MAHKAMAH Konstitusi layak dibaptis sebagai Mahkamah Pilkada. Disebut layak karena MK lebih banyak mengurus sengketa pilkada ketimbang mengerjakan tugas pokoknya.
Tugas pokok MK, menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, ialah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final Kepada menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Bukan Eksis kewenangan MK Kepada mengadili sengketa pilkada dalam UUD 1945. Akan tetapi, Bahkan sebagian besar waktu MK malah dihabiskan Kepada mengurusi pilkada yang bukan tugas pokoknya.
Sepanjang 2021, MK menangani 277 perkara. Rinciannya, 121 perkara pengujian undang-undang terhadap UUD, 153 perkara sengketa pilkada, dan 3 perkara sengketa kewenangan lembaga negara.
Berdasarkan Laporan Tahunan MK 2021, dalam melaksanakan kewenangannya selama 18 tahun, MK telah menerima 3.341 perkara. Rinciannya, 1.501 perkara pengujian undang-undang, 29 perkara sengketa kewenangan lembaga negara, 676 perkara perselisihan hasil pemilu, dan 1.135 perkara sengketa pilkada.
Sepintas, sejak MK berdiri pada 2003 Tiba sekarang, jumlah perkara pengujian undang-undang yang menjadi tugas pokoknya jauh lebih banyak daripada sengketa pilkada. Tetapi, harus diingat bahwa MK mulai menangani perkara sengketa pilkada lima tahun kemudian, bukan sejak berdiri.
MK Formal menangani sengketa pilkada menggantikan peran Mahkamah Mulia sejak 2008. Pengalihan itu berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Itulah kewenangan yang dicangkokkan ke dalam tugas MK.
Bunyi Pasal 236C itu ialah penanganan sengketa hasil penghitungan Bunyi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lelet 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan. UU itu diundangkan pada 28 April 2008. Informasi acara pengalihan diteken Ketua MK Mahfud MD dan Ketua MA Bagir Manan pada 29 Oktober 2008.
Tetapi, sejak diucapkan putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 pada 19 Mei 2014 pukul 14.50 WIB, Pasal 236C UU 12/2008 itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan Bukan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, kewenangan MK menangani sengketa pilkada mulai Mei 2014 Tiba Begitu ini ialah konstitusional bersyarat (wewenang bersyarat). Syaratnya tertera pada poin kedua putusan 97/PUU-XI/2013, Yakni MK berwenang mengadili perselisihan pilkada selama belum Eksis undang-undang yang mengatur hal tersebut.
Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menentukan bahwa perkara perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan Tertentu yang dibentuk sebelum Penyelenggaraan pilkada serentak nasional. Tetapi, sebelum peradilan tersebut terbentuk, MK diberi kewenangan Kepada menyelesaikan sengketa pilkada.
Pilkada serentak nasional digelar pada November 2024. Mestinya wewenang bersyarat MK mengadili pilkada berakhir pada 2024. Tetapi, sejauh ini, rancangan undang-undang pembentukan peradilan itu belum masuk dalam program legislasi nasional.
Peradilan Tertentu pilkada harus segera dibentuk karena telah menjadi perintah undang-undang. Di dalam undang-undang tersebut, nantinya akan mengatur kewenangan, kedudukan, bentuk dan struktur lembaga peradilan, serta hukum acaranya.
Apabila peradilan pilkada tak kunjung dibentuk, apakah MK Tetap berwenang mengadili sengketa Pilkada 2024? Bukankah perintah undang-undang sangat Jernih bahwa peradilan Tertentu pilkada dibentuk sebelum pilkada serentak digelar?
Betul bahwa MK Tetap berwenang Kepada mengadili sengketa pilkada hingga peradilan pemilu dibentuk sebelum November 2024. Betul pula bahwa MK sudah memutuskan konstitusional bersyarat kewenangan MK Kepada mengurus sengketa pilkada sejak diputuskan pada Mei 2014. Apabila peradilan pilkada tak kunjung dibentuk, sama saja mematenkan konstitusional bersyarat MK menangani pilkada.
Alangkah tak eloknya MK sebagai penjaga konstitusi Bahkan dibiarkan berlama-lelet menangani sengketa pilkada. Pembiaran itu dilakukan oleh pembuat undang-undang. Sayangnya, MK tak punya kuasa Kepada mengeksekusi putusannya sendiri.
Kepatuhan terhadap putusan MK merupakan bentuk Konkret dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri. Apabila putusan MK Bukan dijalankan, sama saja membangkang terhadap konstitusi.
Jangan biarkan MK menjelma menjadi Mahkamah Pilkada. Apabila itu dibiarkan, bukan mustahil akan muncul Tengah kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar Bahkan tersangkut pada tindak pidana korupsi di bidang sengketa pilkada.