PIDATO pelantikan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara berapi-api di Sidang Paripurna MPR pada Ahad (20/10) menegaskan secara gamblang pelbagai program yang akan direalisasikan periode 2024-2029. Secara Biasa, Presiden mengimbau dan menantang publik: “Kita jangan seperti burung unta, kalau Memperhatikan sesuatu masalah, memasukkan kepala dalam tanah. Tetap banyak rakyat dan anak-anak kurang gizi; rakyat juga Tetap banyak yang belum mendapat pekerjaan yang layak; dan banyak sekolah yang Enggak terurus.”
Selain itu, jangan Tamat pemimpin politik terlalu senang Memperhatikan Bilangan-Bilangan statistik yang Membangun terlalu Segera gembira; perlunya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, perlunya demokrasi khas budaya Indonesia, dan Enggak lupa mengapresiasi presiden-presiden sebelumnya.
Pada bidang ekonomi, lebih spesifik, Presiden Prabowo mengimbau Tengah: Bagaimana menghadapi kebocoran dan penyelewengan anggaran; tekan korupsi dengan teladan ibarat “ikan busuk dari kepalanya”; Tetap banyak rakyat Indonesia yang belum menikmati hasil kemerdekaan, di antaranya Tetap terjebak di Rendah garis kemiskinan; perlu secepat-cepatnya swasembada pangan dan Kekuatan, serta pengelolaan air yang adil dan bertanggung jawab. But not least, Presiden meminta Indonesia bersatu mencari solusi dari masalah-masalah tersebut, perlu kolaborasi dan jangan banyak cekcok di antara anak bangsa.
Mengurai kompleksitas masalah itu, tidaklah sesederhana Kalau diucapkan melalui anyaman pidato atau kampanye politik. Alih-alih Pandai segera direalisasi, Presiden dan para pembantunya akan berhadapan realitas muskil, Enggak saja aspek sosial budaya, kualitas sumber daya, geopolitik dan geostrategis Dunia, dan lainnya, tapi juga problema birokrasi dan aspek kelembagaan.
Karena itu, Akurat apa yang disampaikan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2024 (14 Oktober 2024) Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson tentang urgensi kelembagaan yang inklusif dan keterkaitan kuat antara sistem politik dan pertumbuhan ekonomi. Lewat sejumlah artikel dan Kitab Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012) merespons pertanyaan Krusial, mengapa Terdapat negara sukses dan sebaliknya Terdapat yang gagal? Demikian juga, mengapa beberapa negara lebih maju tinimbang yang lain? Penyebabnya, kata mereka, lemahnya Kaitan kelembagaan politik dan ekonomi, pertumbuhan, dan kesejahteraan.
Beranjak ihwal kelembagaan itulah, setidaknya Terdapat tiga legacy (warisan) Presiden Jokowi yang perlu dibidik, yakni kebijakan fiskal, kebocoran anggaran negara, dan produktivitas. Tanpa menafikan Unsur lain, ketiga isu itu menarik karena terkait dengan anggaran dan pemanfaatan atau pengalokasian anggaran Kepada menghela produktivitas. Artinya, bagaimana rasio output yang tersedia dengan input dari sumber daya yang digunakan. Produktivitas, kata David Sumanth dalam Total Productivity Management (TPMGT): A Systemic and Quantitative Approach to Compete in Quality, Price and Time (2007), sangat Krusial, dalam rangka Membangun institusi dan organisasi dan individu menjadi lebih efisien, efektif, dan berkualitas.
Berkait dengan kebijakan fiskal, terfokus pada aspek Lampau lintas anggaran yang ditetapkan pemerintah, termasuk perpajakan, pengeluaran, dan utang piutang. Kelembagaan, terutama berkaitan dengan tata kelola yang Berkualitas, tentu akan memudahkan meminimalkan kebocoran anggaran. Dalam konteks inilah, kelembagaan ekonomi dimaksud berkorelasi tentang aturan hidup, organisasi, kepercayaan, dan Kebiasaan yang hidup dalam masyarakat yang Pandai menjadi daya kontrol dalam pertanggungjawaban anggaran (McMaster, 2012).
