Korupsilah dalam Pelukan Koalisi

Korupsilah dalam Pelukan Koalisi
(MI/Seno)

SAYA sudah Enggak Kembali percaya dengan agenda pemberantasan korupsi Presiden Joko Widodo. Cukuplah sekali saja saya terbuai dengan halusinasi dan sensasi kampanye antikorupsi yang disuarakannya pada Pilpres 2014. Dalam perjalanannya, infrastruktur penegakan hukum dan pemberantasan korupsi adalah kegagalan Primer pemerintahan Jokowi.

 

Pelumpuhan KPK

Presiden Jokowi adalah aktor yang paling bertanggung jawab dengan pelumpuhan dan Tewas surinya Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak Lamban, KPK yang kuat dan efektif Membangun para koruptor gerah dan melancarkan serangan balik (corruptors fight back). Salah satu modusnya ialah dengan mendorong perubahan UU KPK. Ketika kami mengemban amanah selaku Staf Spesifik Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN (2008-2011) maupun Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011-2014), keinginan Kepada melemahkan KPK melalui proses legislasi itu sudah mengemuka.

Alhamdulillah, Presiden SBY Enggak menyetujui politik hukum pelemahan KPK tersebut. Tentu banyak catatan pula terkait program pemberantasan korupsi di era SBY. Tetapi, satu yang mesti adil diberi apresiasi ialah beliau Kukuh Enggak menyalahgunakan kekuasaannya Kepada mengerdilkan KPK.

Padahal banyak kasus korupsi yang disidik KPK telah merusak reputasi Partai Demokrat, bahkan keluarganya. Terdapat besan, menteri, pimpinan, hingga para kader Primer yang terjerat kasus korupsi. Satu sisi, itu menunjukkan Terdapat kerja antikorupsi yang perlu dibenahi serius dalam tubuh Partai Demokrat. Pada sisi lain, hal demikian menunjukkan Presiden SBY Enggak ikut cawe-cawe menggunakan pengaruh dan kekuasaannya Kepada mengintervensi kerja-kerja KPK.

Ujungnya, karena Imej korupsi yang sempat melekat kuat pada Partai Demokrat, kursinya di DPR menukik tajam dari awalnya 148 hasil Pemilu 2009 menjadi hanya 61 di Pemilu 2014. Itulah pengorbanan mahal yang harus dibayar Presiden SBY ketika konsisten disiplin menegakkan agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Berbeda halnya dengan Presiden Jokowi, intervensi Kepada melemahkan KPK bukan hanya dibiarkan, tetapi saya berkeyakinan dilakukan. Kalaupun Terdapat segelintir menteri dan kader partai berkuasa yang dijerat KPK, hal demikian Enggak Dapat menghilangkan fakta bahwa Terdapat Harun Masiku yang disembunyikan ditelan bumi, Enggak lain karena kasusnya terkait erat dan akan mengungkap tuntas keterlibatan sang petinggi partai. Sedikitnya kasus korupsi yang menjerat partai berkuasa bukan berarti kurangnya korupsi di lingkaran kekuasaan, tetapi KPK-nya berhasil dijinakkan dan diarahkan. Hanya memukul Rival oposisi, Sembari dimanfaatkan Kepada memproteksi dan merangkul Sahabat koalisi.

Koalisi di sini bukan berarti hanya unsur parpol, tetapi juga kroni oligarki. Saya hakulyakin dugaan korupsi oleh anak-anak Jokowi yang dilaporkan Ubedilah Badrun ke KPK karena berkolusi bisnis dengan salah satu kerabat oligarki, Enggak akan berproses ke mana-mana. Hening di tempat, sebelum Tewas kehabisan napas karena dipetieskan.

Setali tiga Doku dengan kasus dugaan korupsi perpajakan yang melibatkan mafia oligarki tambang batu bara di Kalsel. Jangankan berproses, Presiden Jokowi bahkan rela menjadi tameng hukum dengan menghadiri peresmian pabrik biodieselnya pada Oktober 2021 setelah sebelumnya di Oktober 2020 juga meresmikan pabrik gula grup usaha yang sama di Sulawesi.

Cek Artikel:  Akar Persoalan KDRT, Bisakah Diatasi

Kenapa sedemikian murah pin kepresidenan digadaikan wibawanya? Karena sang oligarki sudah menggelontorkan saham Enggak sedikit Ketika menjadi tim kampanye pilpres di 2019 sehingga pembayaran dividennya berupa Perlindungan dan bunker dari dugaan kasus korupsinya di KPK.

Sudah sedemikian terang lemahnya spirit antikorupsinya, Presiden Jokowi Lagi mencoba ngeles, lempar batu sembunyi tangan, atas hadirnya UU 19 Tahun 2019 yang mengubah dan melumpuhkan KPK. Jokowi berkilah RUU perubahan adalah inisiatif DPR. Padahal Sekalian paham, Presiden sangat Dapat menolak membahas, apalagi menyetujuinya.

