Melampaui Batas Usia

Melampaui Batas Usia
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KEPUTUSAN pemerintah, DPR, dan DPD untuk mencabut RUU tentang Pemilihan Lazim (RUU Pemilu) dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 ternyata berdampak panjang. Semula, pemerintah berargumen bahwa UU Pemilu dan UU Pilkada yang ada saat ini, yaitu UU/2017 tentang Pemilihan Lazim serta UU 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pelaksanaannya sudah baik bila berkaca pada penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak 2020.

Selain itu disebutkan bahwa model keserentakan dalam UU Pilkada perlu diimplementasikan terlebih dahulu sesuai penjadwalan yang ada, sebelum kemudian diputuskan untuk dilakukan perubahan. Tetapi, dalam perjalanannya, ternyata pemerintah mengambil langkah lain untuk melakukan perubahan. Langkah itu bukan melalui perubahan oleh pembentuk UU atau legislative review, melainkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Hal yang diklaim tak lepas dari kebutuhan faktual untuk mengatur pemilu sejumlah daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat. Termasuk pula kebutuhan pengaturan kegentingan memaksa yang bersifat subjektif lainnya dari pihak eksekutif. Misalnya, soal fleksibilitas nomor urut bagi partai politik peserta pemilu, yang merupakan pemilik kursi parlemen dan waktu dimulainya masa kampanye.

Terakhir, pemerintah bahkan mengusulkan perppu untuk memajukan jadwal pilkada serentak nasional dari semula November ke September 2024. Padahal, pilihan hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024 diputuskan karena mempertimbangkan pilkada yang akan berlangsung pada November.

Anehnya lagi, meskipun perppu merupakan instrumen hukum yang diterbitkan Presiden untuk merespons hal ihwal kegentingan yang memaksa, sejak perppu pemilu dan perppu pilkada, selalu diawali pembahasan terlebih dahulu soal rencana penerbitannya oleh Mendagri bersama Komisi II DPR. Hal itu lantas menimbulkan pertanyaan soal sifat kegentingan yang memaksa dari perppu.

Apalagi, sejumlah UU pernah disahkan secara cepat oleh pemerintah dan DPR (fast track legislation), antara lain, UU Ibu Kota Negara dan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau sudah sama-sama sepakat sejak awal soal isi dari perppu, mengapa tidak langsung dilakukan perubahan oleh pembentuk UU saja?

 

Politisasi yudisial

Selain fenomena tersebut, batalnya RUU Pemilu hingga kini berdampak pada kian masifnya yudisialisasi politik (judicialization of politics) pengaturan pemilu serentak 2024. Para pihak memindahkan ruang advokasi pembuatan kebijakan dari gedung parlemen yang menyasar aktor pembentuk UU, ke dalam ruang-ruang persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim dan peradilan makin ditarik masuk penyelesaian urusan-urusan politik, yang mestinya jadi tanggung jawab para aktor politik.

Pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada di MK bak cendawan di musim hujan. Per 1 Oktober 2023 saja tercatat UU 7/2017 sudah lebih dari 120 kali diuji ke MK. Menjadikannya sebagai UU yang paling banyak dilakukan pengujian selama MK berdiri. Sementara itu, UU pilkada beserta segala perubahannya menjadi UU nomor dua yang terbanyak diuji ke MK.

Cek Artikel:  Beradu Gagasan Kampanye dalam Pemilu Kompetitif Damai

Kecenderungan yang bukan hanya terjadi karena adanya saluran uji materi (judicial review) yang bisa ditempuh para pihak untuk mengoreksi pengaturan yang konstitusional, ataupun karena tingkat kepercayaan yang baik pada MK, tapi Mahkamah saat ini menjadi satu-satunya ruang untuk melakukan perubahan pengaturan pemilu akibat keran yang ditutup pembentuk UU.

