Mabrur tak Tamat

SEPANJANG mata memandang di Masjidil Haram, Mekah Al Mukarramah, dan Masjid Nabawi, Madinah Al Munawwarah, Arab Saudi, jemaah haji Indonesia sangat mudah terlihat.

Selain karena jumlahnya mayoritas, seragam jemaah haji Indonesia memiliki kekhasan. Mereka hadir pada musim haji tahun ini dengan nuansa Nusantara, batik berwarna ungu dengan motif sekar arum sari dan burung garuda.

Dari pemilihan seragam itu jelas terkandung maksud bahwa perjalanan jemaah haji Indonesia tidak sekadar spiritual, tetapi menjadikan mereka sebagai duta bangsa. Perilaku jemaah akan membawa nama baik bangsa di Tanah Kudus.

Berdasarkan pengalaman penulis dalam meliput ibadah haji pada 2018, jemaah haji Indonesia terkenal dengan ketertiban, keramahan, dan tidak segan menolong jemaah haji negara lain yang kesusahan.

Pada tahun ini, kuota haji Indonesia merupakan kuota yang terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraan ibadah haji dengan jumlah 241 ribu jemaah. Jumlah duyufurahman (tamu Allah) dari Indonesia ialah terbesar di dunia disusul Pakistan, India, Bangladesh, dan Iran.

Selain jemaah haji, Indonesia menjadi salah satu negara pengirim jemaah umrah terbanyak, yakni 1.368.616 jemaah umrah pada 2023. Tetapi, di tengah gelombang ratusan ribu jemaah haji dan umrah Indonesia, kebiasaan jemaah dalam melakukan selfie atau swafoto di Tanah Kudus menjadi sorotan.

Cek Artikel:  Momentum Listyo Sigit

Tak sedikit di antara mereka mengambil momen dengan berpura-pura berdoa atau bergaya bak model lengkap dengan kacamata hitam di depan Kabah.

Kebiasaan swafoto jemaah haji Indonesia di Tanah Kudus pernah dikeluhkan imam besar dan ulama asal Madinah, Syekh Prof Dr Sulaiman Ar-Ruhaili, pada 2021. Pernyataan ulama besar itu sering kali muncul saban musim haji hingga saat ini.

Memang tak ada larangan swafoto di dua masjid suci, termasuk di depan Kabah, dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sehingga para askar yang menjaga ketertiban masjid hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan jemaah dalam berfoto ria.

Ketua Presidensi Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Syekh Abdul Rahman Al-Sudais pada Ramadan lalu mengimbau para jemaah agar fokus beribadah dan mengurangi swafoto. Tujuannya mereka memuliakan Tanah Kudus.

Swafoto memang hukumnya mubah. Tetapi, keranjingan swafoto di Tanah Kudus yang kemudian diunggah di Whatsapp story dan media sosial sebenarnya ngeri-ngeri sedap karena jemaah bisa tergelincir pada ria (pamer ingin mendapat pujian), perbuatan tercela yang dilarang Allah SWT.

Cek Artikel:  Welcome Kamala Harris

Dengan berlaku ria, pahala ibadah haji yang berlipat ganda bisa tergerus. Beribadah di Masjidil Haram pahalanya 100 ribu kali kelipatan. Di Masjid Nabawi Madinah pahalanya 1.000 kali kelipatan.

Haji ialah ibadah istimewa. Menunaikan ibadah haji menunjukkan paripurnanya seorang muslim karena haji ialah rukun Islam terakhir setelah syahadat, salat, zakat, dan puasa. Hanya saja, ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang mampu (istitha’ah).

Ibadah haji berbeda dengan ibadah wajib lainnya karena haji menyatukan ibadah badaniah (fisik), rohaniah (roh/jiwa), dan maliyah (harta). Keistimewaan lain ibadah haji ialah panggilan ibadah haji berada di atas panggilan jihad. Sang Khalik mengganjar orang yang beribadah haji dengan surga, dengan catatan menjadi haji mabrur.

Dalam Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti mabrur adalah ibadah haji yang sempurna syarat dan rukunnya sehingga ibadahnya diterima Allah SWT.

Cek Artikel:  Gibran Tempel Stiker Ganjar

Tetapi, kewajiban beragama tidak selesai dengan prosedural. Jauh lebih penting lagi pengamalan pada nilai-nilai keagamaan. Kebiasaan ria yang juga disebut syirik asghar (kecil) dalam ibadah menunjukkan nihilnya keikhlasan karena mengharapkan pujian manusia.

Padahal, hidup dan mati manusia hanya karena Sang Khalik, inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sikap ria sangat berbahaya. Kebaikan yang diberikan kepada orang banyak sekadar pencitraan untuk mendongkrak elektabilitas politik.

Indonesia berlimpah hujjaj (para haji). Sejatinya mereka sudah menjalani kawah candradimuka dengan prosesi rukun haji yang panjang nan melelahkan dengan puncak haji di Arafah. Sayangnya, banyaknya haji belum menjadi modal sosial untuk membangun khairu ummah (umat yang baik) dan bangsa yang baik.

Haji, kata almarhum Cak Nur, sapaan cendekiawan Nurcholish Madjid, berdimensi vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Al hajju ‘arafah (haji adalah Arafah) memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal. “Puncak dari keagamaan adalah perikemanusiaan,” katanya (Madjid 2002a:135-136). Tabik!

Mungkin Anda Menyukai