Kristen Muhammadiyah atau Muhammadiyah Kristen Implikasi Maksud Sebuah Istilah

Kristen Muhammadiyah atau Muhammadiyah Kristen:  Implikasi Makna Sebuah Istilah
(Dok. Pribadi)

KRISMUHA (Kristen Muhammadiyah), demikian kepanjangan istilah yang akhir-akhir ini diramaikan oleh para pembaca dan komentator Naskah Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009); dan Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Keyakinan dalam Pendidikan (2023), terbitan terakhir dari hasil penelitian yang sama.

 

Maksud yang diperoleh

Berbagai ragam komentar memperkaya isi Naskah ini. Apabila pemahaman Naskah ini atau tulisan lain didasarkan pada keterbatasan pengetahuan, akan sempit Maksud yang diperolehnya. Demikian sebaliknya, Apabila banyak ilmu pengetahuan yang dipakai Demi memahami sebuah karya tulisan, semakin luas Maksud yang diperolehnya.

Kekhawatiran sebagian orang yang berkesimpulan bahwa Krismuha ‘menjebol akidah Islam’ merupakan gambaran bentuk pemahaman yang pertama. Padahal, Apabila diteliti lebih dalam, Malah nilai-nilai Islam yang didakwahkan oleh Muhammadiyah itulah yang tertanamkan dalam jiwa Kerabat-Kerabat kita umat kristiani yang belajar di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah.

Paling Tak, gambaran yang dikesankan sebagian orang tentang Islam sebagai Keyakinan intoleran, terpatahkan oleh pengalaman para siswa dan mahasiswa yang belajar di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah. Di sekolah dan kampus perguruan tinggi Muhammadiyah di kawasan penelitian Naskah ini dilakukan, terbentuk sikap saling menghargai antarsiswa dan mahasiswa yang berbeda adat, budaya, dan Keyakinan.

Krismuha berbeda dengan Muhakris. Yang disebut pertama, Muhammadiyah ‘mensifati’ atau berpengaruh terhadap umat kristiani. Artinya Eksis paham dan budaya Muhammadiyah yang Dapat diterima umat kristiani. Adapun yang kedua, sebaliknya, Kristen mewarnai pemahaman dan budaya orang Muhammadiyah. Karena itu, Krismuha berbeda dengan Munu (Muhammadiyah Nahdlatul Ulama), yakni orang Muhammadiyah yang mempraktikkan (sebagian) tradisi dan budaya Nahdliyin; Musa (Muhammadiyah Salafi), orang Muhammadiyah yang berpenampilan Salafi; Mu-FPI (Muhammadiyah FPI), orang Muhammadiyah yang berperangai FPI.

Dapat juga dikatakan Muhammadiyah versi Nahdliyin, Muhammadiyah versi Salafi, dan Muhammadiyah versi FPI. Nahdliyin, Salafi, dan FPI memengaruhi Langkah berpikir, beribadah, dan berprilaku orang Muhammadiyah. Berkualitas Krismuha maupun Muhakris serta varian lain: Munu, Musa, Mu-FPI sesungguhnya merupakan akibat dari pertemuan antara dua atau lebih kecenderungan budaya ke dalam diri orang Muhammadiyah.

Muhakris, dalam sejarah awal berdirinya Muhammadiyah, menggambarkan proses konvergensi itu. Memang Pas bahwa di antara Elemen yang membentuk Tanda khas khas Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan ialah karena kebijakan politik Begitu itu yang melarang berdirinya gerakan politik. Elemen ini, mengakibatkan ‘keterlanjuran’ Muhammadiyah tetap sebagai gerakan sosial keagamaan Tamat sekarang meskipun selalu saja Eksis sebagian Anggota Personil Muhammadiyah yang menginginkan gerakan ini berubah Paras menjadi gerakan politik.

Proses perubahan itu Dapat dilihat dari ungkapan: ‘menjaga jarak yang sama dengan partai politik’, ‘menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik’, dan terakhir muncul keinginan ‘mendirikan amal usaha politik’. Secara evolutif, ungkapan pertama dimaksudkan Muhammadiyah jauh dari politik praktis; ungkapan kedua Eksis keinginan sebagian orang Muhammadiyah Demi Dapat aktif di partai politik. Sedangkan ungkapan ketiga, terdapat keinginan sebagian Anggota Muhammadiyah memperjelas hubungannya dengan politik praktis. Wacana yang terakhir ini, semula diharapkan dibahas dalam Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 2015, tetapi Rupanya kandas.

