Luka Demokrasi Mengawali Pesta

GALIBNYA sebuah pesta diawali dengan kegembiraan. Segala gembira menyambutnya. Terlebih pesta itu sudah lama ditungutunggu. Tetapi, berbeda dengan pesta demokrasi yang bernama Pemilihan Presiden 2024, jauh sebelumnya sudah diwarnai berbagai syak wasangka yang berpangkal dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan cawe-cawe menyiapkan penerusnya sebagai presiden RI periode 2024-2029.

Belakangan Jokowi meralatnya. Dia berjanji tidak akan cawe-cawe dan menyerahkannya kepada partai politik. Tak hanya itu, Jokowi juga mempersilakan kepada rakyat untuk memilih secara bebas pasangan calon presiden/calon wakil presiden yang dikehendakinya.

Meski mantan Gubernur DKI itu berjanji tidak akan cawe-cawe dalam pilpres, rakyat tidak begitu saja percaya. Sinyal-sinyal dalam berbagai kesempatannya semakin kuat mengarahkan dukungan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menjadi capres. Rupanya benar, diam-diam Jokowi menyiapkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  Kasus Firli Ujian Polri

Padahal, pada 4 Mei lalu, Jokowi secara tegas menyatakan anaknya belum pantas menjadi cawapres karena pertama, umurnya belum mencukupi baru 35 tahun dan kedua baru dua tahun menjabat Wali Kota Solo. “Yang logis saja,” tandas Jokowi. 

Ibarat pepatah Jawa, esuk dele sore tempe (pagi kedelai, sore tempe), sikap Jokowi pada 22 Oktober lalu berubah total. Dia menyatakan tidak akan ikut campur urusan anaknya karena anak sudah dewasa. “Tugas orangtua hanya mendoakan dan merestui,” ujarnya. Lidang memang tidak bertulang.

Puncaknya, putusan kontroversial Mahkamah Kontitusi yang diketuai Anwar Usman memberikan karpet merah kepada keponakan tersayangnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang pada kontestasi pilpres. Lembaga yang disebut sebagai ‘penjaga konstitusi’ ini memberikan norma baru berpengalaman sebagai kepala daerah meski batas usia tetap tak berubah, 40 tahun. Tak pelak MK pun berubah sebutannya sebagai Mahkamah Keluarga.

Cek Artikel:  Setop Legislasi Transaksional

Putusan MK itu ternyata prosesnya benar-benar bermasalah ketika Mahkamah Kehormatan MK menyatakan Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat kode etik hakim MK yang tak sesuai dengan Bilangan Karsa Hutama, yakni ketidakberpihakan, integritas, kecakapan, kesetaraan, indepedensi, kepantasan, dan kesopanan.

Tak jauh beda dengan sang paman, bak anjing menggonggong kafilah berlalu, Gibran juga maju terus dalam pencalonan. Sang paman pun emoh hengkang dari MK. Putusan MK memang bersifat fi nal dan mengikat, tetapi proses pengambilan putusannya cacat moral dan etika.

Alhasil, budaya malu di negeri ini memang jauh panggang dari api. Tak heran apabila prosedural demokrasi masih menjadi patokan utama ketimbang substansi dan etika berdemokrasi. Jangan kaget bila faktanya sejumlah partai politik tidak melahirkan negarawan, tetapi pencoleng uang negara.

Cek Artikel:  Gugatan ke MK Mesti Diapresiasi

Setelah capres/cawapres mendaftar ke Komisi Pemilihan Standar, pada Senin (13/11), KPU akan menetapkan pasangan capres/cawapres. Pesta terus berlanjut di atas luka demokrasi dan hukum. Jangan biarkan luka semakin menganga dan bernanah karena pemilu yang tidak jurdil oleh elite-elite yang sedang menikmati candu kekuasaan.

Mungkin Anda Menyukai