HARI-HARI ini, kata ‘persatuan’ ngetren lagi di banyak perbincangan di negeri ini. Pemicunya, dalam pandangan saya, ada dua.
Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan paslon capres-cawapres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang berarti mengesahkan kemenangan Prabowo-Gibran sebagai presiden-wapres terpilih. Kedua, munculnya tantangan dahsyat akibat badai geopolitik dunia yang kian tidak menentu dan berpotensi membuat perekonomian negeri ini kalang kabut.
Dua hal itu datang berbarengan. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat jelas mengecewakan pihak-pihak yang ingin para hakim memutus sebaliknya. Itu berpotensi memicu gesekan bila tidak disikapi dengan besar hati, dengan lapang dada. Karena itu, seruan persatuan menjadi relevan.
Kondisi geopolitik global, yang dipicu konflik Rusia-Ukraina, Israel-Palestina, dan Israel-Iran, jelas mensyaratkan persatuan nasional untuk menghadapinya. Persis seperti saat kita menghadapi pandemi covid-19. Ketika itu, tanpa aba-aba, tidak usah dikomando, semua bergotong royong menaklukkan covid-19.
Karena itu, wajar belaka bila kita kerap menggaungkan kata persatuan saat menghadapi tantangan berat. Setidaknya, itu mengingatkan kembali bahwa ‘persatuan’ itu memang jiwanya kita. Persatuan itu ‘DNA-nya Indonesia’.
Apalagi, mengupayakan persatuan di dalam masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah perkara mudah. Sejak awal berdirinya Republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa proses membangun bangsa merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan.
Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan, Bung Karno membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan kehendak berbangsa. Persatuan itu, kata sang Proklamator, ‘suatu iktikad, suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa’.
Bung Karno kerap mengutip pendapat filsuf Ernest Renan bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un ame). Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarite). Kebangsaan tidak bergantung pada persamaan bahasa meski adanya bahasa persatuan bisa lebih memperkuat rasa kebangsaan.
Apabila begitu, apakah gerangan yang mengikat manusia menjadi satu jiwa? Mengutip Renan, Bung Karno mengatakan bahwa yang menjadi pengikat itu ialah kehendak untuk hidup bersama (le desir d’etre ensemble). “Jadi, gerombolan manusia, meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa,” kata Presiden Pertama RI itu.
Karena itu, sangat penting untuk menggelorakan persatuan, kapan pun dan di mana pun, dalam kondisi tenang, apalagi dalam situasi penuh tantangan. Apalagi, di tengah-tengah potensi perpecahan yang selalu ditabur berbagai pihak, yang terkadang hanya demi kepentingan jangka pendek, gelegar persatuan akan menjadi pengingat penting.
Apabila tidak dikawal dengan rasa persatuan dan rasa untuk ‘hidup bersama’, kita akan terus dibenturkan satu dengan lainnya. Kita selalu akan diajak berkompetisi tidak sehat tanpa ujung, tanpa akhir. Kita dipaksa untuk hidup dan berjuang secara terkotak-kotak, nyaris tanpa menyisakan pintu dan jendela untuk menumbuhkan empati dan simpati terhadap kotak lain selain kotak di mana kita hidup dan berjuang.
Karena itu, putusan MK ialah ujung kompetisi, akhir kontestasi. Guncangan global ialah ajakan bergotong royong lagi, bersatu lagi, demi memastikan kita untuk tidak tergopoh-gopoh, tersungkur, lalu susah bangkit.
Dalam seruan ulama tempo doeloe, yang dibutuhkan bukan sekadar ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim), melainkan juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Dalam kredo itu, kita meniti jalan gemilang masa depan.