
JAGAT media sosial (medsos) kembali dibuat gaduh lantaran viral postingan nitizen ihwal informasi Masakan Ayam Goreng Widuran (AGW) Solo mengandung bahan nonhalal. Padahal AGW berjualan sejak 1973. Perkara bermula seusai pelanggan mempertanyakan kehalalan masakan di rumah makan AGW tersebut.
Sejumlah pelanggan mengomplain AGW melalui fitur Google Reviews dan mengaku merasa tertipu karena mengira Segala menu yang disajikan halal. Narasi komplain itu ramai-ramai diposting netizen di medsos. Walhasil, viral, Lewat pihak manajemen AGW mengakui penggunaan bahan nonhalal dan menyampaikan permohonan Ampun kepada masyarakat (Media Indonesia, 25/5/2025).
Dalam rentang satu dasawarsa, Tak sedikit jumlahnya kasus yang mengindikasikan Tetap lemahnya perlindungan konsumen, terutama pada produk makanan-minuman dan farmasi. Sebut saja misalnya kasus meninggalnya pasien RS Siloam karena diinjeksi anastesi buvanest spiral yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma.
KONSUMEN CERDAS
Kemudian kasus meninggalnya Allya Siska Nadya yang diduga akibat malapraktik (medical error) yang melibatkan Klinik Chiropracyic First. Lewat, perkara pemberian obat kedaluwarsa kepada pasien yang melibatkan sebuah puskesmas.
Tiga tahun yang Lewat, ramai diwartakan ihwal kasus obat sirup parasetamol yang diduga menyebabkan gagal ginjal anak. Dugaan ini bermula ketika Eksis kasus serupa di Gambia. Di negara itu, puluhan anak meninggal dunia karena gagal ginjal seusai mengonsumsi obat parasetamol sirup buatan Maiden Pharmaceutical Ltd, India.
Selain itu, pada produk makanan, terdapat kasus daging bekas (sampah hotel) didaur ulang oleh warung-warung kecil; kasus bakso berbahan daging tikus; kasus beredarnya daging ayam tiren dan daging sapi bercampur daging celeng di pasaran; kasus beredarnya beras plastik.
Selanjutnya kasus beredarnya permen mengandung zat adiktif serta Tetap banyak Tengah kasus yang berimuara pada kerugian konsumen muslim. Seperti diketahui, kaum muslimin diperintahkan Demi mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib [QS Al-Baqarah (2): 168]
Sejumlah perkara tersebut menandakan bahwa bisnis belum berdasarkan prinsip keadilan. Terdapat unsur kezaliman Bagus disengaja maupun disebabkan oleh kelalaian (human error) sehingga berujung kerugian fatal bagi konsumen. Padahal Islam melarang perbuatan/transaksi apa pun yang mengandung unsur kezaliman dan kebatilan [QS Al-Baqarah (2): 279].
Relaksasi kebijakan impor pemerintah berimplikasi pada ketersediaan barang dan jasa yang semakin melimpah dan bervariasi di pasaran karena semakin mudahnya arus keluar-masuk barang itu, nyaris tanpa barier to entry. Pada barang tertentu, satu jenis barang boleh jadi mencapai puluhan bahkan ratusan varian barang, juga diproduksi oleh banyak perusahaan/pabrik, Bagus yang berasal dari dalam negeri (barang lokal) maupun mancanegara (barang impor).
Banyaknya pilihan barang dan jasa yang tersedia itu menuntut konsumen Demi bertindak cerdas. Konsumen secara Berdikari dituntut Demi Dapat memilih/mengonsumsi barang-barang yang Benar-Benar dibutuhkan, bermanfaat, berkepastian mutu dan kuantitas, serta Kondusif dikonsumi/digunakan. Hal itulah yang menjadi pertimbangan disahkannya UU tentang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan sejak 20 April 2000.
Dengan spirit UU Perlindungan Konsumen itu tampaknya Tak serta-merta konsumen mendapat perlindungan dari pemerintah seratus persen, tetapi konsumen dituntut Demi berupaya melindungi diri dari ancaman kerugian yang mungkin terjadi. Fungsi dan peran pemerintah mencakup penyadaran dan pemberdayaan konsumen.
Bagi konsumen muslim, dalam konteks kepatuhan kepada syariat, pengertian konsumen cerdas Tak sebatas memilih barang-barang yang dibutuhkan, bermanfaat, berkepastian mutu dan kuantitas, serta Kondusif dikonsumi/digunakan saja. Barang/jasa itu juga harus dipastikan halal, sehat, dan thoyyib Bagus konten maupun prosesnya.
Adapun yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam, serta proses produksinya juga harus halal, meliputi penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk (Pasal 1 UU No 33/2015). Dengan demikian, konsumen muslim dituntut Demi memilih produk/jasa yang Mempunyai label halal.
Pemerintah boleh saja menuntut konsumen Demi bertindak cerdas dalam memilih barang/jasa. Tetapi, tuntutan itu Tak akan membuahkan hasil manakala produsen Tak dituntut Demi berintegritas. Maknanya di pasar harus tercipta keseimbangan perilaku/sikap antara konsumen dan produsen, karena perlindungan konsumen itu berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum (Pasal 2 UU No 8/1999).
Produsen/pelaku usaha juga harus menunaikan kewajiban secara konsisten, antara lain, beritikad Bagus dalam melakukan kegiatan usaha; memberikan informasi yang Benar, Jernih, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara Benar dan jujur; serta Tak diskriminatif dan menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku (Pasal 7 UU No 8/1999).
Percepatan SERTIFIKASI HALAL
Becermin dari situ, dalam kerangka melindungi konsumen muslim, diperlukan Percepatan sertitifikasi halal. Terutama bagi produk makanan-minuman yang mayoritas diproduksi kalangan UMKM. Selain itu, program Percepatan sertifikasi halal sangat krusial, mengingat hambatan terbesar UMKM sebagai mata rantai industri halal terletak pada Tetap berjibunnya produk UMKM yang belum besertifikat halal.
Demi mendukung Percepatan sertifikasi halal dibutuhkan sumber daya Orang (SDM) yang Mempunyai kompetensi di bidang kehalalan produk. Karena itu, Demi penguatan SDM di bidang tersebut diperlukan pelatihan secara intensif dan terstruktur. Adapun kompetensi yang dibutuhkan antara lain juru sembelih halal, analis produk halal, auditor halal, penyelia halal, pendamping PPH, pengawas jaminan produk halal, dan pemandu wisata halal.

