Local Pride

Eksis kado indah bagi pencinta sepak bola Tanah Air, pekan ini. Komisi X DPR akhirnya merestui naturalisasi dua pemain keturunan Indonesia, yakni Jordi Amat dan Sandy Walsh. Satu pemain Tengah, Shayne Pattynama, masuk daftar tunggu.

Jordi, campuran Indonesia-Spanyol, kini merumput di klub Johor Darul Takzim Malaysia setelah lebih dari satu Sepuluh tahun bermain Demi klub-klub besar Eropa. Sandy, keturunan Indonesia-Belanda, Lagi setia dengan klub KV Mechelen, tim elite Aliansi Penting Belgia. Keduanya tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi dan mengucapkan sumpah, Lewat Absah menjadi WNI.

Naturalisasi keduanya cukup berliku. Bahkan, muncul pro dan kontra. Bulan Lewat, pihak yang kontra bahkan mendengungkan slogan local pride. Mereka mengamplifikasi celetukan asisten Instruktur timnas U-16 Markus Haris Maulana sesaat setelah timnya menjuarai AFF U-16 setelah mengalahkan Vietnam di final.

Pernyataan Markus seperti diamini Fakhri Husaini, mantan Instruktur timnas U-16 yang menjuarai turnamen serupa pada 2018. Banyak yang menghubungkan pernyataan keduanya dengan sindiran kepada timnas senior dan U-20 yang dibesut Shin Tae-yong, Instruktur asing asal Korea Selatan, yang mengusulkan naturalisasi Jordi, Sandy, Shayne. Kebetulan, STY (sapaan akrab Shin) gagal menjuarai AFF Cup tim senior dan U-19 yang ia latih.

Cek Artikel:  Pejabat Narsistik

Mereka yang pronaturalisasi langsung menyerbu media sosial Markus dan Fakhri. Kedua mantan pemain nasional itu dianggap terlalu picik. ‘Apa salahnya naturalisasi? Bukankah dalam tubuh nama-nama yang diusulkan STY itu mengalir darah Indonesia? Naif sekali Anda’. Begitu rata-rata tanggapan mereka.

Bahkan, banyak yang marah dengan memelesetkan ucapan local pride (kebanggaan lokal) dengan ‘lokal prettt’. Mereka percaya STY karena punggawa timnas Korsel di Piala Dunia 2002 itu berhasil membawa timnas Indonesia ke Piala Asia setelah lebih dari satu Separuh Sepuluh tahun absen.

Selain itu, STY tegas menyatakan bahwa ia hanya mau pemain naturalisasi keturunan Indonesia. Kalimat ‘mengalir darah Indonesia dalam tubuh pemain’ itulah kata kuncinya. Bagi mereka, siapa pun keturunan Indonesia punya hak menjadi WNI dan ikut berikhtiar membawa nama harum bangsa.

Soal naturalisasi itu Lewat mengingatkan saya pada pemilahan ekstrem tentang ‘pribumi’ dan ‘nonpribumi’. Hingga kini, pemerian berdasarkan identitas itu Lagi hidup dan dihidupkan. Lagi Eksis sebagian masyarakat yang melanggengkan identitas yang amat membingungkan itu.

Cek Artikel:  Paus Fransiskus Sumur Inspirasi

Tengah pekan Lewat, dalam Percakapan di Perhimpunan Denpasar 12, seorang peneliti budaya Tionghoa-Indonesia Udaya Halim kembali menekankan agar penggunaan kata pribumi dan nonpribumi dihapus dalam pergaulan sosial bangsa Asal Mula kata tersebut Membikin garis demarkasi dan diskriminasi di masyarakat kian meruncing.

Saya sepenuhnya sepakat dengan Pak Udaya. Terlebih Tengah, cap pri dan nonpri Tak Terang merujuk ke siapa dan Demi apa. Ia sepenuhnya diskriminatif dan amat Tak adil. Bahkan, kepada orang yang lahirnya pun di Indonesia, asal etnik Tionghoa, Arab, atau India, tetap disebut nonpri.

Kebencian terhadap asing pun melahirkan slogan ‘anti Cina’, ‘gue pribumi’, ‘anti asing’ dan slogan semacamnya. Bahkan hal itu menjadi bahan ‘gorengan’ politisi medioker yang tengah Bertanding dalam kontestasi pemilihan Lumrah. Istilah pribumi dan nonpribumi pada dasarnya digunakan Demi mengidentifikasi etnik yang merupakan penduduk Asli (inlander) dengan etnik pendatang, seperti orang Tionghoa, Arab, atau India di Nusantara.

Kata pribumi yang digunakan Demi menyebut penduduk lokal, belakangan malah menjadi suatu istilah politik yang digunakan secara negatif Demi mengukuhkan superioritas satu etnik terhadap etnik lainnya yang dianggap lebih rendah.

Cek Artikel:  Apa yang Kau Cari, Febri

Memang Betul bahwa munculnya rasa kebencian terhadap orang asing dan Predikat nonpribumi karena kolonialisme bangsa Eropa. Pemerintah kolonial Belanda dahulu juga menerapkan hierarki ras atau etnik. Ras Eropa merupakan ras kelas satu; etnik Tionghoa, Arab, dan India menduduki posisi kedua; dan ketiga ialah orang-orang inlander atau penduduk lokal.

Diskriminasi terhadap penduduk lokal itulah yang kemudian membakar rasa kebencian terhadap orang-orang asing. Dengan dasar kesejarahan itu, banyak orang menggeneralisasi bahwa yang serbaasing itu Tak baik dan berpikir akan lebih Bagus Kalau politik ataupun ekonomi dikuasai ‘golongan pribumi’. Itu kemudian dibungkus dengan Ungkapan local pride yang salah kaprah.

Mestinya kita musnahkan saja Ungkapan-Ungkapan kolonial yang memelihara diskriminasi dan ketidakadilan seperti itu. Ingat, pada 1920, koran mingguan Tionghoa bernama Sin Po sudah mengenalkan dan selalu memakai nama Indonesia ketimbang Hindia Belanda. Di 1925, koran itu juga menjadi media pertama yang memuat teks Musik Indonesia Raya karya WR Soepratman. Kurang local pride apa Tengah?

Mungkin Anda Menyukai