MI/Seno
Kebijakan fiskal
Obrolan tentang kebijakan fiskal tentu Enggak jauh dari anggaran negara yang bertujuan mengontrol kestabilan perekonomian makro, memengaruhi permintaan agregat dalam jangka pendek, serta meningkatkan kapasitas perekonomian dalam jangka panjang.
Dalam rentang 10 tahun perjalanan Presiden Jokowi (2014-2024), tentu membawa progresivitas dan regresi dari Dampak kebijakan fiskal yang dieksekusinya. Plus-minus ialah sesuatu yang galib karena menurut filosofi Buddha, setiap masa Terdapat orangnya dan setiap orang Terdapat masanya. Jokowi punya kelemahan dan tentu juga punya kelebihan dalam setiap rentang masa.
Dengan demikian, sulit membandingkan kebijakan fiskal secara apple to apple dalam setiap masa karena masalah dan tantangan tentu berbeda. Hanya masalahnya, model kepemimpinan dan aransemen kelembagaan masing-masing kerap kali berbeda, apakah mereka Pandai menyelami setiap masalah dan panasea (obat mujarab) yang ditawarkan.
Rezim Jokowi Terang menghadirkan banyak program fiskal, terutama sisi budget spending. Pada November 2014, Presiden Jokowi tiba-tiba Membangun langkah revolusioner memotong anggaran subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang memantik peningkatan harga BBM. Pemotongan itu Kepada men-shifting Konsentrasi anggaran negara kepada proyek-proyek besar infrastruktur, termasuk PSN (proyek strategis nasional). PSN sebagai studi, hingga akhir 2024 ini, telah mencapai 233 proyek, dengan total nilai investasi Rp6.246 triliun. Demikian juga, alokasi anggaran IKN sebesar Rp466 triliun dan pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta Segera.
Rentang 10 tahun masa kepemimpinan Jokowi, alokasi anggaran infrastruktur di APBN terdongkrak 156,2% dari Rp177,9 triliun pada 2014 menjadi Rp455,8 triliun (2023) dan Rp422,7 trilun (2024). Total jenderal, anggaran infrastruktur di era Jokowi menembus Rp3.838,3 triliun. Tentu, alokasi anggaran tersebut tersebar di pelbagai kementerian/lembaga, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat, hingga Kementerian Pertanian.
Selain anggaran bersumber dari APBN, juga dari KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha) yang menyiapkan skema penyediaan dan pembiayaan infrastruktur yang melibatkan partisipasi swasta. Selain itu, pembiayaan BUMN, yang ikut berperan besar dalam membangun infrastruktur Berkualitas melalui pembangunan proyek atau sindikasi pembiayaan.
Tentu, sumber Istimewa penerimaan anggaran berasal dari pajak. Tetapi, nisbah pajak sebagai instrumen Istimewa pendapatan negara tampaknya mengalami penggerusan signifikan dari 13,7% (2014) menjadi 10,1% (2023). Banyak ruang potensi pajak yang belum dioptimalkan karena banyak pengemplang, terutama pelaku usaha besar, dan belum diterapkannya secara tegas pajak progresif Kepada beberapa lini. Enggak mengherankan nisbah pajak Indonesia paling rendah di negara-negara Asia Tenggara. Karena itu, konsekuensinya, defisit anggaran Enggak terhindarkan, melebar dari Rp226,69 triliun (2014) diperkirakan menjadi Rp609,75 triliun (2024).
Bertalian dengan itu, rasio utang terhadap PDB tergenjot tajam dari 24,7% (2014) menjadi 39,13% (2024). Rasio utang, tentu menandakan kapasitas fiskal suatu negara membayar kembali utangnya. Rasio utang tinggi mengindikasikan beban kapasitas makin berat. Tercatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan utang per Desember 2014 sebesar Rp2.608,7 triliun. Selanjutnya, jelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi atau per Agustus 2024, jumlah utang mencapai Rp8.461,9 triliun, terjadi kenaikan Rp5.853,2 triliun.
Tergambar postur fiskal Tetap didominasi pembiayaan utang dengan Bagian selalu lebih dari 74%, sedangkan pembiayaan investasi Enggak pernah Melewati Bilangan 17,5%. Itu mengirim pesan, orientasi jangka jangka pendek yang mengorbankan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kurangnya investasi dalam sektor produktif dan bernilai tambah pun dapat memunculkan hambatan pertumbuhan ekonomi masa depan.