Itulah yang membuat riuh rendah Pemilu 2024. Selain ukurannya yang besar, serta kompleksitasnya yang mengandung kerumitan tersendiri, Pemilu 2024 juga diwarnai dinamika kepastian aturan main karena upaya hukum terus-menerus yang dilakukan untuk menguji norma perundang-undangan yang melandasi penyelenggaraannya. Sebagaimana terjadi saat pengujian sistem pemilu DPR dan DPRD dalam perkara 114/PUU-XX/2022.

Ketika itu, partai politik dan bakal caleg waswas menanti apakah akan ada perubahan sistem pemilu atau tidak. Tiba-sampai delapan partai parlemen sempat mengeluarkan ancaman pada MK. Kalau sampai mengubah sistem pemilu proporsional terbuka ke tertutup, anggaran MK juga akan ikut dievaluasi. Rupanya, dampak yudisialisasi politik juga diikuti politisasi yudisial. Persidangan bukan hanya didekati sebagai mekanisme hukum yang merdeka, melainkan juga menuai pendekatan politik dari aktor-aktor berkepentingan. MK seolah menjadi panggung pertarungan politik dari kekuatan-kekuatan yang ada.

Hal itu nyatanya makin menguat bila merujuk pengujian syarat pencalonan pilpres sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang saat ini bertubi-tubi diuji ke MK. Pasal itu mengatur bahwa syarat calon presiden dan wakil presiden ialah berusia paling rendah 40 tahun. Terdapat pula pengujian atas Pasal 169 huruf d terkait dengan persyaratan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya, serta pengujian Pasal 169 huruf n berkaitan dengan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Selain Partai Solidaritas Indonesia (PSI), terdapat Partai Garuda, Partai Gerindra, beberapa kepala daerah berusia muda, organisasi nonpemerintah, serta sejumlah warga negara dari beragam latar belakang yang ikut melakukan pengujian persyaratan pencalonan pilpres. Bagus sebagai pemohon maupun pihak terkait.

 

Ragam kepentingan

Bila diklasifikasi berdasarkan petitum yang dimohonkan, maka pengujian syarat pencalonan di pilpres bisa dibagi dalam lima kelompok dengan ragam kepentingannya masing-masing.

Pertama, permohonan untuk menurunkan syarat batas bawah atau usia minimal calon. Terdapat yang meminta diturunkan paling rendah 35 tahun, seperti diajukan PSI, Garuda, dan Gerindra. Tetapi, ada pula yang meminta agar diturunkan menjadi 21 tahun, 25 tahun, dan 30 tahun. Kedua, permohonan agar diberlakukan persyaratan batas atas usia maksimal calon. Terdapat permohonan berbeda yang meminta pembatasan usia maksimal calon paling tinggi 65 tahun dan 70 tahun.

Ketiga, permohonan agar ada pengecualian dalam pemberlakuan syarat usia. Pengecualian itu berlaku bagi mereka yang pernah menjadi penyelenggara negara, sebagaimana diajukan oleh Garuda dan sejumlah kepala daerah berusia muda, antara lain Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak. Selain itu, ada juga yang mengajukan pengecualian syarat usia bagi mereka yang pernah menjadi kepala daerah. Seperti dimohonkan Almas Tsaqibbirru Re A dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Almas dalam permohonannya mengaku sebagai pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang menurutnya berhasil memimpin Surakarta dalam usia masih 35 tahun.

Cek Artikel:  Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan

Keempat, permohonan agar Pasal 169 huruf d dinyatakan inkonstitusional apabila tidak dimaknai tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang antidemokrasi serta tindak pidana berat lainnya.

Kelima, permohonan agar Pasal 169 huruf n dinyatakan inkonstitusional apabila tidak dimaknai belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dan belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak 2 kali dalam jabatan yang sama.

Apabila dicermati ragam petitum yang diajukan, sulit untuk menyangkal bahwa pengujian persyaratan calon tidak berkaitan dengan dinamika politik praktis saat ini. Publik yang mengikuti perkembangan pencalonan Pilpres 2024, bisa langsung menghubungkan isi permohonan tersebut dengan kepentingan pengusungan calon dari koalisi masing-masing. Spesifiknya, terkait dengan pencalonan wakil presiden.

