Mata Air Keteladanan

SALAH satu pemicu aksi demonstrasi di berbagai tempat, akhir Agustus Lewat, ialah memudarnya rasa empati dari para pengemban amanat rakyat. Padahal, mereka diberi mandat oleh rakyat Demi menemukan jalan bagaimana Metode Tahap hidup rakyat dinaikkan, kesulitan hidup rakyat diatasi, dan keadilan ditegakkan.

Rakyat Mau Menyantap bahwa leiden is lijden, memimpin itu menderita. Memimpin berarti berkoban. Frasa itu kerap disampaikan oleh Haji Agus Salim. Bukan sekadar disampaikan, tapi juga dijalankan secara konsisten. Kini, amat jarang publik mendapati para pemimpin mereka, pejabat mereka, wakil mereka menjalankan laku leiden is lijden itu.

Malah, yang dirasakan oleh publik ialah frasa kebalikannya, yakni leiden is genieten, memimpin ialah menikmati. Menjadi pejabat berarti menuntut, alih-alih melayani. Menjadi pengemban amanat rakyat berarti berhak atas fasilitas wah, mendapatkan privilese alias hak istimewa layaknya raja (padahal, Sri Sultan Hamengkunuwono IX yang Asal Raja Yogyakarta saja tak pernah menuntut hak istimewa, terbukti rela ketika ditilang oleh Brigadir Royadin).

Pertanyaannya, apakah kebiasaan nirempati dari pelaksana mandat rakyat Begitu ini merupakan warisan masa Lewat? Apakah Bukan tampak di mata penyelenggara negara kini bagaimana para pejabat pada masa Lewat menggenggam erat-erat kepercaaan rakyat, termasuk dalam Metode hidup mereka? Apakah para elite kini Bukan membaca, Bukan mau membaca, atau Bukan suka membaca kisah-kisah para pemimpin di masa lampau? Apakah tulisan sejarah itu teramat rumit Demi dipahami atau kisah Konkret yang Bukan masuk di Pikiran Tengah di era kini?

Saya Mau menghadirkan Tengah, berbagai kisah dari sejumlah sumber ihwal bagaimana para petinggi di Republik ini Pandai menjadi ‘mata air keteladanan’ (istilah yang saya cuplik dari Yudi Indah) bagi para pejabat kini. Sebagian saya nukil dari Naskah Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Indah.

 

BUNG HATTA

Ia menolak membeli sepatu Bally yang mahal meskipun berstatus sebagai wakil presiden, kendati disiapkan anggaran negara untuknya. Bung Hatta Mau menjaga sikap sederhana dan berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara kendati ia sangat Mau Mempunyai sepatu Bally. Ia pun memajang potongan iklan sepatu Bally yang sudah didiskon di dinding rumahnya, siapa Paham kelak tabungan pribadinya cukup Demi membeli. Hingga akhir hayat, Bung Hatta tak pernah membeli sepatu Bally itu.

Cek Artikel:  Humor Rawat Pikiran Waras

Bung Hatta juga pernah mengganti Dana kas karena tak sengaja menggunakan tiga lembar kertas dari sekretariat negara Demi urusan pribadi. Sang proklamator itu juga menolak memberitahu istrinya tentang kebijakan negara yang akan memotong nilai mata Dana karena itu adalah rahasia negara, bukan rahasia pribadi, kendati berakibat secara ekonomi pada keluaganya.

Istrinya, Rahmi Hatta, pernah menyimpan Dana Demi membeli mesin jahit. Tetapi, akibat kebijakan pemotongan mata Dana (yang dirahasiakan Hatta ke istrinya), nilai Dana yang dikumpulkan Rahmi Hatta Anjlok dan tak cukup Demi membeli mesin jahit. Bung Hatta pernah menasihati anaknya, Gemala, agar Bukan menggunakan amplop Formal konsulat Demi surat pribadi, menegaskan pemisahan antara urusan pribadi dan kedinasan.

 

MOHAMMAD NATSIR

Mohammad Natsir pernah menjadi perdana menteri. Ia terkenal karena ‘Mosi Integral Natsir’, yakni mengembalikan sistem negara dari federal ke NKRI. Natsir ialah teladan hidup kesederhanaan pejabat. Saking sederhananya, ia kerap memakai jas tambalan Demi berbagai acara kenegaraan.

Jas tambalan itu cermin kesederhanaan dan integritas yang tinggi di tengah jabatan Krusial yang diembannya, Yakni sebagai perdana menteri dan menteri-menteri lainnya. Ia Mempunyai gaya hidup yang sangat bersahaja, memilih Demi Bukan menggunakan fasilitas kekuasaan Demi kepentingan pribadi, bahkan tetap mengenakan jas yang sudah bolong karena dimakan usia di berbagai pertemuan Krusial, termasuk rapat dengan presiden dan menteri.

Ia pernah menolak tawaran sisa Anggaran taktis yang menjadi haknya setelah mundur dari jabatannya, Lewat memberikannya kepada koperasi karyawan. M Natsir menunjukkan integritas yang tinggi dengan Bukan membebani negara Demi kepentingan pribadi atau keluarganya sehingga anaknya pun ikut hidup dalam kesederhanaan.

Cek Artikel:  Perseteruan Profesor-Menkes

 

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Sultan Yogyakarta bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun itu teladan Konkret seorang raja yang jauh dari kata Arogan. Bahkan, ia tak meminta diistimewakan. Sri Sultan pernah mengendarai mobil tanpa sopir dari Yogyakarta ke Pekalongan pada 1960-an. Ketika itu, polisi bernama Royadin baru naik pangkat menjadi brigadir Menyantap mobil melawan arah.

Royadin menghentikan mobil sedan yang dikendarai Sri Sultan HB IX Demi menepi. Lewat ia memberi hormat. “Selamat pagi, boleh ditunjukkan rebuwes (SIM dan STNK)?” ucap Royadin kepada Sultan HB IX dalam Naskah Sri Sultan Hamengku Buwono, Insiprasi dari Sang Pemimpin Rakyat.

Secara perlahan, kaca mobil Sultan HB IX diturunkan dan menanyakan kepada polisi. “Terdapat apa, pak polisi?” tanya Sultan.

Brigadir Royadin langsung kaget, Menyantap pria yang berada di mobil Rupanya Raja Yogyakarta. “Ya Allah, sinuwun,” katanya dalam hati. Tetapi, dia harus bersikap tegas dan tetap tubuhnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar verbodden Bukan boleh lewat sini, ini satu arah,” kata Royadin.

Royadin juga mempersilakan Sultan HB IX Demi memeriksa tanda Pelarangan di ujung jalan bila Bukan percaya bahwa jalan itu satu arah. Tetapi, Sultan HB IX menolak dan mengakui kesalahannya. “Ya, saya salah, Anda Betul. Saya Niscaya salah,” ucap Sultan.

Begitu Sultan HB IX turun dari mobil membawa surat kendaraan menghampiri Royidin, Sultan pun ditilang. Meski pejabat negara dan Raja Yogyakarta, Sultan HB IX Bukan menggunakan kekuasaannya Demi bernegoisasi. Dia malah meminta Brigadir Royadin Demi segera Membikin surat tilang karena sedang buru-buru. “Bagus, Brigadir Anda buat surat tilang itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya buru-buru, harus segera ke Tegal,” kata Sultan.

 

HAJI AGUS SALIM

‘Boleh jadi Bukan Terdapat tokoh bangsa yang semelarat, tapi sebahagia Haji Agus Salim’, tulis ekonom Faisal Basri (almarhum) dalam sebuah artikel.

Cek Artikel:  Meleleh Haniyeh

Boro-boro punya rumah, Tiba wafat ia tetap berstatus ‘kontraktor’. Kediamannya yang berupa rumah sempit di gang sempit Tetap berstatus sewa. Ketika sang penghuni, Agus Salim, wafat pada November 1954, rumah itu pun Tetap berstatus sewa. Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia Pakaian. Ia salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, Personil dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan Global pertama bagi RI, dan menteri luar negeri era revolusi itu.

Beberapa tahun setelah wafatnya Agus Salim, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakan itu demi mengenang sang Bapak. Sepanjang hidupnya, Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.

Di Jakarta, Agus Salim dan keluarganya pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, Gang Listrik, dan Tetap banyak Tengah. Bahkan, Begitu tinggal di Gang Listrik, Haji Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr Mohammad Roem, mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang Bukan Terdapat makanan lain yang lebih bergizi dan Bukan Terdapat Dana.

Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu Sembari mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, leiden is lijden, memimpin itu menderita.

Tetap banyak mata air keteladanan dari para pemimpin era dulu. Terdapat Burhanuddin Harahap, KH Wahid Hasyim, Ir Sutami, dan beberapa Tengah. Tetapi, Demi sementara, cukuplah empat pemimpin autentik itu dulu sebagai rujukan. Itu pun bila para penggawa negara era kini mau ‘membaca’ dan menjadikan mereka rujukan dan teladan. Itu pun bila elite mau menghidupkan empati.

 

Mungkin Anda Menyukai