Sejatinya, dengan kursi koalisi mayoritas DPR, Presiden bukan hanya Dapat menolak perubahan UU KPK, tetapi Dapat supercepat mengegolkan RUU Perampasan Aset dan RUU Restriksi Pembayaran Doku Kas. Sebagaimana Presiden Jokowi Dapat superkilat, dengan minim sosialisasi sekalipun, mengegolkan UU IKN, UU Cipta Kerja, dan Perubahan UU Minerba yang menguntungkan kroni bisnis dan kepentingan bohir oligarkinya.

Melalui perubahan UU KPK, komisi antikorupsi dirampas independensinya, diletakkan di Rendah perintah Presiden Jokowi. Enggak cukup dengan melemahkan regulasinya, Presiden juga merusak institusinya. Seleksi pimpinan KPK yang dibentuk Jokowi menghadirkan komisioner yang bermasalah secara etika. Para pejuang Primer antikorupsi dieliminasi melalui rekayasa tes wawasan kebangsaan. Hasilnya, KPK yang lumpuh paripurna, secara institusional kehilangan independensi, secara personal kehilangan moralitas pribadi.

 

Politisasi kasus hukum

Presiden Jokowi Enggak jujur ketika mengatakan Enggak ikut cawe-cawe dalam menentukan koalisi dan kandidat paslon presiden dan wakil presiden 2024. Di Pentas belakang, Presiden aktif melobi para pimpinan partai dengan memberi preferensi kepada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, Sembari menunjukkan resistensi kepada Anies Baswedan.

Salah satu instrumen Primer yang dimanfaatkan ialah kasus hukum sebagai alat Ubah dan daya tawar. Melalui kekuatan kendali atas KPK, kepolisian, dan kejaksaan, pimpinan parpol yang Enggak sejalan dengan strategi Presiden Jokowi akan diancam dimunculkan kasusnya. Sebaliknya, yang tunduk Taat akan disimpan perkaranya.

Maka, muncullah penegakan hukum yang tebang pilih, Enggak Kembali berdasarkan kekuatan alat bukti, tetapi lebih pada posisi koalisi ataukah oposisi. Kalau tetap dalam koalisi Jokowi maka dugaan kasus korupsi minyak goreng, kardus duren, izin usaha hutan, dan lain-lain Enggak akan ditimbulkan. Tetapi Kalau meloncat lepas dari strategi, beroposisi dengan mendeklarasikan capres yang dianggap antitesis Jokowi, maka muncullah kasus korupsi BTS dan sejenisnya.

Jangan salah sangka. Saya tentu mendukukung setiap upaya pemberantasan korupsi, kepada siapa pun. Tetapi, saya menolak pedang tajam pemberantasan korupsi memilah dan memilih sasarannya. Bukan tanpa Dalih ketika Dewi Keadilan digambarkan memegang pedangnya Sembari menutup matanya. Itu adalah filosofi dasar bahwa hukum harus ditegakkan tanpa Menyantap bulu pelakunya. Ketika mata pedang hukum Dapat Menyantap dan sasarannya ditebaskan hanya pada Rival politik, dan sengaja dilepaskan kepada Sahabat politik, maka penegakan hukum demikian Bahkan sangat berbahaya dan rentan manipulasi.

Cek Artikel:  Pelajaran Berharga dari Kebangkitan Timnas Indonesia

Hukum harus memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan siapa pun, Rival oposisi ataupun Sahabat koalisi. Karena, yang harus diperjuangkan ialah kepentingan kebangsaan antikorupsi, bukan perlindungan Kepada perkoncoan yang kolutif ataupun gangster oligarki yang koruptif.

Apakah dugaan kasus korupsi BTS yang menjerat Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate adalah murni perkara hukum, harus dibuktikan melalui proses peradilan yang bebas intervensi politik. Tetapi, Menyantap momentum dan dinamika yang sekarang Terdapat, sangat sulit Kepada Enggak berhipotesis bahwa kasus ini sarat dengan upaya tekanan politik kepada NasDem, khususnya terkait dengan pencapresan Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Dalam artikel panjang lebar ‘Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo dan Menolak Anies’, yang dipublikasikan di website Integrity (www.integritylawfirms.com), saya sudah menguraikan cukup lengkap fakta dan informasi bagaimana Presiden Joko Widodo memberikan preferensi kepada Ganjar Pranowo dan Prabowo, Sembari berupaya mengeliminasi pencalonan Anies Baswedan.

Pimpinan partai yang coba-coba Bandel, melirak-lirik pencapresan Anies, akhirnya digulingkan. Koalisi pendukung Anies Lanjut digoda materi, menteri, hingga ancaman kasus korupsi. Tanyakan kepada PKS, sudah berapa kali mereka ditawarkan menteri Jokowi. Sedangkan Partai Demokrat Lanjut diganggu melalui manuver Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Menggunakan kata Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Muhammad Romahurmuziy, Moeldoko Lanjut berusaha ‘mencopet’ Partai Demokrat dari pemiliknya yang Absah.

