SEJUMLAH pihak mengungkapkan keprihatinannya terhadap rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terkait pengendalian tembakau yang dinilai Bukan memperhatikan keberlangsungan perekonomian dan tenaga kerja. Aturan yang digagas oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini dianggap Bukan bijaksana Apabila nekat diterbitkan di tengah berbagai kritik dan pertentangan yang meluas Begitu ini.
Personil Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Nurhadi, menyoroti sikap jajaran Kemenkes yang tampak bersikukuh Demi meloloskan aturan restriktif terhadap sektor tembakau melalui Rancangan Permenkes yang menurutnya mengabaikan Akibat ekonomi bagi masyarakat dan negara.
“Kalau Kemenkes Lagi bersikukuh (Demi menerbitkan Rancangan Permenkes) dengan satu tujuan Yakni Demi kesehatan, tapi Bukan mempertimbangkan Akibat ekonominya, maka ini tentu bukan keputusan yang bijaksana,” ungkapnya dalam Obrolan bertajuk “Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau” yang digelar oleh Koordinat Wartawan Parlemen (KWP) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta beberapa waktu Lewat.
Padahal, Nurhadi mengatakan, sebelumnya Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa Rancangan Permenkes ini diputuskan Demi ditunda. Tetapi, kegaduhan Lagi Lalu terjadi, bahkan semakin menjadi polemik. “Apakah jajaran Kemenkes ini Bukan satu komando dengan pimpinannya? Ini harus diklarifikasi oleh jajaran di Dasar Menteri Kesehatan,” serunya.
Nurhadi juga menekankan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan ekonomi, terutama dengan adanya kemungkinan kehilangan pendapatan negara dari pajak dan cukai. Hal ini menurutnya Dapat mengganggu Sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8%.
“Kami di Komisi IX DPR RI akan mengawal Rancangan Permenkes ini. Jangan Tiba kebijakan ini diterbitkan tanpa memperhitungkan Akibat bagi masyarakat luas,” tegas Nurhadi.
Kritik serupa turut disampaikan oleh Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso, Mohammad Yasid. Ia menegaskan bahwa petani tembakau di daerahnya sangat bergantung pada industri tembakau. Kebijakan ketat inisiatif Kemenkes ini dinilai akan mengancam nasib 5.000 petani tembakau di Bondowoso.
“Dari 23 Kecamatan terdapat Bukan kurang 10.000 hektare tanaman tembakau dengan 5.000 petani. Artinya kita petani sangat bergantung pada sektor tembakau dan saya Pasti ini potret yang sama di daerah lain,” paparnya.
Selain itu, Yasid menyampaikan bahwa Pendapatan dari tanaman tembakau sangat tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Dengan biaya produksi Sekeliling Rp35 juta per hektare, para petani Dapat menuai hasil sebanyak Rp90 juta per hektare dalam waktu 4 bulan.
Oleh Karena itu, ia meminta pemerintah Demi merevisi PP 28/2024 serta membatalkan Rancangan Permenkes, terutama terkait wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, mengingat Akibat signifikan terhadap penyerapan hasil tembakau dan keberlangsungan hidup para petani tembakau.
“Kegaduhan dari kebijakan-kebijakan Kemenkes ini menjadi sebuah hantaman, pukulan bagi petani. Begitu pandemi kami sanggup bertahan, tapi pemerintah Malah yang mengancam kami sekarang,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, turut menjelaskan bahwa industri tembakau merupakan sektor yang sangat berkaitan dengan ekonomi masyarakat pesantren. Menurutnya, banyak santri dan wali santri di Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari sektor tembakau, Berkualitas sebagai petani, buruh, maupun pekerja lainnya.
“Pesantren Mempunyai tanggung jawab dalam mengadvokasi stakeholders mereka yang terlibat di sektor pertembakauan. Kami sering berdiskusi dan memberikan masukan terkait kebijakan ini, terutama Begitu RUU Kesehatan dibahas,” ujar Sarmidi.
Sarmidi menyatakan bahwa kebijakan yang mengatur tembakau harus mempertimbangkan keberagaman pandangan, termasuk dalam aspek keagamaan. Menurutnya, fatwa mengenai rokok di Indonesia Bukan sepenuhnya sepakat Demi melarangnya. Fatwa MUI hanya melarang Demi anak-anak dan ibu hamil, sedangkan fatwa Muhammadiyah melarang secara total, dan Nahdlatul Ulama (NU) Bukan melarangnya.
Di samping itu, Sarmidi juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan yang ketat terhadap sektor tembakau hanya akan mendorong menjamurnya peredaran rokok ilegal. Lebih jauh, ia juga menyoroti aturan zonasi Embargo penjualan rokok dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang diperkirakan akan berdampak pada pedagang kecil.
“Bagaimana dengan pedagang kecil yang Bukan Bisa Bertanding dengan minimarket atau peritel besar? Zonasi yang Bukan Terang ini Dapat mempersulit mereka,” kata Sarmidi.
Atas dasar itu, Sarmidi menilai bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah sejatinya harus mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya, termasuk Akibat sosial-ekonomi yang sangat Konkret bagi ekosistem pertembakauan di Indonesia. “Akibat negatif dari kebijakan ini terhadap ekosistem pertembakauan sudah Terang. Negara harus melindungi rakyat kecil yang kehidupannya bergantung pada sektor ini,” tutupnya.