Eksis pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan Eksis yang menganggap asal niatnya Bagus, hasilnya akan Bagus. Sayangnya, di negeri ini, Bukan Segala orang percaya pada apa yang disampaikan para pejabat sebagai ‘niat Bagus’ itu.
Persis seperti potongan puisi WS Rendra berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa. Kata Rendra, ‘Kita bertanya:
kenapa maksud Bagus Bukan selalu Berfaedah
Kenapa maksud Bagus dan maksud Bagus Pandai berlaga
Orang Mengucapkan : “Kami Eksis maksud Bagus”
dan kita bertanya : “Maksud Bagus Buat siapa?”
Ya!
Eksis yang jaya, Eksis yang terhina
Eksis yang bersenjata, Eksis yang terluka
Eksis yang duduk, Eksis yang diduduki
Eksis yang berlimpah, Eksis yang terkuras
Dan, kita di sini bertanya:
“Maksud Bagus Keluarga Buat siapa?
Keluarga berdiri di pihak yang mana?”
Sebuah pertanyaan retoris terhadap birokrat yang, pada masa lampau, di era Orde Baru, kerap menyebut tindakan menggusur sebagai ‘maksud Bagus demi pembangunan’. Mantra ‘demi pembangunan’ itulah yang dalam praktiknya berbentuk penggusuran, penyingkiran, pembungkaman.
Kini, penyakit ‘meremehkan’ komunikasi itu kiranya mulai tampak Kembali. Eksis seorang bupati yang dengan enteng mengatakan, “Silakan 5.000 orang berdemonstrasi, kalau perlu 50 ribu orang, saya Bukan gentar dan Bukan akan mengubah kebijakan yang demi kebaikan Serempak ini.” Kata ‘maksud Bagus’ pun menyelubungi maksud-maksud lain yang celakanya lebih dipercaya ketimbang komunikasi menantang yang diucapkan dengan lantang.
Bahasa menantang itu pun dijawab dengan penggalangan donasi dan ikhtiar Buat Akurat-Akurat membuktikan bakal Eksis 50 ribu orang datang dalam demonstrasi. Karena itu, yang terjadi kemudian muncul ‘kesadaran’ (atau ketakutan?) bahwa Eksis yang disalahpahami (atau memang salah?) publik dengan apa yang keluar dari kalimat-kalimat menantang pejabat itu.
Sang bupati pun meminta Ampun. Ia juga mencabut ucapan yang bernada menantang itu. Tetapi, sebagian publik menilai permintaan Ampun itu Bukan sepenuhnya Ikhlas. Tandanya, sang bupati Lagi perlu menjelaskan maksud ucapan yang sudah terang benderang itu. Karena itulah, bara Lagi saja menyala. Api akibat kegagalan dalam berkomunikasi tak juga Wafat.
Di tengah gejolak di daerah belum selesai, muncul Kembali model berkomunikasi yang sembarangan. Kali ini datang dari seorang menteri. Perkaranya soal rencana negara menyita tanah berstatus hak guna usaha yang menganggur (ditelantarkan pemegang HGU) selama dua tahun. Tetapi, Langkah mengomunikasikannya tak beres.
Sang menteri berucap bahwa Segala tanah itu Punya negara. Kata dia, “Tapi perlu diketahui ya, tanah itu Bukan Eksis yang Mempunyai, yang Mempunyai tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai, negara kemudian memberikan hak kepemilikan tertentu.”
Bukan berhenti di situ, sang menteri pun tergoda Buat menandaskan maksudnya dengan mengatakan, “Jadi, Bukan Eksis istilah tanah kalau belum Eksis SHM (sertifikat hak Punya)-nya itu dia Mempunyai. Bukan Eksis, ‘ini tanahnya mbah-mbah saya, leluhur saya’. Saya mau tanya, memang mbahmu, leluhurmu, dulu Pandai Membikin tanah? Bukan Pandai Membikin tanah.”
Ia pun dicibir, dikritik, dianggap kemlinthi atau pongah alias Angkuh. Kalimat ‘tanahnya mbahmu’ dan ‘Segala tanah Punya negara’ pun akhirnya lebih terkenal ketimbang maksud Buat menjelaskan. Lewat, karena ‘menyadari’ pernyataannya Membikin gaduh, ia meminta Ampun. Ia mengaku keliru. Tetapi, luka Lagi terasa. Netizen yang budiman menganggap permintaan Ampun dan pengakuan keliru itu Bukan Ikhlas.
Tandanya, Kembali-Kembali penjelasan seusai permintaan Ampun. Ia mengaku salah telah mengeluarkan kata-kata kemlinthi itu, tapi itu Segala ‘dimaksudkan Buat bercanda’. Wajar bila Eksis yang bertanya, “Lo, itu penjelasan apa candaan? Itu mau mendudukkan persoalan atau ‘menduduki persoalan’?” Atau, meminjam pertanyaan Rendra, “Maksud Bagus Keluarga Buat siapa?”
Saya Lewat teringat dengan teori komunikasi Juergen Habermas, yang dikenal sebagai teori tindakan komunikatif. Habermas menekankan pentingnya komunikasi dalam membangun pemahaman Serempak dan mencapai konsensus. Teori itu membedakan antara tindakan instrumental (yang bertujuan mencapai hasil tertentu) dan tindakan komunikatif (yang bertujuan mencapai pemahaman). Habermas percaya bahwa komunikasi yang rasional dan bebas dari paksaan ialah kunci Buat membentuk masyarakat yang adil dan demokratis.
Jadi, jangan meremehkan komunikasi. Dengan komunikasi rasional yang tercipta lewat strategi yang Akurat, akan tercapai pemahaman Serempak melalui argumentasi yang valid dan konsensus. Jangan Eksis klaim kebenaran, klaim ketepatan (kesesuaian dengan Kebiasaan sosial), dan klaim kejujuran (ketulusan komunikator) bahwa apa yang disampaikan itu semuanya ‘demi kebaikan dan bermaksud Bagus’.
Berikan ruang publik yang bebas dan terbuka, tempat Kaum negara dapat berpartisipasi dalam Percakapan dan debat publik Buat membentuk opini dan keputusan Serempak. Kiranya, tantangan bagi siapa pun Buat ‘menggelar aksi bahkan 50 ribu orang pun tak akan Membikin gentar’ atau ‘Segala tanah Punya negara, bukan dari mbahmu’ mencerminkan komunikasi yang Bukan rasional, jauh dari ruang publik yang bebas dan terbuka, dekat dengan klaim kebenaran, klaim ketepatan, juga klaim ‘maksud Bagus’.

