Leiden is Genieten

AKHIR-AKHIR ini kian banyak saja orang-orang yang mencemaskan nasib demokrasi di Tanah Air. Lebih-lebih di kalangan aktivis civil society, demokrasi kita dinilai berada dalam kondisi gawat hingga gawat darurat, alias gawat banget.

Di kalangan aktivis gerakan masyarakat sipil ini, nasib demokrasi digambarkan dengan bahasa menyeramkan. Mulai dari frasa yang agak ringan seperti ‘demokrasi dirusak’, ‘demokrasi dipukul mundur’, ‘demokrasi terancam roboh’, hingga kalimat yang sadis seperti ‘demokrasi di ujung kematian’ atau ‘demokrasi mati suri’.

Sikap skeptis muncul bersamaan dengan kian sulitnya menemukan negarawan di Republik ini. Sudah dalam satu dekade bahkan berbagai analis politik dan pemikir kebangsaan menyebut: negeri ini surplus politisi, tapi defisit negarawan.

Situasinya semakin kentara ketika pemimpin yang dulunya dikira benar-benar siap menjadi negarawan, ternyata di ujung kekuasaannya tenggelam dalam politik praktis yang menggenggam erat-erat kekuasaannya. Bahkan, terkesan sangat takut melepaskan kekuasaannya sehingga mesti ‘menunjuk’ siapa yang akan melestarikan kekuasaannya itu.

Di kondisi seperti itulah, skeptisisme akan masa depan indah demokrasi justru kian mekar. Ketidakpercayaan membuncah, berkelindan dengan rasa setengah frustrasi melihat, menyelami, dan menjalani keadaan. Jangankan bicara etika yang posisinya luhur nan mulia, bicara menjalankan aturan main sesuai bunyi teksnya saja, publik sudah amat sulit mendapatkan contohnya di kalangan pemimpin.

Cek Artikel:  Ma Olle Salamet Tengka Salana

Harus diakui hari ini kita tengah mengalami masa-masa defisit negarawan dan surplus politikus yang amat parah itu. Rakyat inginnya negeri ini surplus negarawan dan surplus politisi. Keduanya tentu saja berbeda. Yang pertama berpikir jangka panjang, visioner, dan lebih mendahulukan kepentingan negara, sedangkan politikus justru kebalikannya.

Mengapa rakyat amat mendamba itu? Karena di tangan negarawan, politik menjadi siasat untuk membangun jalan keadaban dan menelurkan sekian kebijakan yang berpihak kepada khalayak. Sebaliknya bagi sebagian politikus, politik sekadar bertujuan untuk menggapai kekuasaan, tangga memburu takhta dalam rangka meraih sesuatu yang bersifat kebendaan dengan menjadikan kepentingan kelompok, termasuk keluarga, sebagai kiblatnya.

Negeri ini amat kesulitan menemukan pemimpin yang asketis, yakni yang punya paham dan sikap mental yang mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Kalau diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, asketisme berarti cerminan dari seorang negarawan yang sederhana, jujur, dan rela berkorban bagi bangsa dan negaranya.

Cek Artikel:  Antara Miskin dan Gembira

Dewasa ini, pemimpin dan pejabat publik kita seolah kehilangan arah dan tujuan dalam menakhodai bangsa. Bukan sikap dan nilai asketisme yang menjadi pegangan, melainkan sikap egosentrisme yang kerap kali dipertontonkan. Jauh dari apa yang kerap ditabalkan kepada ‘The Grand Old‘ Haji Agus Salim, yakni leiden is lijden, ‘memimpin itu menderita’. Yang ada sekarang: ‘leiden is genieten‘, memimpin itu menikmati.

Dulu kita punya para pemimpin yang menderita, rela berkorban, pula sederhana. Eksis Bung Hatta yang, meski wakil presiden, tidak sanggup membeli sepatu impian bermerek Bally. Eksis M Natsir, perdana menteri dan pemimpin Partai Masyumi, yang rela mengenakan jas tambalan di forum-forum internasional karena tidak memiliki kemewahan untuk membeli jas baru.

Di era kekinian, hal serupa masih bisa ditemui di negeri tetangga. Perdana Menteri Thailand Chuan Lekpai pada periode pertama jabatannya, 23 September 1992 hingga 13 Juli 1995, oleh media-media massa dikisahkan sebagai politikus yang asketis. Pada periode kedua jabatannya sepanjang 9 November 1997 hingga 9 Februari 2001, Lekpai yang tinggal sendiri bahkan dilukiskan oleh majalah Time sebagai politikus yang menyetik alias memasang sendiri kancing jasnya yang copot.

Cek Artikel:  Pemimpin yang Memuliakan Rakyat

Gambaran kesederhanaan itu membersitkan pesan kepada publik bahwa sang pemimpin ialah sosok yang bukan saja mencintai rakyat kebanyakan, tapi juga menghayati dan menjalankan kehidupan yang bersahaja. Mereka autentik. Mereka bicara lantang soal etika, sekaligus amat ketat dalam menjalankannya.

Sekarang, kebalikannya. Menolak menggunakan etika sembari terang-terangan mengutak-atik aturan. Eksis yang bilang, abuse of power sudah dipraktikkan secara telanjang. Politik pembelahan terjadi lagi, tapi isunya menjadi ‘yang bersama kekuasaan’ melawan ‘yang tidak lagi bersama kekuasaan’.

‘Yang bersama kekuasaan’ bisa menikmati fasilitas, peduli setan dengan netralitas, dan tidak lagi menghargai demokrasi. Eksispun ‘yang tidak lagi dalam barisan kekuasaan’ mesti bersiap dengan risiko dianaktirikan, dipotong akses-aksesnya, direcoki dengan masalah remeh-temeh yang bisa berujung ke masalah hukum.

Kekuasaan yang sudah di ujung senja memang kerap membingungkan, bahkan misterius. Bukan ada lagi leiden is lijden. Karena sudah mereguk manisnya kekuasaan, kredonya pun berubah menjadi ‘leiden is genieten‘.

Mungkin Anda Menyukai