KTT G-20 Hamburg dan Ganjalan Perlindunganonisme Trump

KTT G-20 Hamburg dan Ganjalan Proteksionisme Trump
()

KONFERENSI Tingkat Tinggi (Summit) G-20 di Hamburg, Jerman, 7-8 Juli 2017, sebenarnya sangat ditunggu hasilnya, terutama pada isu-isu ekonomi.

Tetapi, semuanya itu tampaknya berujung pada wishful thinking.

Kagak mudah menyamakan persepsi dan kepentingan ekonomi negara-negara yang menjadi pemuncak perekonomian dunia.

Terlebih ketika perekonomian dunia masih dicekam oleh ketidakpastian (uncertainties), maka semua negara pasti cenderung memilih fokus memikirkan dirinya sendiri untuk keluar dari jeratan kelesuan ekonomi, ketimbang berpikir secara kolektif untuk menggerakkan perekonomian dunia.

KTT G-20 kali ini diwarnai oleh aksi protes jalanan dari para aktivis dengan isu keadilan, “Bagaimana mungkin perekonomian seluruh dunia ditentukan oleh segelintir negara yang tergabung dalam G-20.”

Para penentang mengatakan bahwa ini bukanlah demokrasi yang diharapkan.

Meski kenyataannya, G-20 ialah kelompok yang terdiri atas 20 kekuatan ekonomi utama dunia (major economies), yang terdiri atas 19 negara (Amerika Perkumpulan, Tiogkok, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, India, Italia, Brasil, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Australia, Meksiko, Indonesia, Turki, Arab Saudi, Argentina, Afrika Selatan) dan satu kawasan, Uni Eropa. G-20 kadang disebut juga sebagai G19+1.

Secara kolektif, G-20 menyumbang 85% produk dunia bruto (gross world product/GWP), 80% perdagangan dunia, dan dihuni oleh 2/3 penduduk dunia. Jadi, sebenarnya cukup representatif juga.

Agenda melawan Trump

Pada agenda ekonomi, KTT Hamburg membahas dua isu besar yang strategis yang diharapkan berdampak signifikan.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang lebih menyebar dan merata (more inclusive growth).

Negara-negara G-20 didorong untuk lebih mengedepankan kebijakan perdagangan yang resiprokal (timbal balik) dan nondiskriminatif terhadap negara-negara berkembang.

Negara-negara maju juga diminta untuk tidak mengurangi dosis liberalisasi yang sebelumnya sudah dijalankan.

Liberalisasi atau penghilangan hambatan perdagangan dan investasi sudah diyakini menyebabkan perekonomian dunia menjadi kian efisien, yang memberi manfaat besar terhadap kesejahteraan masyarakat.

Cek Artikel:  Tragedi Kemanusiaan atas Etnik Rohingya

Filosofi pasar bebas (free market) merupakan hal yang harus dipertahankan.

Kedua, terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan, sebagai respons terhadap keluarnya AS dari Kesepakatan Paris menyangkut perubahan iklim (climate change) global.

Jerman sebagai tuan rumah KTT G-20 mengingatkan kembali isu lingkungan ini, serta isu kesetaraan gender dan inklusivitas sosial, yang sebenarnya sudah lama diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam payung Sustainable Development Goals (SDGs).

Lebih spesifik lagi, penggunaan energi yang terbarukan (renewable energy), mengurangi ketergantungan pada minyak yang berasal dari fosil, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.

Saya menginterpretasikan bahwa kedua isu terbesar tersebut mengarah pada Presiden AS Donald Trump.

Seluruh agenda menyindir AS, khususnya kebijakan baru Trump. Sebagai presiden baru AS, Trump dengan segera mencanangkan program yang disebutnya America first.

Maksudnya, kebijakan pemerintah federal AS akan didesain untuk lebih mengedepankan kepentingan AS.

Lebih jauh, jika kepentingan AS didahulukan, bisa jadi hal itu akan menabrak kepentingan negara-negara lain, tak terkecuali negara-negara berkembang.

Lebih konkret lagi, AS sedang menderita defisit perdagangan yang amat besar terhadap Tiongkok, yakni US$347 miliar (2016).

AS cuma mengekspor US$116 miliar, berbanding impornya dari Tiongkok US$463 miliar.

Inilah rekor defisit perdagangan terbesar di dunia, dengan tren yang menanjak.

Tetaptik terbaru hingga Mei 2017 AS memang berhasil menurunkan defisit perdagangannya–termasuk terhadap Meksiko–tetapi tidak terhadap Tiongkok, bahkan kian melebar!

Bagi Presiden Trump, ini isu yang sangat sensitif, dan dia tidak boleh membiarkannya berkelanjutan.

Dengan segala cara apa pun (at all cost) akan dia lakukan demi untuk memangkasnya dalam tempo pendek.

