Mari Atasi Lonjakan Kasus Covid-19

Mari Atasi Lonjakan Kasus Covid-19
(MI.Tiyok)

HARI-HARI ini kita dihadapkan dengan peningkatan tinggi kasus covid-19, penuhnya rumah sakit bahkan sampai sudah membuka tenda darurat, penuhnya lahan permakaman, makin banyaknya petugas kesehatan yang jatuh sakit dan berbagai kejadian menyedihkan lainnya. Kasus baru per hari pernah 2.385 orang di pertengahan Mei 2021 dan dalam hitungan satu bulan saja melonjak sembilan kali lipat (hampir 10 kali lipat), menjadi 21.095 pada 21 Juni 2021.

Tentu kita tidak mengharapkan bahwa situasi makin memburuk. Karena itu, kita bersama perlu melakukan upaya maksimal, tidak cukup hanya optimal agar kasus covid-19 dapat terkendali di negara kita. Kepada itu, setidaknya ada lima hal yang dapat dan perlu kita lakukan sekarang, mulai harihari ini dan jangan ditunda lagi.

Pesan ibu dan pembatasan kegiatan sosial

Hal pertama yang perlu kita lakukan ialah melaksanakan salah satu ‘pesan ibu’ dalam protokol kesehatan 3M, yaitu ‘menjaga jarak’. Selain itu, ketika 3M dikembangkan menjadi 5 M maka ‘membatasi mobilitas’ dan ‘menghindari kerumunan’ menjadi unsur penting pula. Isi pesan dalam 3M dan 5M ini jelas berkait langsung dengan pembatasan kegiatan sosial atau
kalau dalam konsep World Health Organization (WHO) dikenal sebagai Public Health and Social Measure (PHSM).

Makin ketat pembatasan sosial, maka makin mudah aspek ‘menjaga jarak’ dalam 3M dan hal ‘membatasi mobilitas’, serta ‘menghindari kerumunan’ dalam 5 M dapat diterapkan di lapangan, dan tentu akan makin baik untuk memutus mata rantai penularan penyakit. Apalagi, di saat kasus sedang meningkat tinggi seperti sekarang ini.

Seringkali disebut bahwa masyarakat abai dan tetap keluar rumah. Padahal, sudah ada anjuran agar di rumah saja. Tetapi, kalau kantor atau tempat kerjanya tetap buka, mau tidak mau para pekerja akan tetap berangkat kerja. Jadi, anjuran agar lebih baik di rumah saja harus sejalan dengan pembatasan kegiatan sosial, supaya berimbang. Jadi, masyarakat harus berperan untuk mematuhi anjuran di rumah saja, dan penentu kebijakan publik, serta pimpinan kantor/tempat kerja, juga harus memberi aturan yang jelas untuk pembatasan kegiatan sosial.

Aturan yang ada sekarang ini, antara lain, menyebutkan bahwa di zona merah maka pada perkantoran aturannya hanya 25% kerja di kantor, pengunjung atau kapasitas mal hanya 25% dan makan/minum di tempat atau dine-in paling banyak 25% tempat yang ada. Juga disebutkan, bahwa pada zona merah, kegiatan di area publik ditutup sementara sampai
dinyatakan aman dan di zona lainnya diizinkan dibuka paling banyak 25% kapasitas.

Lewat kegiatan seni, sosial, dan budaya di zona merah juga ditutup sementara, dan pada zona lainnya diizinkan dibuka paling banyak 25% kapasitas. Kalau semua hal ini benar-benar terimplementasi dengan benar, harusnya tecermin dengan aktivitas kemasyarakat di lapangan dan lalu lintas yang juga harus turun secara nyata, katakanlah hanya 25% dari hari-hari
sebelumnya.

Kalau kenyataan ini tidak terjadi, dan tampaknya di sebagian tempat demikian adanya, tentu ada yang perlu dievaluasi dan diperbaiki lagi. Bagus dari sudut aturan yang ada, bagaimana implementasi nya di lapangan, maupun juga bagaimana kepatuhan masyarakat luas. Ini ialah tanggung jawab bersama.

Cek Artikel:  Bergelut dengan Kesiapan Transformasi Digital

Dalam hal pelaksanaan pembatasan sosial atau lebih spesifiknya tentang, “Public Health and Social Measure (PHSM),” maka WHO Indonesia dalam Situation Report-nya tanggal 23 Juni 2021, menyampaikan enam hal yang dapat kita pertimbangkan pula.

Laporan WHO ini memang dikaitkan dengan kemampuan India menurunkan kasus harian sampai delapan kali lipat lebih rendah dalam waktu hanya satu bulan saja, dari 414.188 kasus sehari pada 6 Mei 2021, dan lalu setelah berbagai upaya maksimal turun amat tajam menjadi 50.848 kasus baru dalam sehari pada 22 Juni 2021.

Aspek PHSM pertama, yang disampaikan WHO adalah sudah terbukti bahwa pembatasan sosial yang amat ketat (di beberapa daerah sampai lockdown total) ternyata memang mampu menurunkan jumlah kasus walaupun di masa penuh varian baru seperti sekarang ini.

Aspek kedua ialah bahwa pembatasan sosial harus amat diperketat ketika situasi memburuk, mungkin dapat dianalogikan dengan lonjakan tinggi kasus kita hari-hari ini. Aspek ketiga yang amat penting adalah penegakan implementasi di lapangan yang harus dilakukan secara ketat.

Salah satu contoh konkret dampaknya adalah penerapan lockdown di New Delhi yang ketika dipantau dengan Google Community Mobility Reports menunjukkan adanya penurunan
lebih dari 70% mobilitas penduduk dan hal ini langsung berdampak pada penurunan insiden kasus dari 600 kasus per minggu per 100.000 penduduk, menjadi hanya kurang dari 10 kasus minggu per 100.000 penduduk, luar biasa tajam penurunannya.

Aspek keempat dari pembatasan sosial adalah bahwa aturan yang amat ketat memang diberlakukan pada suatu daerah tertentu yang diperlukan dan dalam waktu tertentu pula, jangan berkepanjangan tidak jelas karena tentu akan amat memengaruhi sosioekonomi masyarakat. Kepada itu, selain jumlah kasus, angka kepositifan setempat dapat menjadi pertimbangan.

Aspek ke lima ialah tersedianya sistem kewaspadaan yang akurat, berbasis data ilmiah, untuk menilai kebijakan pembatasan sosial yang akan dilakukan. Tentu banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan, seperti data epidemiologik, varian yang beredar, beban yang dihadapi rumah sakit dll.

Aspek keenam yang juga amat penting ialah bahwa apa pun kebijakan yang akan ditetapkan haruslah dilakukan bersama masyarakat dan komunikasi risiko menjadi hal yang utama. Program pembatasan sosial hanya akan berjalan sukses kalau dilakukan dimengerti dan dilakukan bersama masyarakat.

Akan amat baik kalau keenam prinsip dasar pembatasan sosial seperti yang disampaikan WHO ini dapat juga jadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan di negara kita. Tentu kita ketahui juga bahwa negara tetangga yang lain juga melakukan hal yang hampir serupa. Singapura, misalnya, mulai memperketat pembatasan sosial pada 16 Mei 2021, yang mereka sebut sebagai tighter restrictions atau juga Heightened Alert.

Satu bulan kemudian, pada 16 Juni 2021, jumlah kasus harian di Singapura amat menurun dan pemerintah setempat mulai melonggarkan secara bertahap pengetatan yang sudah dilakukan dan lebih dilonggarkan lagi mulai 21 Juni 2021. Malaysia juga sedang memperketat aturan pembatasan pergerakan, yang mereka sebut movement control order (MCO) dengan pembatasan yang lebih ketat di sektor ekonomi dan sosialnya.

Tes dan telusur

Hal kedua yang kita ketahui wajib dilakukan ialah melakukan tes dalam jumlah yang memadai setidaknya seperti kaidah WHO. Sebagai perbandingan saja, ketika kasusnya naik drastis, India juga menaikkan jumlah tesnya sampai 2 juta tes sehari atau 10 tes per 1.000 penduduk per minggu, 10 kali lipat lebih tinggi dari rekomendasi WHO 1 tes per minggu
per 1.000 penduduk. Yang juga patut digarisbawahi ialah bahwa angka kepositifan di India bulan Mei ialah lebih dari 20% dan pada Juni hari-hari ini sudah sekitar 3% saja, turun amat tajam pula.

Cek Artikel:  Peretasan Data dan Krisis Kepercayaan Masyarakat

Jumlah tes di Indonesia, menurut laporan 26 Juni 2021, ialah 98.274 orang. Sementara itu, kita tahu penduduk kita kurang lebih se perempat penduduk India. Yang juga menarik
adalah data 26 Juni 2021 itu menunjukkan angka kepositifan kita ialah 19,8%. Tetapi, kalau lihat kepositifan berdasar tes PCR ialah amat tinggi, yaitu 37%, dan kepositifan
berdasar tes antigen hanya 1%. Artinya, kita perlu hati-hati dan kritis membaca data angka gabungan angka kepositifan ini sehingga kebijakan yang tepat dapat diambil sesuai prinsip evidence-based decision making process.

Sesudah tes, maka tentu harus diikuti dengan kegiatan telusur (trace) yang maksimal. Kalau targetnya dari setiap kasus harus ditelusuri 30 orang kontak di sekitarnya, atau barangkali target akan diturunkan menjadi 20 kontak misalnya. Maka, target ini harus betul dipenuhi seluruh daerah di negara kita. Hanya dengan melakukan jumlah tes yang
memadai dan diikuti dengan kegiatan telusur yang maksimal, maka kita akan dapat menemukan kasus di masyarakat, menangani dan mengisolasi/karantinanya sehingga terjadi pemutusan rantai penularan. Kalau tidak, situasi dapat tidak terkendali berkepanjangan.

Pelayanan kesehatan dan vaksinasi

Hal ketiga tentu yang kini banyak dibahas, yaitu bagaimana mengatasi mereka yang sudah jatuh sakit. Terlalu banyak kini cerita pilu tentang tempat tidur rumah sakit (RS) penuh, instalasi gawat darurat (IGD) membludak pasiennya dan bahkan yang menyedihkan ialah adanya pasien yang tidak dapat tertolong sampai meninggal dunia.

Tentu, salah satu upaya yang dilakukan, ialah menambah kapasitas rumah sakit. Tetapi, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian. Pertama, menambah tempat tidur
isolasi dan ICU harus dibarengi dengan penambahan petugas kesehatan mahir pula. Sejak minggu yang lalu saja teman-teman di RS sudah amat kewalahan, seorang harus menangani puluhan kasus, dan bahkan ada yang lebih dari itu.

Jadi, penambahan petugas, melaluiberbagai mekanisme memangharus dilakukan.

Kedua, walaupun masih jarang, sudah mulai terdengar informasi tentang keterbatasan alat, ventilator dan juga termasuk oksigen. Hal ketiga ialah akan baik kalau pelayanan kesehatan primer juga terus ditingkatkan perannya dalam penanganan pasien ini dalam setidaknya tiga aspek.

Kesatu, puskesmas perlu tahu bagaimana situasi keterisian tempat tidur RS untuk memudahkan mengirim pasien kalau diperlukan. Kedua, baik kalau ada mekanisme agar setiap waktu petugas puskesmas dapat berkomunikasi langsung dengan pakar di RS untuk konsultasi keadaan pasien yang dihadapi di puskesmas atau juga di rumah warga di lingkungan
kerjanya. Ketiga, akan baik kalau pasien sudah pulang dari RS, diinfokan data klinisnya ke puskesmas sehingga dapat terus dipantau keadaannya di rumahnya masing-masing.

