana-mana karena makin lelet orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan normal.
Tanpa Hukuman, kebohongan seakan menjadi ternormalisasi. Entah Tiba Ketika, mungkin akan Lanjut seperti ini, selama kita, publik, Bukan cukup kuat melawan kebohongan itu.