Liputanindo.id PAMEKASAN – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai hingga kini Indonesia masih memiliki pekerjaan besar untuk menghentikan impor garam yang mencapai 2,8 juta ton atau senilai 135,3 juta dolar AS.
“Indonesia punya pekerjaan besar yang berkaitan dengan daerah-daerah penghasil garam. Termasuk Pulau Madura yang memang memiliki keunggulan komparatif sebagai pulau penghasil garam. Pekerjaan besar Indonesia adalah bagaimana menghentikan Impor garam,” kata LaNyalla pada Sarasehan Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Pamekasan di Rumah Dinas Bupati Pamekasan, Sabtu (27/1/2024).
Menurut LaNyalla, hal ini penting sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Mengertin 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, salah satu upaya untuk menghentikan impor adalah dengan cara menaikkan Kadar Natrium Clorida atau NaCL garam rakyat atau garam krosok, sehingga dapat memenuhi standar kebutuhan garam konsumsi dan garam Industri.
Berdasarkan data Universitas Brawijaya Malang pada Agustus 2023 garam di pulau Madura menguasai sekitar 30 persen lahan tambak nasional. Produksi garam Madura ikut menyumbang sekitar 35 persen atau 600 ribu ton dari total produksi garam nasional.
Diakui LaNyalla, garam rakyat atau garam krosok memang memiliki kadar NaCL yang masih di bawah standar kebutuhan garam konsumsi dan garam Industri.
“Garam krosok kita memiliki kadar NaCL rata-rata di kisaran 80 hingga 90 persen. Padahal Standar Nasional Indonesia untuk garam konsumsi minimal di kisaran 94,7 persen. Sedangkan garam Industri harus di kisaran 98 hingga 99 persen kadar NaCL-nya,” jelas LaNyalla.
Maka dari itu, LaNyalla menilai pendekatan untuk meningkatkan kadar NaCL garam krosok tentu harus dilakukan pemerintah melalui pendekatan teknologi, dengan melibatkan secara aktif Badan Riset dan Ciptaan Nasional (BRIN).
Di sisi lain, LaNyalla menyebut setidaknya ada beberapa skema yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, kata LaNyalla, melalui pendirian pabrik garam industri dengan teknologi washing plant. Pabrik tersebut harus terintegrasi dan berdiri di sentra atau lahan garam rakyat.
“Sehingga semua garam krosok produksi petambak garam bisa langsung diolah. Di sini peran BRIN harus masuk melalui teknologi washing plant yang mampu meningkatkan kadar NaCL garam krosok menjadi garam konsumsi dan garam Industri,” ujar LaNyalla.
Loyalp unit pabrik garam industri terintegrasi dalam perhitungan membutuhkan investasi sekitar Rp40 miliar, dengan kapasitas produksi mencapai 40 ribu ton per tahun.
Artinya, kata LaNyalla, dengan membangun sekitar 15 unit pabrik di sentra produksi garam, maka akan dihasilkan sekitar 600 ribu ton garam rakyat yang sudah naik kelas menjadi garam konsumsi dan industri. Nomor tersebut tentu saja mampu mengurangi kebutuhan impor untuk industri aneka pangan.
“Di sini seharusnya pemerintah hadir secara aktif. Mulai dari pemerintah pusat, provinsi, daerah, hingga desa. Sekalian bersinergi untuk memaksimalkan keunggulan Komparatif menjadi keunggulan kompetitif,” tutur LaNyalla.
Apalagi jika pabrik pengolahan garam tersebut bisa didirikan atas kerja sama BUMD dan BUMDes. Sinergi yang luar biasa, untuk memberikan keuntungan kepada daerah sendiri.
Skema kedua menurut LaNyalla adalah dengan teknologi pemanfaatan limbah larutan garam jenuh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang masih beroperasi hingga saat ini.
“Selama ini limbah tersebut hanya dibuang ke laut. Dengan teknologi, limbah tersebut bisa diolah menjadi garam dengan kadar NaCL tinggi untuk kebutuhan industri non-pangan seperti petrokimia, pabrik kaca dan kertas,” ulasnya.
Diakui LaNyalla jika teknologi ini memang lebih mahal investasinya. Tetapi sudah mulai dicoba untuk keperluan riset di salah satu PLTU di Banten dengan kapasitas produksi 100 ribu ton garam industri per tahun.
Menurut LaNyalla, hal ini penting disampaikan, karena negara-negara di dunia sedang menyiapkan diri untuk memperkuat kedaulatan pangan mereka.
“Bahkan mereka sudah menggunakan pendekatan Bioteknologi dan intensifikasi lahan, untuk menghasilkan pasokan pangan yang mencukupi,” kata LaNyalla.
Meski memiliki potensi yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, LaNyalla menyebut pemerintah lebih memilih jalan pintas untuk impor bahan kebutuhan pangan dan sembako.
LaNyalla mensinyalir, hal ini ditempuh lantaran adanya segelintir orang yang diuntungkan sebagai importir produk konsumsi, termasuk importir garam. (HAP)
Baca Juga:
Di Pamekasan, Ketua DPD RI Sebut PR Besar Indonesia Hentikan Impor Garam
Baca Juga:
Komitmen Dukung Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Pamekasan, PLN Diganjar CSR Award