Tengah pula, postur kementerian/badan/lembaga yang diumumkan dan dilantik pada Senin, 21 Oktober 2024 terlihat bongsor, di tengah beban warisan limitasi ruang fiskal, Pandai berakibat pemerintah akan semakin kehilangan fleksibilitas mengalokasikan anggaran yang lebih menyasar secara langsung kepada rakyat dan anggaran Kepada merespons krisis atau kebutuhan mendesak. Bahkan, ihwal postur yang bongsor itu juga sangat bertolak belakang dengan spirit undang-undang terkait dengan desentralisasi atau otonomi daerah.
Dalam rangka mengurangi beban Presiden Prabowo sebagai nakhoda baru, Semestinya pemerintah segera mengubah radikal arah kebijakan fiskal berfokus pada penguatan basis pajak, alokasi anggaran yang adil, dan investasi yang produktif Kepada memastikan ekonomi nasional dapat tumbuh berkelanjutan dan inklusif. Kalau Enggak, beban itu akan Maju menumpuk dan pada akhirnya akan membahayakan stabilitas ekonomi pada masa depan. Ujungnya, Presiden Prabowo terbebani oleh janji-janji kampanyenya, seperti makan siang gratis dan Sasaran pertumbuhan ekonomi 8%. Ihwal itu juga diperberat karena eksekutor kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan, timnya Tetap belum berubah sejak Era Presiden Jokowi.
Kebocoran anggaran
Sejak calon presiden (2014, 2019 dan 2024), Prabowo dengan garang selalu menyampaikan dalam setiap kampanye dan debat capres, besarnya kebocoran anggaran. Ihwal kebocoran anggaran negara itu, publik pun langsung teringat pada tiga dasawarsa Lampau, ucapan begawan ekonomi Indonesia sekaligus Bapak Prabowo Subianto, Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Pada Kongres Ke-12 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), November 1993, di Surabaya, ia mengungkapkan keresahannya Kalau tingkat kebocoran Biaya pembangunan relatif Tetap tinggi, Sekeliling 30%. Bahkan, Sumitro melanjutkan, Biaya yang Enggak bocor pun Rupanya tingkat efisiensi pemanfaatannya Tetap rendah, dan belum seluruhnya digunakan sebagaimana semestinya. Masalah itu harus diatasi pemerintah, apalagi karena Biaya pembangunan pada masa depan makin terbatas dan makin sulit diperoleh.
Sejurus dengan itu, pada pidato iftitah di MPR seusai dilantik presiden pun, Prabowo tetap istikamah menyampaikan keresahan kebocoran anggaran itu. Penyebab Istimewa kebocoran itu adanya penyakit entropi ekonomi (Pakkanna, 2023). Adanya high cost economy, Tetap besarnya pungutan Formal/Enggak Formal, korupsi makin mengganas dan masif, ekonomi rente, benalu ekonomi, dan seterusnya merupakan bagian entropi itu. Penyakit itu mengganggu proses pemulihan, obsesi pertumbuhan, dan perjalanan ekonomi ke depan. Entropi ekonomi berefek sulitnya perekonomian Indonesia keluar jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).
Situasi itu terkonfirmasi, ekonomi Indonesia sulit naik ke status negara dengan pendapatan tinggi. Selain itu, berdampak pada naiknya Bilangan incremental capital-output ratio (ICOR). Bilangan ICOR Indonesia Tetap bertengger tinggi mendekati 7%, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Tingginya Bilangan itu mengrim pesan Tetap rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, dan banyaknya biaya siluman menerpedo mesin birokrasi ekonomi.
Mengonfirmasi Transparency International Indonesia (TII), mengestimasi potensi kebocoran kisaran 30%-40% dari PDB. Mengutip Dunia Competitiveness Index dari World Economic Perhimpunan (2022), korupsi salah satu bentuk kebocoran anggaran dan menjadi Unsur penghambat investasi di Indonesia.
Ihwal kebocoran itu, salah satu indikator legacy Jokowi dan harus diselesaikan Prabowo, ialah indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang Maju merosot. Pada 2023, TII menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara yang disurvei dengan skor 34 poin. Peringkat Indonesia Tetap tergolong ‘Area merah’ yang sejajar Malawi hingga Sri Lanka. Dengan demikian, penurunan dari 38 ke 34 disebut penurunan poin terparah sejak masa reformasi.