Anehnya–atau mungkin sebenarnya Enggak aneh–Presiden Jokowi Hening hening, tanpa memberikan Denda apa pun. Kilahnya, itu hak politik pribadi Pak Moeldoko. Kalau pencopetan dan pencurian partai dianggap absah karena hak politik, saya khawatir Presiden Jokowi melupakan sejarah partainya sendiri. Ibu Megawati Soekarnoputri semestinya menegur keras sang petugas partai yang melupakan sejarah kelam ketika PDI Megawati Mau dirampok oleh PDI Soerjadi melalui Adonan tangan rezim Orde Baru.

Yang sekarang harus dikawal dan diteriakkan lantang ialah Presiden Jokowi ikut membiarkan dan karenanya bertanggung jawab dengan pencopetan Partai Demokrat yang sekarang sedang berproses melalui modus peninjauan kembali kubu Moeldoko di Mahkamah Akbar. Enggak boleh, putusan MA tiba-tiba hadir menjungkirbalikkan logika dan fakta hukum.

Tetapi, hal demikian bukan Enggak mungkin terjadi di tengah adanya informasi bahwa kasus PK Partai Demokrat di MA itu ditukargulingkan dengan kasus dugaan korupsi para hakim Akbar yang sekarang ditangani KPK. Informasinya, para hakim Akbar yang sedang terjerat dugaan korupsi mafia hukum akan dibantu kasus dan hukumannya menjadi ringan asalkan mereka membantu pemenangan PK Moeldoko.

Cek Artikel:  Pak Jokowi, Tipiskanlah Sekat Kita

Kalau PK atas Partai Demokrat dimenangkan, menjadi seolah-olah absahlah pencopetan yang dilakukan Moeldoko. Ujungnya, dapat dipastikan, Partai Demoktrat jadi-jadian versi Moeldoko akan menarik dukungan pencapresan dari Anies Baswedan karena memang demikiankah skenario yang disusun oleh Jokowi, dan karenanya beliau mendiamkan alias menyetujui tingkah polah Moeldoko, kepala staf kepresidenannya sendiri.

Kalau PKS dan Demokrat digoyang dengan berbagai Metode, NasDem Enggak kalah pula terjangannya. Dugaan kasus korupsi BTS hanya salah satunya. Ketum Surya Paloh akan punya banyak cerita, bagaimana NasDem diancam dan digoda.

 

Korupsilah asal koalisi, jangan oposisi

Sekali Kembali, penegakan hukum korupsi yang hanya memukul oposisi, Rival politik, Sembari merangkul koalisi, Sahabat politik, adalah penegakan hukum yang manipulatif. Sama sekali Enggak Terdapat pesan pemberantasan korupsi dalam model pilah-pilih perkara korupsi yang demikian.

Pesannya Bahkan negatif: silakan korupsi, sebanyak mungkin boleh, asal dalam barisan koalisi, insya Allah akan diproteksi. Jangan pernah korupsi pada barisan oposisi karena sama saja dengan bunuh diri. Hanya soal waktu sebelum tangan diborgol, mengunci.

Dalam kasus BTS, Ketum NasDem Surya Paloh sudah menegaskan, silakan diaudit Kategori keuangan dari ujung kiri ke ujung kanan, dari ujung utara Tiba ujung ke selatan, ibaratnya dari segala penjuru mata angin. NasDem akan memberikan totalitas dukungannya.

Tetapi, saya menduga audit Kategori Anggaran korupsi pun akan dipilih kasih. Dugaan Kategori Anggaran yang mengarah ke lingkaran kekuasaan akan ditutup dan disembunyikan karena akan terkait dengan nama-nama yang hebat kerabat dekat kader Primer partai yang tak perlu disebutkan namanya.

Padahal, penegakan hukum yang tebang pilih akan lebih berbahaya Kalau dibandingkan dengan penegakan hukum yang Hening. Karena, ibarat pedang keadilan, Kalau Hening Lagi mungkin Enggak bersimbah darah. Tetapi, Kalau pedang keadilan ditebaskan kepada Sasaran Rival politik tertentu semata demi dahaga melanggengkan kekuasaan, maka sejatinya yang terjadi ialah pertarungan politik curang perebutan kuasa, yang menghalalkan segala Metode, salah satunya dengan memperalat instrumen hukum.

Korupsi harus diberantas, dilakukan oleh siapa pun, Bilaman pun, di mana pun. Politisasi kasus korupsi yang diduga terbaca Terang sedang dilakukan Presiden Jokowi, seolah memberantas korupsi, padahal senyatanya menjalankan agenda politik Dahaga kekuasaan, adalah Metode-Metode yang akan mengorupsi penegakan hukum antikorupsi itu sendiri.

Siapa pun, termasuk presiden, yang memilah-milih penegakan kasus korupsi, hanya tajam pada oposisi, Rival politik, sejatinya adalah pelaku political corruption itu sendiri yang berteriak lantang tanpa malu, “Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisiku.”

Mungkin Anda Menyukai