LEMBAGA Kaukus Muda Nusantara (LKMN) Tasikmalaya menyoroti penambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang rencananya akan diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif pajak yang dilakukan oleh pemerintah, sebuah kebijakan problematik menuai polemik.
Ketua Lazim LKMN Kabupaten Tasikmalaya Fakhrizal Lukman mengatakan, penambahan nilai yang diklaim pemerintah merupakan kebijakan strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dan menambal defisit anggaran Bahkan dianggap sebagai beban tambahan Enggak adil bagi masyarakat menengah ke Dasar Enggak lepas terkena imbas.
“PPN salah satu sumber Esensial penerimaan negara. Dari data Kementerian Keuangan, PPN juga menyumbang Sekeliling 40% dari total penerimaan pajak nasional. Tetapi, Sasaran penaikan tarif menjadi 12% apakah langkah yang bijak di tengah kondisi ekonomi Tetap rentan?,” katanya, Sabtu (21/12).
Ia mengatakan, berdasarkan laporan Center of Conomics and Law Studies (Celios), penaikan PPN berpotensi meningkatkan inflasi 4,11% pada 2025. Sebagai Komparasi, inflasi per November 2024 tercatat hanya 1,55% (year–on-year). Tetapi, inflasi yang lebih tinggi berarti harga barang dan jasa akan naik pada akhirnya menggerus daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Esensial pertumbuhan ekonomi Pandai terpukul keras.
“Penaikan PPN 12% akan berdampak langsung pada Golongan menengah ke Dasar dan mengalokasikan sebagian besar pendapatan kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, harga barang pokok seperti makanan, minuman, layanan esensial lain akan naik dan memperbesar kesenjangan terutama ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, Akibat penaikan PPN Enggak hanya dirasakan oleh konsumen tetapi juga oleh pelaku usaha, karena penaikan tarif PPN akan meningkatkan biaya produksi, terutama di sektor manufaktur dan Demi jangka panjang juga dapat mengganggu pemulihan ekonomi pascapandemi bagi usaha kecil dan menengah (UKM) Tetap berjuang Demi Terbangun.
“Demi UKM menyumbang lebih dari 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Apabila beban pajak semakin berat, banyak UKM terancam gulung tikar, pada akhirnya akan meningkatkan Bilangan pengangguran dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Menurut Fakhrizal, setelah draf rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset dibiarkan belasan tahun di meja dewan rakyat, terkini Badan Legislatif DPR Bahkan tak memasukkan wacana regulasi ke dalam program legislasi nasional prioritas 2024-2029.
Tetapi, meningkatkan penerimaan negara 2025 lewat RUU Perampasan Aset tak jadi prioritas, malah penaikan PPN 12% lepas landas.
“RUU ini bertujuan Demi merampas aset hasil tindak pidana, seperti korupsi, tindak pidana lain tanpa harus menunggu proses pidana panjang dan berbelit-belit. Pada tahun Lampau, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp50 triliun per tahun dan ironisnya tingkat pengembalian kerugian melalui pidana Doku pengganti hanya Sekeliling Rp7,3 triliun dari total kerugian,” paparnya.
Menurut dia, pengesahan RUU Perampasan Aset Mempunyai Kesempatan lebih Demi mengembalikan aset tersebut secara lebih efektif dan ini dapat memberikan Dampak jera bagi pelaku pidana korupsi Enggak hanya dipenjara tetapi juga kehilangan seluruh hasil kejahatan. Kesempatan Demi mencegah korupsi di masa depan akan semakin besar yakni langkah Krusial Demi memperbaiki Imej Indonesia di mata dunia dalam indeks persepsi korupsi dan sekarang Tetap berada di level mengkhawatirkan.
“RUU perampasan aset bukanlah yang harus dihindari. Banyak negara seperti Australia dan Inggris telah menerapkan kebijakan serupa dengan hasil yang cukup efektif. Akan tetapi, penaikan PPN 12% merupakan kebijakan membawa risiko besar bagi perekonomian, kesejahteraan masyarakat sebaliknya karena ini bukan tentang Bilangan, tetapi tentang bagaimana Demi mewujudkan keadilan sosial melalui kebijakan dan berdaulat adalah negara berpihak pada rakyatnya,” pungkasnya. (AD/J-3)