Cek Artikel:  Mahkamah Konstitusi dan Penyelamatan Pemilu 2024

Hal keempat untuk pengendalian peningkatan kasus ialah peningkatan vaksinasi. Memang mungkin dampaknya tidak akan mungkin langsung terlihat karena butuh waktu, tetapi jelas vaksinasi memegang peran utama dalam pengendalian pandemi. Sebagai ilustrasi saja, India sudah berhasil memvaksinasi 8 juta orang dalam satu hari.

Kalau penduduk kita seperempat penduduk India, target 2 juta atau setidaknya 1 juta sehari memang perlu kita capai untuk itu kemudahan bagi masyarakat yang akan divaksin harus dapat terselenggara dengan baik. Salah satu masalah utama yang dihadapi pemerintah tentu ialah ketersediaan vaksin di dunia.

Dalam hal ini dapat disampaikan bahwa pada pada 25 Juni 2021, saya sebagai salah satu dari 12 pakar internasional anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX bertemu secara virtual dengan pimpinan tertinggi WHO, yaitu Direktur Jenderal WHO Dr Tedros yang didampingi beberapa pimpinan organisasi itu.

COVAX ialah badan yang dibentuk oleh WHO, UNICEF, GAVI, dan CEPI untuk membantu ketersediaan vaksin covid-19 bagi negara yang membutuhkan dan IAVG akan memvalidasi proses pemberian vaksin ini ke berbagai negara di dunia. Biarpun ini grup independen dan tidak mewakili negara, ketika saya bicara, saya angkat tentang kebutuhan vaksin
Indonesia dan saya sampaikan juga perkembangan kasus yang meningkat dan DirJen WHO ternyata juga sudah mengetahui perkembangan kasus di negara kita dan secara
spesifi k menyebut tantangan yang dihadapi Indonesia.

Dalam diskusi selanjutnya, maka mengemuka masalah yang lebih mendasar, yaitu ketimpangan vaksin antarnegara di dunia. DirJen WHO sangat menyayangkan bahwa tidak cukup ada komitmen politik pada negara-negara yang punya banyak vaksin untuk membaginya ke negara lain yang amat membutuhkan, antara lain, lewat mekanisme COVAX ini.

Dibicarakan bahwa ketimpangan kesempatan vaksin antara negara ialah masalah kemanusiaan dan membuat orang menjadi korban karena tidak mendapat vaksin yang diperlukannya.

Hal kelima yang perlu dilakukan untuk mengendalikan peningkatan kasus ialah tentunya partisipasi aktif kita semua, anggota masyarakat luas. Mari kita terus memperketat 3M dan juga 5M. Kalau kasus sekarang sudah meningkat hampir 10 kali lipat, artinya kita harus 10 kali lipat mengingat untuk patuh memakai masker di setiap kesempatan yang harus digunakan.

Sepuluh kali lipat lebih waspada menjaga jarak setidaknya 1 meter dan 10 kali lipat lebih mengingat untuk rajin cuci tangan. Kalau toh amat terpaksa keluar rumah, lakukanlah tiga hal. Kesatu tetaplah patuh untuk jaga jarak, WHO menyebutnya sebagai farther away from others safer than close together.

Kedua, kalau toh harus berkumpul maka memang akan jauh lebih baik kalau dilakukan di udara terbuka, open air spaces safer than enclosed spaces. Kalau betul-betul terpaksa harus di dalam ruangan, anjurannya ialah jendela dibuka agar ada ventilasi terbuka dengan udara luar atau diterapkan desain ruangan dengan menerapkan teknologi sirkulasi udara dengan tepat.

Ketiga ialah mengurangi lamanya waktu kalau harus berada di luar rumah, yang disebut shorter time periods with others are safer. Mari kita semua berupaya maksimal, sekali lagi tidak cukup hanya optimal agar peningkatan kasus covid-19 dengan segala dampaknya dapat dikendalikan.

Mungkin Anda Menyukai