SAAT ini, banyak anggota masyarakat, yang meski sudah bekerja, tetap terperangkap dalam kemiskinan (working poor) karena rendahnya upah dan ketiadaan jaminan sosial yang membuat mereka sulit meningkatkan taraf hidup.
Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian serius, terutama dalam menilik arah perkembangan ekonomi Indonesia.
Center for Market Education (CME), baru-baru ini, merilis laporan bertajuk “Sebuah Agenda Penemuan Demi Pemerintah Indonesia” yang di dalamnya juga menyoroti fenomena deindustrialisasi dini yang mengkhawatirkan.
Baca juga : Manufaktur AS Naik untuk Pertama Kali sejak September 2022
Sektor manufaktur, yang sedari dulu menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja formal, terus mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB nasional.
Menurut ekonom CME Carmelo Ferlito, penurunan ini menjadi lebih signifikan ketika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Vietnam, yang terus memperkuat sektor manufaktur mereka sembari menarik lebih banyak investasi asing (FDI).
Tren penurunan ini juga tercermin dalam kontribusi investasi terhadap PDB. Meskipun investasi masih menyumbang 29,33% dari PDB, tren penurunan ini mengindikasikan Indonesia mungkin mulai kehilangan daya tariknya di mata investor.
Baca juga : Ekonomi Vietnam Kuartal Pertama Tumbuh Tertinggi dalam Lima Pahamn Terakhir
“Padahal, manufaktur dan investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal, yang merupakan kunci untuk memberantas kemiskinan struktural.” kata Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID) Alfian Banjaransari.
Apabila tren deindustrialisasi dan penurunan investasi ini berlanjut, Indonesia berisiko mengalami stagnasi ekonomi jangka panjang, yang pada gilirannya akan menghalangi upaya pemerintah untuk mencapai target pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan.
Padahal, dalam pidato pengantar RAPBN 2025, Presiden Joko Widodo mengemukakan sejumlah target penting terkait pencapaian ekonomi.
Baca juga : Ekonomi AS Diperkirakan tidak Stagflasi, ini Argumen Yellen
Salah satunya adalah target pemerintah tingkat pengangguran menjadi 4,5%-5% dan angka kemiskinan menjadi 7%-8%. Apakah target ini realistis?
Agaknya, masalah mendasar dalam pasar tenaga kerja kita masih belum tersentuh. Betapa tidak, belum lama ini, BPS mengemukakan sekitar 10 juta anggota Generasi Z menganggur atau tanpa kesibukan (dikenal dengan istilah NEET atau not employed, in education and training).
Di sisi lain, sekitar 25 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.
“Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan keduanya tumpang tindih alias memiliki pekerjaan saja tidak menjamin seseorang bisa keluar dari kemiskinan,” tutup Alfian. (Z-1)