 

Kebijakan hukum

Konstitusi secara eksplisit hanya mengatur terbatas persyaratan pencalonan pilpres. Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebut bahwa, “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.” Berikut Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”

Dengan demikian, bila merujuk Pasal 6 ayat (2) UUD, maka selain dari pengaturan dalam Pasal 6 ayat (1), syarat-syarat untuk menjadi calon di pilpres ialah kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk undang-undang. Hal mana sejalan dengan risalah pembahasan amendemen UUD sebagaimana terdapat dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Mengertin 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010).

Pembahasan soal umur memang pernah mengemuka saat amendemen konstitusi. Misalnya, Hamdan Zoelva, juru bicara F-PBB menyampaikan usul fraksinya sebagai berikut, “…Kemudian masalah syarat-syarat pemilihan Presiden, kami mengusulkan bahwa presiden dan wakil presiden paling tidak telah berumur 40 tahun pada saat pencalonan. Kemudian, presiden dan wakil presiden ialah warga negara Indonesia yang memperoleh kewarganegaraan karena garis keturunan setelah derajat kedua.”

Cek Artikel:  Debat Ambang Batas

Pada 14 Juli 2000 dilakukan rapat pleno sinkronisasi PAH I yang membahas Pasal 6 ayat (2) tentang pemilihan presiden, pimpinan rapat Jakob Tobing sempat mengemukakan hal berikut, “…Apakah kita bisa melihat bahwa mengenai variannya, nanti biar di UU, apa pun pilihannya. Apakah langsung, apakah MPR? Mengenai variannya, apakah caranya? Harus berumur berapa? Pandai bahasa berapa? Itu urusannya di UU.”

Tiba akhirnya, para pengubah UUD sebagaimana halnya sistem pemilu, memilih bersepakat untuk tidak mengatur soal syarat umur ataupun pendidikan dalam UUD, dan menyerahkannya sebagai kebijakan hukum dari pembentuk UU. Tentu bila dihubungkan dengan pengujian Pasal 169 huruf d, huruf n, dan huruf q ini, tak terlalu sulit untuk menebak putusan MK. Soal syarat calon, selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD, ialah kebijakan hukum pembentuk UU.

MK pernah menegaskannya melalui Putusan Nomor 15/PUU-V/2007 dan Nomor 58/PUU-XVII/2019, bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Perihal batas usia tidak terdapat persoalan konstitusional sebab, menurut Mahkamah, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

Demikian pula halnya jika pembentuk UU berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk UU menentukan batas usia yang berbeda-beda, disebabkan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk UU.

Akan tetapi, MK sebagai penjaga demokrasi konstitusional tetap punya ruang mengingatkan pembentuk UU agar pemilu berjalan sesuai prinsip pemilu yang luber dan jurdil sebagaimana kehendak Pasal 22E ayat (1) UUD. Partai politik sebagai satu-satunya pintu pencalonan pilpres mutlak menerapkan pencalonan yang demokratis melalui praktik demokrasi internal partai.

Partai harus diingatkan untuk konsisten menerapkan demokratisasi di internal partai, dengan sungguh-sungguh menempatkan kedaulatan berada di tangan anggota melalui proses yang partisipatoris. Semisal pemilihan calon di internal partai secara berjenjang dan inklusif (primary elections).

Terdapat banyak persoalan pencalonan pilpres yang melampaui kepentingan usia calon. Berapa pun usia calon yang diputuskan pembentuk UU, tidak akan banyak pengaruhnya bagi kesempatan orang muda ataupun putra-putri terbaik bangsa lainnya, jika pencalonan di partai politik hanya diputuskan segelintir orang melalui mekanisme yang tertutup dan elitis. Apalagi dengan adanya ambang batas pencalonan presiden (nomination threshold), ruang gerak kader dan calon potensial dibuat makin sempit.

Mestinya, putusan MK bisa menyentuh hal-hal yang lebih fundamental tersebut sebab kontribusinya lebih nyata bagi kepentingan pemajuan mutu demokrasi konstitusional Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai