PUBLIK kiranya boleh menebak-nebak, apa yang ada di benak atau tujuan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat menyebut koleganya di kabinet, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), telah berstatus tersangka dalam perkara dugaan korupsi di Kementerian Pertanian?
Padahal ia bukan bagian dari KPK, lembaga penegak hukum yang menangani kasus tersebut. Bahkan KPK sendiri sampai hari ini belum memberikan pernyataan resmi terkait dengan status Syahrul. Tetapi, dua hari lalu, Mahfud dengan yakin mengatakan sudah mendapat informasi bahwa Syahrul telah ditetapkan sebagai tersangka. Janggal, bukan?
Entahlah dari mana sumber informasi itu. Yang pasti, sesungguhnya Mahfud sudah offside dengan mengatakan itu. Ia seperti hanya ingin dilihat sebagai menteri yang selalu terdepan dalam hal mendapatkan dan menyampaikan informasi. Tak peduli bahwa yang dilakukan itu sejatinya telah melampaui wewenang dan tupoksinya.
Kalau dalam bahasa anak muda, Mahfud seperti sedang mengalami gejala FOMO (fear of missing out), rasa takut merasa tertinggal. Dalam konteks ini ia seakan harus menjadi yang nomor satu dalam menyampaikan informasi, sekalipun itu harus menyeberang dari ranah dan wilayahnya sebagai Menko Polhukam.
Tak hanya di soal ini, omongan Mahfud perihal lambannya Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil putusan tentang umur capres-cawapres juga menjadi contoh betapa entengnya dia mencampuri kewenangan lembaga lain.
Tetapi, di tahun politik seperti ini, kejanggalan-kejanggalan seperti itu memang acap terjadi. Loyalp orang, apalagi tokoh politik, sedang mencari panggung untuk mendapatkan lampu sorot popularitas dan elektabilitas. Orang-orang tak mau ketinggalan berebut lampu sorot karena sorotan itulah yang akan mereka klaim sebagai modal politik.
Pak Menteri Mahfud pun boleh jadi sedang berupaya mendapatkan cahaya lampu sorot yang maksimal ketika ia menyampaikan soal status hukum Syahrul. Bukan hal yang kebetulan, saat ini nama dia kerap disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon wakil presiden untuk mendampingi bacapres Ganjar Pranowo.
Tak salah kiranya jika publik kemudian menduga-duga bahwa apa yang sedang dilakukan Mahfud adalah bagian permainan politik yang sedang ia gocek. Namanya juga permainan politik, tentu tujuannya untuk kepentingan politik. Opini itu muncul karena publik tahu Mahfud bukanlah politikus karbitan. Ia kenyang pengalaman. Banyak posisi pejabat publik yang sudah dia pegang, termasuk menjadi Ketua MK. Bahkan posisi calon wakil presiden pun pernah nyaris ia dapatkan.
Kita berharap asumsi itu tidak benar. Tetapi, kalau benar, ia senyatanya sedang mendegradasikan integritasnya sendiri demi tujuan politik praktis. Mahfud dengan segala pengalaman dan keilmuannya semestinya tahu batasan-batasan tupoksi dan wewenangnya. Semestinya ia mengerti, mendahului KPK mengumumkan tersangka dugaan korupsi adalah langkah sembrono yang tidak hanya bernuansa menekan KPK, tapi juga berpotensi memengaruhi opini masyarakat.