ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di ‘Nusa Garam’ itu. Bahkan, penyair asal Sumenep, Madura, Zawawi Imran, dibuat melongo karena menemukan pantun itu ‘hidup’ justru di Jember, bukan di Madura. Orang Madura sekalipun tidak tahu pantun itu.
Bunyi pantun itu begini: ‘Namen magik tombu sokon. Tabing kerrep benyak kalana. Mompong gik odik koddhu parokon. Ma’ olle salamet tengka salana’.
Apabila diterjemahkan secara bebas, arti dari pantun tersebut ialah ‘Menanam biji asam tumbuh sukun. Gedek rapat banyak kalajengkingnya. Selagi hidup harus rukun. Agar selamat tingkah lakunya’.
Terang bahwa maksud dari larik-larik pantun Madura itu ialah tidak ada rumus pertengkaran dalam kearifan Indonesia. Eksis banyak kearifan lokal, apakah itu sastra, upacara, tradisi, atau simbol-simbol yang selalu mempertautkan antara perjalanan kehidupan dan kerukunan. Bila muncul amuk, berarti ada yang salah dari ‘sel-sel kehidupan’ dalam tubuh mereka.
Pertengkaran, bahkan amuk, umumnya muncul karena perlakuan ketidakadilan atau provokasi politik. Itu pun setelah berkali-kali dihindari. Eksis rumus ngalah, ngalih, baru ngamuk dalam kearifan Jawa.
Kebanyakan orang Jawa akan mengalah saat pertama diganggu atau diprovokasi. Bila tetap diganggu, ia akan ngalih atau pindah. Tetapi, bila sudah pindah, kok terus-terusan diganggu, baru ia akan mengamuk sebab itu sudah bukan lagi pergaulan kehidupan, melainkan serangan dan menginjak-injak kehormatan atau merampas keadilan.
Karena itu, kerukunan dan keadilan ialah satu tarikan napas. Memperjuangkan keadilan dengan cara menjadi anti terhadap golongan tertentu itu tidak dibenarkan dalam rumus kearifan Indonesia. Persatuan dan keadilan tidak bisa saling meniadakan. Demi persatuan, kita tidak boleh merusak keadilan dan demi keadilan, kita tidak boleh mengorbankan persatuan.
Berbagai amuk massa kerap muncul bila ada ketidakadilan hidup. Kekerasan kerap dipicu perlakuan tidak adil dalam akses ekonomi, yang mengarah ke kesenjangan. Kasus kerusuhan di Malaysia yang terjadi pada 1960, contohnya. Salah satu penyebab terjadinya kerusuhan itu ialah faktor kesenjangan.
Karena itu, sebagai salah satu usaha untuk mempersempit kesenjangan tersebut pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan new economic policy (kebijakan ekonomi baru), yaitu memberikan affirmative action (perlakuan khusus) kepada golongan Melayu dengan harapan integrasi persatuan Malaysia jauh lebih baik. Jadi didasarkan atas pembelahan ras, golongan Melayu, bumi putra diberi perlakuan khusus ketimbang golongan Tionghoa.
Setelah puluhan tahun pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan ekonomi baru itu, barulah kesenjangan sosial di Malaysia menciut. Tetapi, harapan Melayu dan Tionghoa di Malaysia untuk menjadi lebih rukun dan akrab tetap susah, bahkan semakin hari semakin jauh karena pembelahan perlakuan khusus atas dasar pembedaan ras.
Dari kasus itu kita belajar bahwa kita boleh memperjuangkan dengan cara memberikan perlakuan khusus, tapi jangan dilakukan di atas pembelahan agama atau etnis. Mestinya, siapa pun yang miskin, siapa pun yang terbelakang, apa pun agamanya, apa pun rasnya, harus diberi perlakuan khusus oleh negara.
Unsur negara mesti hadir untuk membentuk kerukunan permanen, bukan kerukunan semu. Modal sosial kearifan Indonesia, yakni kerukunan, akan ‘habis’ bila tidak dirawat, alih-alih digerus. Pertengkaran mesti dicegah sejak di hulu. Embrio ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, intoleransi, mestinya tidak diberi ruang.
Saya gembira bahwa hasil survei Badan Litbang dan Diklat Kemenag pada 2023 menunjukkan indeks kerukunan umat meningkat mencapai 76,02 poin. Sementara itu, pada 2022, indeks tersebut berada pada angka 73,09 poin. Pemerintah menargetkan indeks kerukunan umat beragama bisa mencapai angka 78 pada lima tahun mendatang.
Tetapi, saya mesti akui bahwa embrio pertengkaran tidak serta-merta mati karena ada faktor lain yang belum mencapai target, bahkan tidak kunjung diselesaikan secara menyeluruh. Itulah kesenjangan ekonomi. Kesenjangan yang cenderung muncul (terlihat dari berhenti bahkan naiknya rasio Gini) jelas kabar menyedihkan bagi beragam upaya merawat modal sosial kerukunan.
Bila kesenjangan ekonomi tidak kunjung diperbaiki secara signifikan, saya khawatir kearifan kerukunan sebagaimana tersimbolkan dalam pantun, syair, tari, upacara, dan seterusnya tinggal sejarah. Bila tenunan kerukunan terkoyak, butuh waktu lama bagi kita untuk menyulamnya kembali satu per satu. Padahal, kita ingin ma’ olle salamet tengka salana, ingin selamat tingkah polah kita.