Mapel Koding dan KA Kini Absah di Sekolah

Mapel Koding dan KA Kini Sah di Sekolah
(MI/Seno)

PEMERINTAH telah menetapkan Koding dan kecerdasan artifisial (KA) sebagai ‘mata pelajaran pilihan’ di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI No 13/2025 yang merupakan perubahan atas Permendikbud-Ristek No 12/2024 tentang Kurikulum PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah.

Kebijakan itu selaras dengan Astacita pilar keempat sebagaimana tercantum dalam Berkas visi pembangunan 2025-2029 pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam konteks itu, pembelajaran koding dan KA bukan sekadar Penemuan pendidikan, melainkan juga upaya strategis mempercepat transformasi digital dan mempersiapkan generasi unggul.

Merujuk data yang diolah Kominfo dalam laporan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2024, kebutuhan Bakat digital nasional pada 2030 mencapai 12 juta orang. Sementara itu, perguruan tinggi di Indonesia hanya Bisa menyediakan Tamat 9 juta Bakat digital. Itu artinya Terdapat kekurangan 3 juta Bakat digital pada 2030.

Lebih dari itu, dengan lahirnya mapel koding dan KA, sekolah di seluruh Indonesia kini punya dasar hukum dan arah kebijakan yang Terang Buat mulai mengenalkan Metode berpikir abad ke-21 kepada murid. Dari ruang kelas, kita berharap akan lahir generasi baru yang bukan Hanya pengguna teknologi, melainkan juga pencipta masa depan.

 

KENAPA KODING DAN KA MASUK SEKOLAH?

Kita tak Dapat menutup mata Kalau Terdapat sebagian pihak yang merasa khawatir kalau koding dan kecerdasan artifisial diajarkan kepada anak-anak di sekolah. Kekhawatiran itu muncul dari sejumlah Intervensi awal di beberapa negara, seperti Swedia, yang menunjukkan adanya indikasi penurunan daya pikir kritis siswa ketika pembelajaran teknologi Kagak diimbangi dengan pendekatan pedagogis yang Pas. Koding yang terlalu teknokratis, tanpa kontekstualisasi sosial, berisiko menjauhkan anak dari empati dan Akal etis.

Cek Artikel:  Membangun Arti Pembelajaran

Hal serupa juga disinggung dalam penelitian yang dilakukan oleh MIT Media Labbyang menemukan bahwa penerapan kecerdasan artifisial dalam pendidikan tanpa pengawasan dan kerangka etika dapat menyebabkan ‘brain off’ behavior, yakni ketergantungan penuh pada mesin dan menurunnya Cerminan kritis pada diri siswa. Dalam beberapa kasus, anak-anak menerima saran atau jawaban dari sistem Ai tanpa bertanya lebih jauh yang pada akhirnya mengurangi keaktifan berpikir.

Kekhawatiran itu wajar, terutama Kalau kita meletakkan teknologi–termasuk koding dan kecerdasan artifisial–hanya pada aras pemanfaatan semata (AI for learning) tanpa dibarengi pemahaman terhadap etika dan literasi digital. Sebaliknya, Kalau sejak Pagi anak-anak dipahamkan pentingnya etika, literasi digital, serta diberi pengetahuan tentang bagaimana AA bekerja, teknologi Malah menjadi jalan Buat memperkuat kesadaran kritis, bukan mematikannya.

Tetapi, Malah karena risiko-risiko inilah, pembelajaran koding dan KA perlu hadir lebih awal, lebih terstruktur, dan lebih etis. Indonesia memilih Kagak membiarkan generasi mudanya menjadi konsumen pasif teknologi. Sebaliknya, melalui penetapan koding dan KA sebagai mapel pilihan yang dirancang berbasis nilai dan berpikir kritis, kita sedang menyiapkan anak-anak Buat hidup berdampingan dengan mesin–tanpa kehilangan kendali sebagai Mahluk.

Itulah mengapa mapel ini mulai diajarkan di kelas 5 (fase C). Pemilihan kelas 5 sebagai fase awal pengenalan mapel koding dan KA bukan tanpa Argumen. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Jean Piaget, anak-anak pada usia 10 hingga 12 tahun telah memasuki tahap ‘operasional konkret’, Ialah fase yang mana mereka mulai Bisa berpikir logis, menyusun Rekanan Asal Mula-akibat, serta memahami konsep abstrak yang disajikan secara konkret. Inilah masa krusial Buat membentuk Metode berpikir algoritmik dan Akal digital secara bertahap (Piaget, 1972).

