Korupsi dan Tirani

Korupsi dan Tirani
(Dokpri)

KEJAHATAN korupsi kembali disorot. Publik geram. Asal Mula, langkah tegas memberangusnya absen. Para koruptor raksasa tetaplah siluman; tak terlihat, tak tersentuh, dan sukar ditundukkan. Yang Maju ditekuk hanya para koruptor teri berkekuasaan kecil. Dua kondisi Lazim Malah menguat. Pertama, Enggak sedikit pejabat yang terindikasi kuat korupsi Terjamin bersembunyi karena merapat ke pusat kekuasaan. 

Kedua, Enggak sedikit elite oposisi dikriminalisasi dengan tuduhan korupsi. Mereka begitu mudah ditaklukan. Korupsi malahan diperalat Kepada membungkam oponen-oponen kritis. Korupsi semacam dipelihara dan dibiarkan, Lewat menjadi jebakan bagi mereka yang berdiri Enggak selaras dengan penguasa. Tetapi, mata publik harus tetap melotot pada korupsi. Ia jantung kerusakan bernegara dengan beberapa bahaya bawaannya.

Korupsi dan elastisitas konstitusi

Bahaya pertama korupsi adalah pelenturan konstitusi, hukum, dan undang-undang. Bagi Machiavelli, Penyelenggaraan konstitusi ditentukan oleh derajat korupsi. Korupsi tinggi, Penyelenggaraan konstitusi rendah. Sebaliknya, korupsi rendah, Penyelenggaraan konstitusi tinggi (lihat: Discorsi). Wabah kerusakan konstitusi di Indonesia Cocok dibidik dari diktum Machiavelli tersebut. 

Dua skandal besar perlu ditampilkan kembali. Pertama, skandal MK terkait batas usia minimum capres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Skandal ini menguntungkan putra sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi wakil presiden. UU itu dilenturkan Kepada kepentingan penguasa. Kedua, skandal MA terkait perubahan batas usia minimum kepala daerah melalui putusan Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan ini berupaya meloloskan putra bungsu presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.

Cek Artikel:  Pemilu 2024 Bermasalah

Kedua skandal itu merupakan sinyal Enggak baik tentang kondisi plastisitas konstitusi, sekaligus penanda ketidaksehatan republik (unhealthy/ill-ordered republic) karena sikap korup penguasa. Korupsi, menurut teori bayangan cermin Machiavellian, merupakan Rival dari republik yang sehat (healthy/well-ordered republic). 

Republik sehat diperintah oleh hukum (rule of law) secara ketat. Sementara, republik sakit diperintah oleh penguasa (rule of the ruler) Kepada kepentingan pribadi.

Republik sakit dijalankan sesuai selera penguasa. Penguasa korup bertindak serba melampaui konstitusi karena kepentingan pribadi atau keluarga menjadi prioritas. Oleh penguasa korup, korupsi bahkan ‘disemai atau dipelihara’ Lewat dijadikan perangkap bagi Rival. Rival politik dibikin taat pada penguasa, bukan taat pada hukum. Singkatnya, pelenturan konstitusi berakar pada korupsi yang menimpa Sekalian institusi publik. Akibatnya, mereka dijalankan sesuai selera penguasa.

Korupsi dan penguasa tiran

Bahaya fatal lain dari korupsi adalah transformasi penguasa menjadi berwatak tiran. Tanda utamanya adalah perubahan Metode memerintah, dari konstitusional ke inkonstitusional. Tepatnya, konstitusi dilenturkan sesuai selera penguasa semata. Elemen Mendasar yang hilang dari penguasa adalah patriotisme (patrie: love of country). Cicero bahkan menempatkan patriotisme sebagai jiwa politik. Baginya, patriotisme adalah komponen keadilan. 

