Layar Bioskop sebagai Ruang Politik Baru

Layar Bioskop sebagai Ruang Politik Baru
(Dokpri)

PEMUTARAN video capaian pemerintah di bioskop telah memicu diskursus publik yang signifikan. Video tersebut menampilkan data program prioritas: produksi beras 21,76 juta ton, 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi, Program Makan Bergizi Gratis Demi 20 juta beneficiaries, 80.000 Koperasi Desa Merah Putih, dan 100 Sekolah Rakyat.

Praktik ini menghadirkan pertanyaan kritis tentang transformasi fungsi ruang publik. Ketika bioskop yang secara kultural berfungsi sebagai entertainment space, direpurposing menjadi platform komunikasi pemerintahan, memunculkan Ambivalensi mendasar: apakah ini bentuk akuntabilitas publik yang legitimate atau political messaging yang mengeksploitasi immersive spectatorship Demi persuasi satu arah? Penggunaan bioskop sebagai medium komunikasi pemerintah mengaburkan batas antara informasi publik dan komunikasi politik, sehingga berimplikasi serius terhadap otonomi kognitif Anggota dan kualitas deliberasi demokratis.

Diversifikasi Platform Komunikasi Pemerintahan

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menjelaskan bahwa bioskop adalah wadah komersial yang legitimate Demi berbagai bentuk komunikasi, termasuk laporan kerja pemerintah. Apabila corporate messaging dapat mengakses platform tersebut, pemerintah Mempunyai hak serupa Demi menyampaikan informasi publik. 

Respons publik terhadap praktik ini terbelah: sebagian menyambut positif sebagai Bentuk transparansi dan Hasil karya civic engagement, sementara sebagian lain mengajukan Percakapan kritis mengenai ethical parameters komunikasi politik pemerintah. Keberagaman perspektif ini mencerminkan vitalitas ruang publik Indonesia, di mana dialog konstruktif antara pemerintah dan masyarakat sipil Maju berkembang Bergerak.

Cek Artikel:  Penantian 32 Tahun, Cerminan Sepak Bola Indonesia

Pemahaman ini dapat dianalisis melalui kerangka ruang publik Jurgen Habermas (Hubermas, 1991). Habermas Menyaksikan ruang publik sebagai Area pertemuan Anggota di mana opini dan wacana terbentuk melalui Percakapan rasional, yang memungkinkan Anggota berpartisipasi dalam pembentukan opini kolektif dan pengawasan terhadap kekuasaan.

Menurut Habermas, ruang publik berfungsi sebagai arena deliberasi di mana argumen rasional membentuk konsensus sosial, dengan media massa modern sebagai perpanjangan yang memungkinkan informasi dan opini diakses luas. Bioskop, meskipun dirancang sebagai entertainment space, dapat dipahami sebagai ruang publik modern yang Spesial di mana ribuan orang dari berbagai segmen sosial berbagi pengalaman menonton dan terpapar narasi visual yang membangun collective imagination. Pengalaman ini berpotensi membentuk opini publik, meskipun berbeda dengan diskursus deliberatif tradisional, dimana interaksi di bioskop bersifat pasif dan emosional, menciptakan passive spectatorship ketimbang dialog.

Cek Artikel:  Mengakhiri Greenwashing, dari Label Hijau ke Meja Hijau

Daya strategis bioskop terletak pada kemampuannya membentuk atmosfer emosional yang Enggak selalu dimiliki media lain. Penonton hadir dengan kesiapan Demi larut dalam visual, sehingga pesan yang disisipkan berpotensi Mempunyai Dampak persuasif lebih kuat dibandingkan billboard atau iklan televisi. Tetapi, Apabila pesan bersifat satu arah dan selektif, kemampuan Anggota Demi berdiskusi secara kritis dan deliberatif dapat tereduksi, sehingga ruang publik berisiko berubah menjadi medium yang hanya mereproduksi ideologi, bukan arena dialog demokratis.

Bangunan Wacana Dominan

Menimbang tayangan capaian pemerintah di bioskop, seperti diuraikan sebelumnya, perdebatan yang muncul kerap berpusat pada potensi politisasi ruang publik. Tetapi, Apabila dilihat dari perspektif framing (Entman, 1993; Gamson, 1992), tayangan tersebut Malah dapat dibaca sebagai strategi komunikasi politik yang Benar.

Framing merupakan praktik memilih aspek tertentu dari realitas dan menjadikannya lebih menonjol Demi membangun pemahaman, penilaian moral, dan rekomendasi tindakan tertentu. Dalam konteks ini, penekanan pada produksi beras, koperasi desa, atau sekolah rakyat merupakan bentuk seleksi informasi yang hendak diatasi pemerintah. 

Pendekatan ini Enggak Pandai dipandang sekadar reproduksi ideologi, karena setiap bentuk komunikasi publik pada dasarnya selalu mengandung frame. Bahkan dalam demokrasi modern, framing merupakan bagian tak terhindarkan dari Metode kebijakan dikomunikasikan dan dipahami masyarakat. Dengan menampilkan data melalui medium sinematik, pemerintah mengaktifkan mekanisme salience, Membangun informasi lebih mudah diingat, dipahami, dan diinternalisasi audiens.

Cek Artikel:  Menggagas Paradigma Pendidikan Baru

Kahneman dan Tversky (1984) menunjukkan bahwa framing mengubah penilaian orang terhadap situasi yang sama melalui perbedaan penekanan. Tayangan pemerintah di bioskop memanfaatkan ini Demi mengubah informasi kebijakan menjadi pengalaman yang lebih dekat secara emosional dan kognitif.

Tayangan ini berfungsi sebagai public pedagogy yang membantu masyarakat memahami kerja negara melalui visual imersif. Frame pemerintah mendorong penonton menimbang capaian dan membandingkannya dengan pengalaman pribadi, sehingga menjadi titik masuk Demi dialog dan Cerminan kebijakan publik.

Menayangkan video capaian pemerintah di bioskop Benar dan efektif secara komunikasi, Tetapi dari sisi etika demokrasi, persoalannya jauh lebih kompleks. Apabila ditilik dalam perspektif framing, apa yang dikhawatirkan sebagai ‘narasi tunggal’ dalam tayangan singkat tersebut sebenarnya adalah bagian dari kompetisi wajar dalam ruang demokrasi. Kembali pula, frame pemerintah Enggak serta-merta menghapus frame lain, melainkan hadir sebagai salah satu sumber interpretasi yang kemudian Pandai dinegosiasikan, dikritisi, atau ditandingi oleh narasi lain.

Mungkin Anda Menyukai