Cek Artikel:  Pemuda dan Kedaulatan Perumahan

Di usia ini pula anak-anak sudah Mempunyai fondasi literasi dasar yang cukup kuat–mereka dapat membaca petunjuk, menulis instruksi, dan mulai memahami struktur. Hal ini menjadi modal Krusial Buat memahami konsep berpikir komputasional, mengenali pola, dan mulai membangun solusi berbasis logika. Dengan memberikan stimulasi yang Pas sejak kelas 5, pendidikan teknologi Kagak hanya menjadi efektif secara kognitif, tetapi juga selaras dengan perkembangan psikologis anak.

 

BUKAN SEKADAR PEMROGRAMAN

Mapel koding dan KA bukan hanya tentang pemrograman. Lebih dari itu, ia mengajarkan Metode berpikir sistematis dan logis (computational thinking), keterampilan menyelesaikan masalah kompleks, serta memahami bagaimana algoritma dan data membentuk keputusan. Dalam konteks inilah, mapel ini Kagak sekadar melatih keterampilan teknis, tapi juga membentuk dasar Metode berpikir generasi masa depan.

Dalam Permendikdasmen Nomor 13 tahun 2025 disampaikan bahwa pembelajaran koding dan KA dimasukkan sebagai mata pelajaran pilihan dalam intrakurikuler (mapel inti), dari kelas 5 SD hingga kelas 12 SMA/SMK. Implementasi dilakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 2025/2026 disesuaikan dengan kesiapan satuan pendidikan.

Kurikulum ini dirancang dalam empat fase bertahap: fase C (SD kelas V-VI), fase D (SMP), fase E (SMA/SMK kelas X), dan fase F (SMA/SMK kelas XI-XII). Di dalamnya, murid Kagak hanya diajak menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta solusi dan penilai kritis atas Akibat sosial dari Penemuan teknologi.

Mapel koding dan KA dirancang berbasis enam elemen terintegrasi: berpikir komputasional Buat menyelesaikan masalah secara logis; literasi digital mencakup produksi konten, keamanan siber, dan etika daring; algoritma pemrograman sebagai dasar instruksi pemecahan masalah; serta analisis data Buat memahami dan mengolah informasi. Dua elemen lainnya mencakup literasi dan etika KA, serta pengembangan KA lewat proyek dan aplikasi Konkret yang berdampak sosial.

Cek Artikel:  Memaknai Kurikulum Kasih bagi UIN Sunan Kalijaga

Setiap fase dalam kurikulum ini disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan kebutuhan murid. Di fase C (SD kelas V-VI), murid mulai dikenalkan dengan konsep berpikir logis, pola algoritmik, dan keterampilan dasar literasi digital secara menyenangkan dan kontekstual. Di fase D (SMP), murid mulai diperkenalkan dasar-dasar pemrograman visual menggunakan blok-blok instruksi sederhana, serta memahami awal analisis data dan Akibat sosial dari teknologi digital.

Memasuki fase E (SMA/SMK kelas X), pembelajaran berkembang ke arah penggunaan bahasa pemrograman yang lebih kompleks, pengolahan data, serta eksplorasi aplikasi KA sederhana seperti chatbot atau generator visual. Sementara itu, di fase F (SMA/SMK kelas XI–XII), murid diarahkan pada pengembangan proyek teknologi yang utuh dan etis–seperti merancang sistem rekomendasi, mengembangkan aplikasi berbasis KA, atau menyusun pemecahan masalah berbasis data.

Perlu diingat, selain mengakomodasi pembelajaran koding dan KA, Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 juga menegaskan bahwa pendekatan pembelajaran mendalam (PM) kini menjadi bagian dari kerangka dasar pembelajaran. Pendekatan ini menggantikan metode pengulangan dan hafalan dengan eksplorasi konsep serta pemahaman yang utuh dan kontekstual.

Kalau memakai kacamata PM, mapel koding dan KA bukan sekadar pengenalan alat atau teknik digital. Ia dirancang Buat menumbuhkan Metode berpikir sistematis, reflektif, dan bernalar kritis. Para murid belajar Kagak hanya menggunakan teknologi, tapi juga memahami logika di baliknya dan menilai Akibat sosialnya.

Mapel koding dan KA mendorong eksplorasi lintas disiplin, proyek kolaboratif, serta Cerminan diri dalam menghadapi tantangan Konkret. Bahkan, Demi anak belajar mengoreksi kesalahan kode (debugging), mereka sedang melatih metakognisi dan kemandirian belajar. Teknologi menjadi pintu masuk, tapi tujuan akhirnya ialah anak yang berpikir lebih dalam, lebih bijak, dan lebih bertanggung jawab.

 

Mungkin Anda Menyukai