HABIS calon boneka terbitlah kotak kosong dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung pertama kali digelar pada 2005, tetapi calon boneka baru muncul pada 2015.
Kemunculan calon boneka sebagai konsekuensi logis Undang-Undang (UU) Nomor 8 Pahamn 2015. Ketentuan dalam undang-undang itu mengharuskan pasangan calon yang bertarung dalam pilkada minimal dua. Kalau calon tunggal, pilkada ditunda.
Ketentuan itu dijabarkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Biasa Nomor 12 Pahamn 2015. Pasal 54 ayat (5) menyebutkan, jika hanya terdapat satu pasangan calon, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan pilkada. Pilkada di daerah itu diselenggarakan pada pilkada serentak berikutnya.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?
Calon tunggal tidak menghendaki penundaan pilkada. Rival tanding pun dibeli, yang disebut juga sebagai calon boneka. Rival tanding diberi uang mahar agar pilkada tidak ditunda.
Kehadiran calon boneka menjadikan pilkada penuh kepalsuan. Pura-pura pilkada, padahal tidak ada kontestasi. Pilkada bukan lagi sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung dan demokratis.
Era calon boneka menghilang setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Putusan itu menguji ketentuan UU 8/2015 terkait dengan penundaan pilkada jika calon tunggal. Menurut MK, ketentuan tersebut merugikan hak untuk dipilih dan memilih sebagai hak konstitusional warga negara. MK menyatakan pilkada tetap harus dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Putusan MK soal calon tunggal itu ditindaklanjuti pembuat undang-undang dengan menetapkan UU 10/2016 sebagai perubahan atas pengaturan yang ada dalam UU 8/2015. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa pemilihan yang diikuti calon tunggal dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.
Jujur dikatakan bahwa putusan MK 100/2015 membuat babak baru dalam sistem pilkada serentak di Indonesia. Buat pertama kalinya, pilkada calon tunggal dilaksanakan dengan model pemilihan setuju dan tidak setuju atau yang lebih dikenal dengan plebisit. Mekanisme setuju-tidak setuju lebih demokratis ketimbang calon tunggal menang secara aklamasi tanpa meminta pendapat rakyat.
Pemilihan secara demokratis menjadi kata kunci pilkada. Konstitusi memerintahkan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945).
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Kata ‘dipilih’ itu menunjukkan adanya kontestasi yang diselenggarakan secara demokratis. Tak soal jika calon tunggal berkontestasi dengan kotak kosong asalkan rakyat menggunakan hak mereka, baik hak memilih maupun hak dipilih.
Sejak keberadaan calon tunggal dinyatakan konstitusional, perlahan-lahan calon boneka menghilang. Terdapat tiga calon tunggal dalam Pilkada 2015, naik menjadi sembilan calon tunggal pada 2017, 16 calon tunggal pada 2018, dan 25 calon tunggal pada Pilkada 2020.
Sudah ada 53 calon tunggal berkompetisi dengan kotak kosong dalam sejarah pilkada negeri ini. Hanya satu kali kotak kosong menang, yaitu pada Pilkada Wali Kota Makassar 2018.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Calon tunggal didominasi petahana yang sukses memimpin daerah. Kesuksesan itu memantik kecintaan rakyat kepada pemimpin mereka sehingga petahana kesulitan mencari lawan tanding sepadan. Calon tunggal muncul secara alamiah, bukan hasil rekayasa.
Muncul fenomena baru menjelang Pilkada 2024 yang digelar pada 27 November yang akan datang. Fenomena calon tunggal hasil rekayasa dengan dibentuknya koalisi partai sebesar-besarnya, atau disebut juga sebagai koalisi 80 plus.
Koalisi 80 plus maksudnya ialah gabungan partai politik yang menguasai lebih dari 80% kursi di DPRD. Dengan demikian, hanya muncul satu pasangan calon yang bertarung di pilkada sesuai dengan syarat pencalonan kepala daerah.
Syarat pencalonan yang ditetapkan UU 10/2016 ialah didukung partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Kalau pasangan calon memborong partai yang menguasai 80% lebih kursi di DPRD, otomatis tidak akan muncul lawan tanding. Ia akan melawan kotak kosong.
Calon tunggal tidak lagi muncul secara natural, tapi sengaja diciptakan untuk memastikan kemenangan dalam pilkada. Partai yang berkoalisi itu bukan berdasarkan kesamaan ideologi, melainkan lebih didasarkan pada kepentingan politik. Itu namanya koalisi air dan minyak untuk meraih kemenangan.
Koalisi air dan minyak seakan-akan demokratis karena memenuhi prosedur demokrasi, tapi jauh, sangat jauh, dari demokrasi substantif. Pilkada 2024 akan diwarnai kontestasi kotak kosong melawan koalisi 80 plus. Elok nian bila kelompok masyarakat juga diberi ruang untuk melakukan kampanye kotak kosong.