Patriotisme tak hanya menyangkut Kasih republik (caritas reipublicae), tetapi juga Kasih Anggota negara: caritas civium (Maurizio Viroli, Founders Machiavelli). Kasih republik terutama berisi mencintai pemerintahan oleh hukum. Sementara, mencintai Anggota negara mewujud dalam sikap republikan. Ia harus memastikan bahwa setiap orang dalam republik yang dipimpinnya hidup di Rendah dan Taat pada hukum yang sama. 

Cek Artikel:  Cost-Effectiveness Sokongan Pangan Buat Tengkes

Pemimpin republikan harus menunjukkan sikap, bahwa warganya hidup di Rendah kekangan manis (sweet restrain: dulce libertatis vrenum). Disebut manis, karena yang mengekang (mengikat dan mengatur) warganya adalah konstitusi, hukum, dan UU, bukan orang (raja, ratu, tiran, atau presiden). Dalam diri penguasa korup, prinsip-prinsip itu Nyaris Niscaya sirna. Mereka sirna, karena dimatikan oleh interese pribadi dan hasrat pelestarian kekuasaan yang Enggak terkendali.

Yang menguat dalam republik korup adalah kekangan pahit. Asal Mula, penguasa korup menjadikan dirinya sebagai konstitusi atau hukum. Machiavelli bahkan sudah menyadari persoalan ini di abad 15, yang kemudian ditekankan kembali oleh John Dalberg-Acton di abad 19. 

Machiavelli menunjukkan, bahwa korupsi disebabkan oleh kekuasaan absolut (autorita assoluta) dan hasrat akan kekayaan yang berlebihan. Bagi Machiavelli, kekuasaan absolut segera Anjlok korup. Asal Mula, siapa saja yang memegangnya memang dengan mudah mendapat dukungan dari Anggota negara yang loyal padanya. 

Masalahnya adalah mereka Enggak Tengah loyal pada konstitusi, tetapi loyal pada seorang penguasa. Akibatnya, orang-orang model ini kehilangan kebebasan. Asal Mula, mereka hidup di Rendah kekangan penguasa korup-tiran, bukan di Rendah aturan hukum. 

Cek Artikel:  Pengujian Undang-Undang APBN Pasca-Pilpres 2024

Presiden pembenci korupsi

Penguasa hari ini perlu pulang ke tujuan reformasi 1998. Rezim Orba dihempas karena kita anggap otoritarian-korup. Rezim selanjutnya Lewat bercita-cita menghadirkan revolusi mental yang Sepatutnya ditandai oleh sikap ugahari para penguasa. Sikap yang mewajibkan mereka Mempunyai higiene jiwa, winasis (berpengetahuan), wasis (cakap), awas (teliti dalam menimbang), dan mawas diri (mengenal diri secara Berkualitas dan Mengerti apa yang terbaik Berkualitas diri dan sesamanya) (Setyo Wibowo, Platon: Keugaharian).

Sayangnya, Republik ini Malah mengalami retrogresi mental; pemburukan mental yang menimpa institusi-institusi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) karena korupsi yang tak kunjung dirobohkan. Tubuh Indonesia, meminjam istilah Jean-Paul Sartre, sedang mengalami nausea-kemualan (la nausée) karena korupsi. Karenanya, ia membutuhkan presiden yang Bisa memberikan panasea; obat mujarab guna menghentikan kemualan itu. Obat itu tak lain adalah pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya.

Sikap antikorupsi presiden dan komitmen memberangusnya berharap dapat memberi beberapa Akibat positif berikut. Pertama, presiden Bisa berdiri tegak sebagai seorang republikan dan demokrat: taat pada kepentingan rakyat dan taat konstitusi. 

Kedua, kesehatan republik dan institusi-institusinya terjaga dengan Berkualitas. Ketiga, kepercayaan publik terhadap otoritas negara Bisa direstorasi. Keempat, keadilan sosial Bisa dicapai. Kelima, Indonesia Bisa Bertanding di level Dunia. Negeri ini membutuhkan presiden pembenci korupsi!

Mungkin Anda Menyukai