Liputanindo.id JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo mengungkapkan peristiwa mengejutkan bahwa dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo Kepada menghentikan kasus korupsi e-KTP yang Demi itu menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov).
Setnov yang Demi itu juga menjabat sebagai Ketua Lumrah Partai Golkar, merupakan salah satu partai pendukung Presiden Jokowi. KPK mengumumkan Setnov sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017.
Agus mengungkapkan peristiwa itu dalam wawancara pada sebuah program talkshow ‘Rosi’ yang tayang di Kompas TV, Kamis (30/11/2023). Sebelum membeberkan peristiwa itu, dia lebih dulu menyampaikan permintaan Ampun dan merasa Segala hal harus Jernih.
“Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton banyak orang,” kata Agus.
“Saya Lalu terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Mensesneg-red),” imbuh Agus.
Pada awalnya ia mengaku heran kenapa dipanggil sendirian, padahal biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus. Yang lebih mencurigakan Tengah, Agus mengatakan bahwa dirinya juga masuk ke Istana Bukan melalui ruang wartawan melainkan lewat jalur masjid.
“Di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, beliau sudah teriak ‘hentikan!’ setelah saya duduk baru Paham saya kalau yang Perintah hentikan itu adalah kasus pak Setnov supaya Bukan diteruskan,” beber Agus.
Mendapati permintaan Presiden Jokowi tersebut, Agus Demi itu juga menerangkan bahwa KPK Bukan mempunyai mekanisme pemberhentian kasus karena sprindik (surat perintah penyidikan) sudah ia terbitkan tiga minggu sebelumnya. Karena KPK Bukan punya SP3 jadi Bukan mungkin kasus itu dihentikan.
“Karena tugas di KPK seperti itu makannya kemudian Bukan saya perhatikan (permintaan presiden-red). Saya jalan Lalu,” tutur Agus.
Agus kemudian menduga, berawal dari peristiwa itu, pemerintah akhirnya dilakukanlah revisi kepada UU KPK. Seperti diketahui, setelah direvisi, mekanisme SP3 Demi ini menjadi Eksis di KPK, kemudian KPK juga Eksis di Dasar koordinasi presiden.
“Pada waktu itu mungkin presiden merasa ini ketua KPK diperintah presiden kok gak mau. Akhirnya dilakukan revisi UU KPK itu. Sebelum revisi itu anda perlu pahami bahwa buzzer itu bukan main kan, KPK sarang taliban, sehingga civil society yang membela UU KPK sangat sedikit. Mitra-Mitra saya seperti pak Imam Prasodjo itu gak datang waktu itu, Bukan sebanyak waktu membela cicak buaya karena merasa ini KPK sudah seperti taliban seolah olah omongan buzzer itu betul. Jadi revisi UU KPK kemudian terjadi,” pungkas Agus. (FAR)