Langkah Gagap Konsistenkan Harga Beras

ADA ancaman sangat besar dari terus meroketnya harga kebutuhan pokok strategis. Apabila saat ini pedagang dan rakyat yang menjerit, beberapa bulan lagi petani terancam jadi korban. Itulah yang terjadi bila kebijakan pangan, khususnya beras, terlalu mengandalkan impor. Masalah pokok yang tidak tertuntaskan, yang muncul justru masalah baru.

Segala keruwetan kenaikan harga beras saat ini memang diawali oleh datangnya El Nino. Iklim yang ekstrem membuat produksi pangan turun karena gagal panen. Ini terjadi di seluruh dunia. Dalam menghadapi El Nino tersebut, salah satu strategi utama Presiden Jokowi ialah impor beras.

Disebut utama karena nyatanya, sesuai angka Badan Pusat Stagnantik, impor beras yang diputuskan pemerintah mencapai 3,06 juta ton. Nomor itu terbesar dalam lima tahun terakhir. Dengan angka sebesar itu, tak sedikit pihak yang menduga kebijakan itu tidak murni untuk pengamanan stok dan penstabilan harga, tapi juga strategi politik jelang pemilu.

Tetapi, apa pun niat dan tujuan impor itu, yang pasti strategi impor beras itu kemudian terkendala pada realisasinya yang lamban. Penyebab lambannya kedatangan beras impor itu ialah restriksi yang ditetapkan 22 negara. Mereka, negara-negara sumber impor itu juga khawatir akan keamanan cadangan pangan masing-masing. Maka wajar jika mereka lebih mengutamakan stabilitas domestik dengan pembatasan ekspor.

Cek Artikel:  Menjamin Kelancaran Arus Balik

Apesnya bagi kita, jika tidak mau dibilang kurang cermat perhitungan, impor beras baru datang mendekati musim panen raya di dalam negeri, di saat harga beras sudah meroket. Sementara, di akhir Maret nanti petani justru bisa ikut menjadi korban karena harga gabah anjlok terpukul beras impor. Apalagi, produksi beras pada Maret diperkirakan lumayan besar, diprediksi akan ada suprlus 0,97 juta ton beras.

Tetapi, lagi-lagi, nasi sudah menjadi bubur. Kebijakan impor gila-gilaan sudah diputuskan dan nyatanya tidak bisa menjadi obat di masa harga selangit sekarang ini. Dalam situasi seperti itu, pemerintah justru terlihat gagap menghadapinya. Sejak awal tahun hingga saat ini, pemerintah gagal mengendalikan harga beras.

Cek Artikel:  Usut Tuntas Kejahatan Berkedok Magang

Karena itu, tidak bisa tidak, pemerintah harus cepat melakukan langkah nyata menurunkan harga. Langkah solutif itu terutama mesti dilakukan dengan intervensi melalu beras program stabilisasi harga dan pasokan pangan (SPHP). Program ini sejak awal bertujuan untuk meredam laju kenaikan harga beras. Beras SPHP sebagian besar ialah beras impor, yang menurut Bulog setara dengan kualitas beras premium dalam negeri.

Celakanya, beras SPHP disebut pedagang-pedagang di pasar langka karena stoknya susah dan kerap langsung diserbu pembeli. Kelangkaan beras inilah yang ikut mengerek harga beras premium. BPS mencatat kenaikan harga beras terjadi di setidaknya 179 kabupaten/kota. Rata-rata harga beras kini menyentuh angka mencapai Rp14.380 per kilogram alias naik 2,92% dibandingkan Januari lalu. Di pasar, harganya bahkan sudah menyentuh Rp17.000 per kilogram.

Perum Bulog menyatakan saat ini total beras yang dikuasai sekitar 1,2 juta ton. Artinya, secara stok sebetulnya masih cukup aman. Dengan begitu, langkah nyata penstabilan harga beras semestinya dilakukan dengan pemaksimalan distribusi cadangan beras Bulog.

Cek Artikel:  Adu Gagasan, Bukan Adu Singkatan

Tentu saja distribusi ini harus dilakukan dengan tepat dan diawasi ketat. Permainan kotor mafia beras dalam penyaluran beras premium/ SPHP Bulog harus diberantas. Jangan sampai praktik culas itu justru membuat jeritan rakyat makin kencang di saat Bulog dan pemerintah terus mengatakan bahwa stok beras aman.

Enggak hanya beras, pemerintah juga harus memiliki langkah nyata menstabilkan beragam komoditas pokok lainnya, termasuk cabai, daging ayam, dan telur. Asikpa dengan beras, di saat musim panen masih menunggu beberapa bulan lagi, pemerintah harus benar-benar memastikan jalur distribusi petani ke pedagang lancar dan nihil permainan mafia.

Buat langkah jangka panjangnya, jelas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian/perkebunan dan peternakan harus digenjot. Infrastruktur, sarana-sarana produksi, hingga penelitian bibit unggul harus menjadi prioritas ketimbang terus-terusan bergantung pada impor.

 

Mungkin Anda Menyukai