Cek Artikel:  Pengikisan Maksud Idul Fitri

Tetapi juga Pas, bahwa Tanda khas Muhammadiyah sebagai gerakan pilantrofis yang Pusat perhatian pada pemberdayaan sosial dan kemanusiaan, diperkaya oleh Teladan yang Eksis pada umat kristiani dan program yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Interaksi budaya kristiani dan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, terserap ke dalam diri Muhammadiyah yang melahirkan program Trisula awal pada bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial bagi kaum lemah, seperti rumah jompo dan panti asuhan. Muncul kemudian Trisula berikutnya: LAZISMU (Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Muhammadiyah), MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), dan pemberdayaan masyarakat (HY Thohari).

Tak dahulu Tak juga sekarang, selalu saja Eksis sebagian orang bahkan Anggota Muhammadiyah sendiri yang mengkritisi fenomena konvergensi di atas, yang menganggap Muhammadiyah meniru dan mengambil budaya Punya orang lain. Dalam kasus tanggapan terhadap Naskah Abdul Mu’ti Eksis tuduhan ‘Muhammadiyah dulu membentengi akidah, kini menjebol akidah dan bendungan akidahnya sudah mulai Eksis gejala jebol’.

Dulu, Muhammadiyah dituduh meniru perbuatan orang kafir. Karena itu, Muhammadiyah menjadi bagian dari mereka (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). Bantahan Muhammadiyah menegaskan bahwa riwayat hadis ini Tak Benar. Kalau toh Tak dhaif, yang dimaksud tasyabbah bi di sini bukan terkait dengan masalah akidah, tetapi terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan yang selalu berubah.

Perdebatan tentang sikap tiru-meniru ini mengakibatkan umat Muslim terpecah menjadi dua Golongan, dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda: kooperatif dan nonkooperatif. Muhammadiyah digolongkan sebagai Golongan kooperatif, sedang Sarekat Islam (SI) nonkooperatif. Sekeliling tahun 1924 SI mengeluarkan disiplin partai, yang melarang Personil SI merangkap menjadi Personil gerakan lain. Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Fachroodin keluar dari SI dan memilih tetap di Muhammadiyah setelah sekian lelet merangkap aktif di SI dan menjadi kontributor Krusial Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, dua organ SI yang terbit di Solo.

Selain Argumen di atas, dasar Muhammadiyah menerima sebagian budaya Barat ialah karena al-ashl fi al-asy-ya’ al-ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-tahrim, (hukum asal dari segala sesuatu itu mubah, kecuali Eksis dalil yang melarangnya). Prinsip ini dipahami Muhammadiyah dengan ‘dari manapun datangnya sesuatu itu, asalkan Tak bertentangan dengan prinsip Islam diperkenankan’. Jadi, apa yang dilakukan Muhammadiyah mengadopsi sistem pendidikan, kesehatan dan sosial dari Barat melalui pemerintah Kolonial Belanda dinilai Tak Eksis masalah. Sikap ini dikenal sebagai love hate orientation (orientasi Kasih pada sebagian budaya yang dibawa Belanda, tetapi benci terhadap penjajahan Belanda yang eksploitatif).

Cek Artikel:  Menunggu Kejantanan Pengelola Pelabuhan Patimban

Kesiapan Muhammadiyah mengadopsi elemen budaya asing waktu itu Tak sekedar meniru-niru atau imitasi, tetapi Mempunyai dasar Argumen kuat yang dibenarkan secara normatif oleh Keyakinan. Posisi Muhammadiyah sangat kuat dalam menyerap unsur budaya baru, yang sebelumnya Tak dikenal di kalangan kaum Muslimin. Infusi nilai dan unsur budaya luar ke dalam Muhammadiyah Tak hanya memperkaya gerakan ini dengan budaya baru. Tetapi, juga menggambarkan Tanda khas modernitas Muhammadiyah yang terbuka, adaptif, menerima perubahan berdasarkan literasi (landasan normatif). Karenanya, Muhakris berbeda dengan Munu, Musa, dan Mu-FPI. Tiga varian yang disebut terakhir ini mendegradasi Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam. Berbagai varian yang disebutkan ini Lanjut bergumul dalam memperebutkan pengaruhnya atas pandangan dan praktik ibadah Islam dalam Muhammadiyah.

Krismuha (Kristen-Muhammadiyah), yang menjadi tema Istimewa tulisan ini, Dapat diartikan orang Kristen Ingin mengambil kembali nilai dan budaya Kristen Barat yang Eksis di Muhammadiyah. Dengan kasus yang sama, Muhammadiyah juga beralasan bahwa, selain landasan normatif seperti yang disebutkan di atas, budaya tertentu dan tradisi pendidikan yang dibawa oleh kolonialis Belanda sesungguhnya Punya Islam. Karena itu Muhammadiyah berkewajiban mengambil kembali Sekalian itu. Argumentasi ini juga yang disampaikan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’ At-Tahtawi (1801-1873) kepada para ulama Al-Azhar yang konservatif. Yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa umat muslim dilarang mengambil segala sesuatu yang berasal dari Barat karena Barat ialah kafir.

