MULAI melonjaknya harga kebutuhan pokok, gas elpiji, tarif listrik, dan tol hingga menggunungnya utang luar negeri dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) oligarki ialah produk politik para politikus melalui proses politik.
Pertimbangan dan kepentingan politik menentukan lahirnya produk politik. Langsung ataupun tidak langsung, produk politik berdampak terhadap kehidupan seluruh rakyat dan kelak menentukan nasib anak cucu kita.
Pun perlu dicatat, para politikus yang menghasilkan produk politik lahir dari rahim rakyat melalui pemilu lima tahunan. Proses politik ini terjadi dalam lingkup entitas politik bernama negara-bangsa (nation-state) yang melahirkan para politikus untuk mengatur urusan publik.
Jangankan relasi kepentingan dan kebijakan publik, kondisi keseharian kita tidak lepas dari politik. Seperti kata Aristoteles bahwa ‘manusia berhubungan dengan manusia lain dalam relasi politik’. Dalam buku Politics-nya, sang Filsuf Yunani ini mengungkapkan, “Man is by nature a political animal ‘manusia’ pada hakikatnya ialah makhluk politik’.”
Keyakinan sekalipun, yang di dalamnya menyangkut urusan pribadi dan hubungan transendental manusia dengan Tuhan-nya, tidak luput dari politik. Bagus politik dalam arti terbatas–memengaruhi orang lain agar mengikuti ajaran agama yang dianut, maupun kaitannya dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan politik atas nama (syiar dan tegaknya) agama di ruang publik.
Mahatma Gandhi (1922), bapak pendiri India pernah bernubuah, “Diriku tidak bisa membagi sebuah pekerjaan apakah itu sosial, ekonomi, politik, dan religius murni ke dalam kompartemen yang kedap air. Segalanya terkait dan saling memengaruhi. Diriku tidak tahu ada sebuah agama yang berpisah dari aktivitas manusia (termasuk politik).”
Segala agama bisa tegak dan menyebar ke sembarang tempat berkat politik. Islam, misalnya, sejak kehadirannya 14 abad silam, selalu bersentuhan dengan politik meskipun tidak ada kesepakatan tentang konsep dan rumus politik, terutama dalam hubungannya dengan agama.
Kendati diperhadapkan dengan realitas semesta politik dengan dampak luas bagi kehidupan rakyat, kini dan mendatang, sebagian warga, termasuk kaum terpelajar, tidak peduli dengan politik (apolitik). Bahkan mengaku alergi bicara dan bersentuhan dengan politik (antipolitik).
Padahal, menghindar dari obrolan politik adalah politik. Sikap diam merupakan simbol persetujuan atas apa pun laku politik para politikus. Silence implies consent (diam ialah persetujuan), ungkap para ahli komunikasi politik.
Kalangan yang mengaku golongan putih (golput) atas nama idealisme dan kepatuhan ideologis atau hak untuk tidak memilih (not to vote is to vote) masuk ke kelompok tersebut. Disadari atau tidak, golput menyediakan ruang politik bagi politikus gentong-babi (pork-barrel politicians) meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Perlu digarisbawahi, bicara dan melek politik tidaklah identik dengan meraih kekuasaan atau jabatan. Bicara politik juga bukan barang mewah yang menjadi hak prerogatif politikus, pun kaum terpelajar dan para aktivis. Tetapi, hak yang melekat pada diri setiap warga negara yang dijamin konstitusi.
Dalam banyak kasus, mereka yang enggan bicara politik ialah kelompok pragmatis, atau lebih buruk lagi, kaum oportunis, yang hanya memikirkan kepentingan dan kenyamanan diri sendiri atau kelompoknya. Engkaus kehidupan mereka tidak kenal kosa kata tanggung jawab moral dan sosial kendati berasal dari kalangan terdidik dan status sosial ekonomi mapan.
Barisan pendukung militan dari politikus yang sedang berkuasa juga kerap menghindari perbincangan politik. Alasan, tidak ingin mendengar suara sumbang tentang penguasa patron dan idola mereka.
Sebaliknya, mereka bersemangat menyebar berita tentang prestasi dan kehebatan sang penguasa idola. Pun dengan senang hati mereka menyimak cerita tentangnya, asalkan tanpa cela.
Seperti halnya kelompok kontra rezim, menjadi pendukung penguasa juga pilihan politik – tepatnya politik status quo. Dalam benak mereka, politik yang benar hanya politik versi penguasa. “The king can do no wrong,” penguasa tidak bisa dan tidak boleh salah.
Golongan ini hanya ‘mengizinkan’ ruang publik diisi perbincangan politik versi penguasa. Selainnya, tabu bagi mereka. Padahal, penguasa merupakan produk politik, yang sesak dengan urusan politik. Adonan aduk antara politik kebajikan (good politics) dan politik nista (bad politics).
Penguasa memainkan kartu politik
Kesehariannya dalam mengelola, mempertahankan dan memperluas jangkauan kekuasaan, penguasa tentu memainkan kartu politik. Bahkan, seringkali halalkan segala cara mengikuti nubuat Niccolo Machiavelli, arsitek realisme politik abad renaisans asal Italia.
Mazhab realisme politik yang menegasikan kesadaran etis menjadi panglima dalam keseharian politik Indonesia. Ia mengristal di tangan Presiden Jokowi yang lahir dari rahim politik elektoral cacat (flawed electoral politics) 2014 dan 2019 sebagai konsekuensi logis rendahnya literasi politik rakyat yang berkelindan dengan politik dagang sapi dan politik uang, disfungsionalitas parpol, pengkhianatn kaum intelektual dan agamawan, serta kuatnya cengkraman oligarki.
Hingga kini, dampak negatif politik elektoral yang cacat membusuki ekonomi politik Indonesia, dan akan terus menggerogoti kehidupan masyarakat luas di masa depan jika rakyat menjaga jarak dari politik. Kecerdasan politik dan kesadaran etis kolektif rakyat untuk memutus rantai pembusukan politik (political decay) rezim Jokowi tidak akan tumbuh jika rakyat abai politik, menjadi massa mengambang (floating mass) ala Orba.
Dus, seluruh komponen bangsa, terutama kaum intelektual, harus ambil peran aktif dalam percakapan publik dan mengisi ruang politik adiluhung (high politics), dengan rasionalitas substantif dan kesadaran etis. Hal ini penting dan mendesak dalam menyambut Pilpres 2024 yang menyediakan ruang perubahan bagi bangsa Indonesia.