MANAJER Kampanye Pesisir Laut dan Nusa Kecil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin menjelaskan sedimen merupakan bagian yang penting dalam ekosistem laut. Bahkan riset-riset terbaru menyebut sedimen laut memiliki fungsi yang sangat besar menyerap gas rumah kaca, terutama karbon dioksida.
Sedimen salah satunya dihasilkan dari proses alami. Misalnya seperti gunung meletus atau erupsi. Indonesia punya banyak gunung api aktif sejak lama seperti gunung Toba, Tambora, ada Krakatau dan lainnya, seiring berjalannya waktu, letusan gunung mengeluarkan material seperti batu, debu, dan pasir.
“Itu masuk ke laut dalam waktu lama, mengalami proses osenografis, dan itu kemudian menyebabkan terbentuknya yang sering disebut oleh orang-orang lokal itu seperti beting atau gosong yang merupakan pulau kecil terbentuk dari proses sedimentasi yang lama,” kata Parid saat dihubungi, Minggu (22/9).
Baca juga : Ahli UGM: Ekspor Sedimentasi Laut Tetap Merugikan Rakyat
Fungsi dari beting sebenarnya untuk menghalangi wilayah tangkap nelayan dari arus laut yang kencang dan gelombang yang tinggi. “Artinya, kalau sedimentasi dikeruk artinya akan ada perubahan osenografis lagi, arus akan semakin kencang, dan kawasan-kawasan wilayah tangkap nelayan jadi tidak aman,” ujar dia.
Dampaknya juga banyak wilayah pesisir mengalami abrasi karena arus semakin tinggi, terhantam oleh gelombang, hingga pengikisan tanah maka terjadilah abrasi. Selain itu sedimentasi juga ada uang tidak alami, misalnya disebabkan karena hasil dari proses kerusakan di darat akibat tambang.
Jadi, tambangnya di darat, dibuang limbahnya ke sungai, nanti berakhir di laut-laut. Kalau dengan sedimen yang tidak alami, lalu dikeruk tidak lantas menyelesaikan masalah karena sumber masalahnya ada di darat.
“Sehingga jika ingin nyelesaikan sedimentasi yang tidak alami jangan dikeruk, selesaikan di daratnya. Jadi, stop tambangnya dan pemberian izin konsumsi tambang di darat. Dengan begitu, tidak akan ada sedimentasi yang dihasilkan dari tambang,” pungkasnya. (S-1)