PAGI itu, Selasa (27/6), tak disangka menjadi hari terakhir Nahel Merzouk mengembuskan napas. Remaja keturunan Aljazair berusia 17 tahun itu merupakan anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya tanpa seorang ayah. Dia anak baik, sangat mencintai ibunya, Mounia. Sebelum berangkat kerja sebagai sopir pengiriman makanan, dia selalu mencium tangan ibunya. Remaja yang bermain di liga rugbi ini tak memiliki catatan kriminalitas di kepolisian.
Tetapi, nasib nahas menimpa Nahel. Dalam sebuah perjalanan di pinggiran Kota Paris, Nanterre, mobil yang dikendarainya melanggar aturan lalu lintas. Dua polisi memberhentikan laju kendaraannya. Salah satu polisi menodongkan senjata melalui jendela mobil Mercedes yang dikendarai Nahel. Sejurus kemudian, polisi itu menembaknya. Mobil Nahel terlihat bergerak beberapa puluh meter sebelum menabrak. Nyawa remaja itu pun tak tertolong lagi.
Ibunda Nahel kaget bukan kepalang. Bak petir menyambar di siang bolong, sang ibu mendengar kabar putra tercintanya mati ditembus timah panas petugas kepolisian yang bertindak sewenang-wenang.
Kontan, peristiwa penembakan itu menyeruak ke antero negeri. Publik pun marah. Penembakan itu memicu kerusuhan yang meluas. Penjarahan merebak di banyak tempat. Massa yang marah membakar ratusan kendaraan dan bangunan. Paris menjadi lautan api. Hingga Minggu (2/7), sebanyak 4.500 personel kepolisian belum bisa mengendalikan situasi. Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan telah dilakukan 994 penangkapan secara nasional. Data sementara tercatat 1.350 kendaraan dan 234 bangunan dibakar. Selain itu, 2.560 peristiwa kebakaran terjadi di ruang publik.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris menyampaikan beberapa imbauan kepada WNI di tengah kondisi kerusuhan yang terjadi di Paris. Kedubes RI di sana mengimbau WNI yang berada di Prancis tetap waspada. “Kerusuhan di Paris terus berlanjut. Aksi perusakan, penjarahan, dan penembakan terus terjadi di puluhan kota dan kota madya di seluruh Prancis. ‘Paris dan sekitarnya, Lyon, Strasbourg, Metz, Marseille dll’, tulis @indonesiainparis, Minggu (2/7).
Amuk massa di Paris boleh jadi tak hanya ekspresi kemarahan terhadap kasus penembakan Nahel oleh aparat kepolisian. Kondisi perekonomian Paris sendiri yang tidak kondusif juga menjadi pemicu. Rakyat menanggung beban ekonomi yang muram akibat kondisi resesi ekonomi global, dampak perang Rusia-Ukraina, dan krisis iklim. Pertumbuhan ekonomi Prancis pada kuartal I 2023 hanya 0,2%. Bila dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Prancis pada kuartal IV 2022, memang terjadi kenaikan. Pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi jalan di tempat alias 0%.
Lebih dahulu terjadi, unjuk rasa berjilid-jilid yang menolak penaikan batas usia pensiun menjadi 64 tahun dari sebelumnya 62 tahun ikut memukul perekonomian Prancis. Rakyat menggelar gelombang protes terbesar dalam satu dekade terakhir. Selain Prancis, raksasa ekonomi Eropa lain yang limbung dihantam badai ialah Jerman. Perekonomian negara itu mengalami stagnasi (0%) pada kuartal I 2022.
Prancis telah menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia sejak pertengahan abad ke-17. Tak hanya itu, republik berjuluk Heksagon ini merupakan salah satu negara pendiri Uni Eropa yang memiliki wilayah terbesar dari semua anggota.
Kemajuan ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat di negeri ini memulai babak baru Abad Kesadaran (Age of Enlightenment) di Eropa dan berbagai belahan dunia setelah kematian Raja Louis XIV. Tak mengherankan jika banyak ilmuwan, sastrawan, dan filsuf lahir dari bumi Prancis. Voltaire, yang lahir dengan nama François-Marie Arouet, salah satunya. Ia adalah sastrawan dan filsuf dari Abad Kesadaran yang paling masyhur di Prancis. Pemikirannya, antara lain tentang kebebasan manusia, kebebasan beragama, dan keadilan, membuatnya sering keluar-masuk penjara Bastille lantaran mengkritisi kebijakan gubernur. Salah satu karya pria kelahiran 21 November 1694 ini yang paling berpengaruh ialah Lettres Philosophiques (1734), yang menjelaskan bahwa kekuasaan yang besar yang berada di satu tangan sangat membahayakan. Tak hanya berpotensi korup, tapi juga bisa semau gue alias sewenang-wenang.
Pemikir politik Prancis yang hidup pada Abad Kesadaran, Montesquieu, menggulirkan trias politika, yakni pemisahan kekuasaan di lembaga pemerintahan, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Teori trias politika sampai saat ini masih menjadi referensi utama kajian atau studi ilmu politik dan hukum. Montesquieu juga dikenal dengan mahakaryanya, L’Esprit des Lois (1748).
Prancis adalah negara besar. Republik semipresidensial ini yang mempromosikan nilai liberty (kebebasan), equality, (kesetaraan), dan fraternity (persaudaraan) ke seluruh Eropa. Kasus penembakan Nahel yang memicu krisis di Prancis hendaknya menjadi pelajaran untuk negeri Emmanuel Macron. Kesewenang-wenangan negara atau alat negara kepada rakyatnya bukan perkara enteng. Kemarahan rakyat yang melampaui rasionalitasnya bisa membakar, menggulung, dan melumat siapa pun. Terlebih bila kesewenang-wenangan itu terjadi dalam kondisi sosial-ekonomi yang mencemaskan kehidupan hari ini dan hari esok.
Taatp penyalahgunaan, kata Voltaire, harus direformasi. “Kecuali jika reformasi lebih berbahaya daripada penyalahgunaan itu sendiri,” ujarnya. Tabik!