MI/Duta

 

Barat memanfaatkan Intervensi kaum muslim

Benarkah peradaban Barat, terutama ilmu pengetahuan modern, yang sekarang menguasai dunia ini Tak Dapat dilepaskan proses pembentukannya dengan Islam? Dalam waktu yang cukup lelet pertanyaan ini Tak Eksis yang menjawab, terutama di kalangan sarjana Barat. Tetapi, dalam perkembangannya banyak sarjana Barat mengakui atas klaim ini. Salah seorang guru besar di United States of America (USA), Ian Bremmer dalam The West Stole 1001 Inventions from Muslims mengatakan bahwa Barat telah memanfaatkan hasil Intervensi kaum muslim dari pasta gigi hingga rumah sakit. Ia Tak Dapat membayangkan bagaimana masyarakat Barat Dapat hidup seperti sekarang ini Apabila Tak Eksis Intervensi kaum muslim di atas.

Cek Artikel:  Pemilu dan Daya Tahan Demokrasi

Dalam kesempatan Rihlah Peradaban ke Spanyol (2016, 2022), seorang Guru Besar di University of Sevilla, Fernandez (2016) mengatakan bahwa masyarakat Spanyol sekarang ini sangat diuntungkan dengan keberadaan Kekaisaran Islam Andalusia (711-1492). Budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat Spanyol Begitu ini, termasuk tata kota dan kebersihan, merupakan warisan dari sejarah masa Lewat Andalusia.

Dapat dimengerti kenapa Ratu Ishabel bersumpah ‘Saya baru akan mandi setelah merebut kembali Kota Granada’. Semula Logika sulit menerima sumpah mandi ini apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Spanyol sekarang ini. Tetapi, Apabila dihubungkan dengan kondisi sebelum Kekaisaran Andalusia berdiri, rupanya sumpah Ratu Ishabel Eksis korelasinya. Meskipun, Apabila diperbandingkan antara dunia Barat dengan dunia muslim sekarang, terjadi kebalikannya. Sekarang, kota-kota di Barat teratur dan Bersih, sedang di dunia muslim sebaliknya.

Jadi, Krismuha (Kristen-Muhammadiyah) menerima kembali warisan budaya modern Barat-Krsiten melalui Muhammadiyah. Sebaliknya, Muhammadiyah memberikan warisan yang dimaksud melalui pendidikan yang diselenggarakannya. Dalam proses pendidikan ini, para siswa dan mahasiswa Kristen berbaur satu sama lain; memahami keanekaragaman di antara mereka; paham mengapa mereka berbeda; paham karena mereka lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga masing-masing.

Mungkin sebagian Lagi mengalami conflicting relationship di tengah-tengah kehidupan masyarakat adat yang berbeda Etnis dan keyakinan. Tetapi, pengalaman seperti ini Tak terjadi di Perguruan Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA). Pemahaman seperti inilah, yang menjadi dasar sikap toleran. Masing-masing membiarkan yang lain bertidak sesuai dengan keyakinannya, dengan Tak menyakiti yang lain, verbal maupun tindakan. Nyanyian Rohani gereja difasilitasi dalam paduan Bunyi di PTMA; iman mereka terlindungi karena pelajaran Keyakinan yang diberikan di PTMA diampu oleh dosen seiman.

Banyak pengalaman lain yang positif Demi kerukunan hidup antarumat beragama yang diperolehnya. Kenyamanan Rekanan yang terjalin antarsesama sangat dirasakan sehingga, bait ‘Al-Islam agamaku Muhammadiyah Gerakanku’ dilantunkan secara sadar dan bukan merupakan beban teologis bagi mereka Begitu menyanyikan Sang Surya. 

Jadi, Krismuha Tak menjadikan Muhammadiyah terkontaminasi oleh tradisi non-Muhammadiyah, sebagaimana sementara orang mengkhawatirkannya. Tetapi, Malah sebaliknya, Muhammadiyah menyadarkan Sekalian yang belajar di PTMA akan berharganya nilai pluralitas dan toleransi antarsesama.

Tradisi pendidikan, yang menjadi tema penelitian Sekretaris Biasa Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah membentuk perilaku pluralis siswa dan mahasiswa non-Muhammadiyah, atau setidaknya Muhammadiyah Tak dikesankan sebagian orang sebagai Tertentu, sektarian, dan Tak toleran. Dari Muhammadiyah, Kesadaran bersemi.

 

Mungkin Anda Menyukai