Dia berencana melakukan negosiasi ulang skema NAFTA (North American Free Trade Agreement) dengan Kanada dan Meksiko, yang disebutnya sebagai ‘bencana’.

Cek Artikel:  Beradu Gagasan Kampanye dalam Pemilu Kompetitif Damai

Yang paling ‘mudah’ ialah menghidupkan lagi proteksionisme. Sikap inilah yang hendak diluruskan oleh KTT G-20.

Berhasilkah? Belum tahu, tapi tampaknya tidak.

Meski belum tahu apa konkretnya bentuk proteksionisme Trump, yang jelas Trump belum menyatakan surut terhadap gagasan ‘gila’-nya tersebut.

Tersandera batu bara

Selain isu perdagangan bebas, masalah energi dan pembangunan berkelanjutan juga krusial.

Dunia sudah lama berkeinginan untuk memangkas polusi.

Metodenya, gunakanlah sebanyak mungkin energi yang berasal dari fosil (crude oil) secara lebih bersih dan efisien.

Dengan kata lain, utamakanlah energi terbarukan (renewable energy).

Tetapi, sebagaimana dilaporkan BBC (8 Juli 2017), KTT G-20 di Hamburg kemarin boleh dibilang gagal mencapai kesepakatan untuk isu ini.

Presiden Trump tampaknya sedang berusaha keras untuk membantu pertambangan batu bara negaranya agar bisa kembali ke jalur yang menguntungkan, sebagaimana terjadi pada saat krisis finansial global terjadi (periode 2009-2013).

Kini harga batu bara jatuh, dan Trump perlu membantunya dengan cara mendorong konsumsinya.

Pada isu ini, sebenarnya Indonesia berada di persimpangan jalan.

Hal yang sama juga dialami Tiongkok yang terus berjuang keras mengatasi masalah polusi hebat di dua kota terbesarnya (Beijing dan Shanghai) akibat sebagian besar industrinya menggunakan batu bara.

Di satu pihak, hasrat untuk menciptakan rezim global yang berkurang derajat polusinya, tentu merupakan idaman kita juga.

Tetapi, di sisi lain, batu bara merupakan salah satu komoditas yang penting dan membantu perekonomian Indonesia terhindar dari krisis finansial global, juga harus kita akui.

Terperosoknya harga batu bara, selain menyebabkan kenaikan tajam non-performing loans (NPLs) perbankan kita dari sisi kredit korporasi, ternyata juga berdampak langsung pada penurunan penjualan mobil dan sepeda motor.

Data terbaru bahkan menunjukkan volume penjualan sepeda motor pada triwulan pertama 2017 kembali merosot jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016 dan 2015.

Cek Artikel:  Kebebasan Akademis dan Transisi Demokrasi

Ini sungguh merupakan hal yang tidak kita perkirakan sebelumnya, sedangkan penjualan mobil masih cukup stabil, bahkan mungkin sedikit beranjak naik.

Dengan kata lain, kita sesungguhnya berkepentingan terhadap penggunaan energi batu bara yang menjadi perhatian kawan-kawan kita di G-20.

Batu bara menjadi dilema besar dan seperti menyandera perekonomian Indonesia.

Sejauh ini harga batu bara cenderung lebih baik daripada rata-rata 2016 meski harganya telah terkoreksi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada akhir 2016.

Harga batu bara cenderung merupakan ‘turunan’ dari harga minyak (sebagai produk substitusi terdekat) yang kini tetap rendah, ‘cuma’ US$44 per barel untuk jenis WTI (west texas intemediate).

Padahal, harga minyak ini sudah ‘dibantu’ oleh pemangkasan produksi oleh negara-negara utama (Arab Saudi dan Rusia) serta adanya konflik politik Saudi-Qatar yang menyeret banyak negara lain di kawasan Timur Tengah.

Meski begitu, ternyata harga minyak tidak juga beranjak naik karena pada dasarnya pasar minyak dunia masih mengalami kelebihan pasokan. Terdapatya minyak nonfosil dari AS (shale gas) juga menambah runyam masalah ini.

Pada akhir KTT G-20 Hamburg, BBC kemudian melaporkan, pada akhirnya mencapai konsensus seperti yang dinyatakan Perdana Menteri Inggris Theresa May, bahwa ‘Washington dapat memutuskan untuk kembali pada Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim’.

Tetapi, tidak seorang pun dapat diyakinkan, apakah Presiden Trump memang akan bersikap seperti itu?

Apakah dia akan mengalihkan kemudinya ke jalur liberalisme perdagangan, dan mengurangi polusi dengan mengurangi konsumsi batu bara?

Kagak ada yang percaya, itulah masalah terbesarnya.

Hingga titik ini, saya pun tidak percaya, atau minimal belum….

 

Mungkin Anda Menyukai