Produktivitas
Salah satu Konsentrasi prioritas realisasi program ekonomi Prabowo ialah pengembangan produktivitas melalui pengembangan kualitas sumber daya Sosok (SDM). Dalam Astacita misi Presiden Prabowo berkaitan obsesi peningkatan daya saing SDM berbasis Ciptaan pengetahuan dan teknologi. Rendahnya daya saing, beranjak dari keprihatinan bahwa Indonesia berada di urutan ke-50, turun 5 Bilangan Kalau dibandingkan dengan periode pertama Presiden Jokowi.
Rendahnya daya saing SDM juga memengaruhi belum maksimalnya total factor productivity (TFP), ukuran efisiensi ekonomi suatu negara dalam menggerakkan roda perekonomian dengan mengombinasikan input modal dan tenaga kerja (SDM). Merujuk Asian Productivity Organization (APO) yang rutin meliris laporan tiap tahunnya, Bilangan produktivitas perekonomian negara-negara di Asia dengan input tradisional tenaga kerja, modal dan TFP sebagai indikatornya.
Mengonfrmasi data APO tersebut, selama dua Dasa warsa setelah 1998, rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 4,78%. Itu lebih rendah rerata pertumbuhan 20 tahun sebelum krisis, Yakni Sekeliling 6,74%. Data APO mengirim pesan bahwa kontribusi TFP Indonesia setelah krisis berada di kisaran -0,11% atau anjlok dari 0,93% sebelum krisis (Indef, 2023). Kalau tren penurunan pertumbuhan produktivitas dan TFP negatif itu berlanjut, perekonomian Indonesia akan stagnan.
Data membuktikan ekonomi Indonesia selalu ditopang usaha ekstraktif berbasis sumber daya alam, bukan ditopang kekuatan Ciptaan berbasis pengetahuan dan teknologi. Pada kasus ekspor produk nikel misalnya, pada 2022, ekspornya surplus hingga US$291,88 milar atau ekuivalen Rp4.524 triliun. Begitu pula batu bara, CPO, dan lainnya. Ihwal itu relevan Kalau Memperhatikan kontribusi TFP dalam perekonomian yang rendah Kalau dibandingkan dengan banyak negara lain karena basis ekonomi Indonesia selalu ditopang usaha ekstraktif.
Merujuk Faisal Basri (2023), Kalau dilihat sejak 2010, TFP Indonesia Maju turun bebas. Jadi, penggunaan otot semakin dominan. Dengan demikian, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang masa Presiden Jokowi, rerata 71% ditopang modal yang berbasis non-IT. Sumbangan dari tenaga kerja mencapai 45%, sedangkan sumbangan modal yang berbasis IT hanya 4%, Sementara itu, kontribusi TFP terhadap pertumbuhan Malah minus 19%.
Akhirnya, dengan kondisi seperti itu, saya pun teringat pada Paul Krugman, penyabet Hadiah Nobel Ekonomi 2008, dalam esainya pada 1994 berjudul, “The Myth of Asia’s Miracle”. Krugman menggunakan terminologi perspiration (keringat) Kepada mendeskripsikan Unsur-Unsur yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia, seperti peningkatan input Unsur Istimewa, peningkatan partisipasi angkatan kerja, dan penambahan modal pada tenaga kerja. Kata Krugman, keajaban Asia Rupanya bukan ditopang ekonomi inspirasi (inspiration economy) yang mengandalkan TFP atau Ciptaan sebagai sumber pertumbuhan.
Dengan peta warisan yang diterima Prabowo seperti itu, mengutip kembali penyabet Hadiah Nobel Ekonomi 2024, Kepada menyelesaikan peta masalah di atas, aspek aransemen kelembagaan harus dituntaskan. Mengapa negara itu gagal? Karena lemahnya Kaitan kelembagaan politik dan ekonomi terhadap peningkatan pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya, apa bongsornya tim kementerian, lembaga, dan badan yang dibentuk Presiden Prabowo telah menunjukkan sebagai solusi mangkus dan sangkil dalam mengatasi kelembagaan ekonomi?