Laut Semrawut

LAGU legendaris Nenek Moyangku karya Ibu Sud menggambarkan nenek moyang bangsa Indonesia seorang pelaut. Sosoknya pemberani, gemar mengarungi samudra, menerjang ombak, dan menghadapi badai di lautan. Wajar bila nenek moyang bangsa Indonesia seorang pelaut karena Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Indonesia memiliki garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81 ribu km) sehingga menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.

Tak pelak sebagai negara maritim, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara yang memproduksi ikan terbesar di dunia setelah Tiongkok dengan jumlah 6,43 juta ton pada 2020. Kekayaan tersebut baru sebatas ikan, belum kandungan lain di bawah laut yang beragam, seperti 28 ribu spesies flora dan 350 spesies fauna dan 110 ribu mikroba. Belum lagu terumbu karang dan bahan tambang, seperti minyak bumi, nikel, emas, bauksit, pasir, bijih besi, dan timah.

Tetapi, nenek moyang pun pasti akan menangis karena anak cucu tidak bisa mengelola, menjaga, dan menjadikannya sebagai sumber kesejahteraan utama untuk rakyat. Kekayaan laut Indonesia juga tidak bisa bersaing di dunia internasional. Saya saat bertugas sebagai peliput haji pada 2018 sempat bertanya kepada penyedia katering jemaah haji Indonesia dari mana asal patin untuk konsumsi jemaah haji, sang pengusaha menjawab dari Vietnam. “Meskipun kualitas sama dengan ikan patin Indonesia, patin dari Vietnam jauh lebih murah,” kata sang pengusaha warga Arab Saudi itu.

Cek Artikel:  Karena Sepak Bola Dianggap Segalanya

Fakta itu membuat miris karena jumlah jemaah haji Indonesia sebanyak 221 ribu orang yang terdiri dari kuota haji reguler sebanyak 204 ribu orang dan kuota haji khusus sebanyak 17 ribu orang mengonsumsi ikan dari Vietnam. Bayangkan, jika semua jemaah haji Indonesia mengonsumsi ikan dari negeri sendiri, pasti akan memberikan efek berganda (multiplier effect) secara ekonomi bagi dunia perikanan di Tanah Air.

Seorang pengusaha kelautan mengaku pihaknya mengalami biaya tinggi saat menangkap ikan di wilayah laut Indonesia. Pihaknya acap kali dihentikan dan diperiksa berbagai instansi di tengah laut, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kepolisian Perairan (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bea Cukai Kementerian Keuangan, dan TNI Bilangantan Laut. “Pemeriksaan masing-masing instansi bisa 2-3 jam. Ini makan biaya juga (solar). Belum lagi kami akan dikomplain pihak ekspedisi karena terlambat sampai tujuan,” tutur pengusaha itu.

Cek Artikel:  Pendidikan Politik 75 Hari

Meskipun semua instansi itu memiliki kewenangan memeriksa, kata si pengusaha itu, sebaiknya tidak sebanyak itu instansi yang memeriksa di tengah laut.

Ketua Bakamla Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengaku pengamanan laut Indonesia masih tumpang-tindih. Pasalnya, banyak instansi memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menyidik kegiatan di laut. “Sejumlah perusahaan pelayaran sering mengeluhkan banyaknya instansi yang memeriksa di tengah laut. Kami sudah menyampaikan hal ini kepada pemerintah,” kata Aan Kurnia saat menerima audiensi Media Indonesia di Kantor Bakamla, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, tata kelola keamanan laut tidak boleh melibatkan banyak pihak karena hal itu mengindikasikan tidak adanya kepastian hukum. “Sering kali perusahaan pelayaraan diperiksa berkali-kali oleh berbagai instansi meski pertanyaannya sama saja saat pemeriksaan,” tutur perwira tinggi bintang tiga yang berpengalaman selama lebih dari 20 tahun penugasan di laut ini.

Karena itu, kata dia, perlu omnibus law keamanan laut yang melebur sekitar 17 undang-undang. “Sejak tahun lalu, omnibus law RUU Keamanan Laut sudah masuk prolegnas pada tahun lalu. Tetapi, belum juga disahkan. Semoga tahun ini bisa disahkan,” kata mantan Komandan KRI Fatahillah-361 itu.

Cek Artikel:  Keresahan dalam Kebebasan

Mengingat proses RUU Keamanan Laut masih lama dan belum tentu tuntas di tahun politik, pemerintah sementara mengeluarkan jurus Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Pahamn 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Hukum di Distrik Perairan Indonesia dan Distrik Yurisdiksi Indonesia. PP yang ditandatangani Jokowi pada 11 Maret 2022 itu ialah amanat dari Undang-Undang Nomor 32 Pahamn 2014 tentang Kelautan.

Dalam PP tersebut, Bakamla (Indonesia Coast Guard) diberi amanah sebagai koordinator kementerian/lembaga pada forum internasional di bidang keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang hubungan luar negeri. Selain itu, Bakamla diberi fungsi sebagai koordinator mendistribusikan informasi satu pintu mengenai kondisi nasional di bidang keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut.

Tetapi, PP tentunya tidak sekuat UU. Artinya, omnibus law RUU Keamanan Laut harus segera disahkan untuk mengatasi kesemrawutan tata kelola keamanan laut Indonesia. Cita-cita menjadi poros maritim dunia sangat mulia, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim. Salah satunya dengan regulasi yang pasti dan tak banyak yang cawe-cawe di laut. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai